Wawancara

KH Robith Qashidi: Pesantren Harus Atasi Dua Tantangan

Senin, 20 Februari 2017 | 02:02 WIB

Dalam beberapa tahun terakhir ini, nama Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Antirogo,  Jember, Jawa Tmur, kian moncer seiring semakin riuhnya prestasi yang direngkuh anak didiknya. Apa dan bagaimana Nuris itu, dan bagaimana pula sistem pembinaannya sehingga menghasilkan sederet anak didik berbakat.

Berikut  ini wawancara kontributor  NU Online, Aryudi A. Razaq dengan Pengasuh  Pondok Pesantren Nuris KH Robith Qashidi.

Apa yang melatarbelakangi pendirian Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris)?

Pada suatu hari, ketika abah saya (KH Muhyiddin Abdusshomad) jalan-jalan di pusat kota Jember, beliau melihat banyak pelajar muslim belajar di sekolah Kristen favorit. Realitas tersebut tentu membuat abah merasa miris, sehingga kemudian muncullah keinginan untuk mendirikan pesantren yang memiliki sekolah Islam yang bagus dan profesional. Terkait keinginan tersebut, beliau lalu meminta saran kepada beberapa kiai besar di JawaTimur seperti KH As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah, Situbondo), KH Ahmad Shiddiq (Pengasuh Pesantren Talangsari, Jember), KH Hasyim Zaini (Pengasuh Pesantren Nurul Jadid,  Probolinggo). Dan alhamdulillah, mereka mendukung  niat abah. Pendek cerita, tanggal 8 Agustus 198, secara resmi Nuris didirikan. Ini saya sebut sebagai fase kelahiran Nuris. Kemudian ada fase rekonstruksi. Antara fase kelahiran hingga fase sebelum fase rekonstruksi, perkembangan Nuris dengan lembaga formalnya, biasa-biasa saja. Saat itu saya masih mondok, dan dilanjutkan ke Al-Azhar Univercity, Cairo, Mesir.

Sepulang dari Mesir (Desember 2007), saya terus mengamati  perjalanan pesantren-pesantren  di Indonesia. Dari pengamatan itu, saya membaca ada 2 fenomena mengapa banyak pesantren kurang “sukses”. Pertama, karena menurunnya kuantitas pesantren salaf dan merosotnya kemampuan kitab kuning di pesantren yang mendirikan sekolah formal. Kedua, karena ketidak mampuan bersaing sekolah formal di pesantren dengan sekolah negeri favorit di luar pesantren.

Secara umum, dua hal tersebut merupakan tantangan besar pesantren. Jadi, pesantren yang memiliki sekolah formal biasanya lemah dari dua sisi. Sisi agama dan kitab kuning kurang kompeten, dan sisi sains dan tehnologi tidak bisa sampai pada taraf ideal. Mau fokus ke agama (kitab kuning) tidak bisa karena ada sekolah formal. Mau fokus ke sekolah formal, juga tidak mungkin karena basisnya pesantren. Akibatnya semuanya serba tanggung.

Akhirnya saya bermusyawarah dengan abah untuk mengkonsep ulang pesantren Nuris. Harapannya Nuris bisa menjawab dua tantangan besar pesantren itu. Baik tantangan peningkatan mutu keagamaan dan tantangan peningkatan mutu pendidikan formal.
Di sisi peningkatan keagamaan juga selaras dengan keinginan untuk menerapkan ilmu-ilmu keagamaan yang saya peroleh dari Al-Azhar University. Di mana pesantren belum memiliki lembaga yang memadai untuk menampung kurikulum internasional Al Azhar dan materi-materi keagamaannya.

Akhirnya diputuskan untuk mendirikan MTs Unggulan Nuris (2008). Inilah yang saya sebut sebagai fase rekonstruksi. Setahun kemudian MI Unggulan Nuris didirikan, dan disusul  MA Unggulan Nuris (2011). Itu masih di topang oleh pendirian 3 lembaga pendidikan keagamaan  dan 1 lembaga penjamin mutu kitab kuning. Tiga lembaga itu adalah  Madrasah Diniah Tarbiyyatul Muallimin wal Muallimat. Madrasah Al-Quran (MQ). Madrasah Huffadz Al-Quran (MHQ).  Dan 1 lembaga penjamin mutu kitab kuning : MPKIS (Manajemen Pengembangan Kitab Kuning Santri).

Di bidang pendidikan formal kita perkuat melalui pembentukan lembaga penjamin mutu di tingkat yayasan  dengan pembentukan pengurus Bidang Pendidikan Formal (BPF), Bidang Sumberdaya Manusia (BSDM) yang merekrut, membina, mendiklat guru di lingkungan Yayasan Nuris.

Alhamdulillah SMA yang semula akreditasi B menjadi A. Bahkan kini seluruh pendidikan formal menyandang akreditasi A.

Bersyukur pada Allah waktu pertama kali saya dating, santri berkisar 300-an. Dalam kurun waktu 9 tahun sudah mencapai 3000-an. Berarti meningkat 1000%.Ini anugerah dan amanah dari Allah agar Nuris terus memperbaiki diri dalam menjalankan tanggungjawab mendidik anak bangsa.

Seperti diketahui, sekolah formal Nuris banyak meraih prestasi, mulai dari sepak bola, keagamaan  hingga sains, apa resepnya ?

Kuncinya perbaikan manajemen mutu di bidang sains, tekhnologi, ilmu sosial, seni dan bahasa. Terkait dengan itu, Kami membentuk 3 lembaga penjamin mutu. Pertama, M-Sains, kepanjangan dari  madrasah sains. Lembaga ini khusus menggali dan mengembangkan bakat minat santri bidang sains dan tekhnologi. Kedua, lembaga pengembangan ekskul seni, public speaking dan jurnalistik. Ketiga, lembaga pengembangan bahasa Arab dan Inggris.

Dimulai dari pemetaan bakat dan minat, lalu dipilah-pilah, kemudian dikembangkan. Kegiatan pengembangan bakat dan minat dilakukan setiap sore. Evaluasinya  setiap 3 bulan.

Bagaimana sistem pembinaan di Pesantren Nuris?

Pembinaan itu dari dua sisi. Sisi pembinaan dan pengembangan santri. Dan sisi bimbingan SDM-nya. Guru-guru pembinanya juga terus kita pantau dan diberi fasilitas pendukung seperti buku, alat peraga, laboraturium dan seterusnya. Dalam rangka pembinanan juga, murid-murid tingkat SMP, MTs, SMK dan  SMA diwajibkan mondok. Ini untuk mengembalikan ruh pondok pada santri jaman sekarang yang tergerus karena kebijakan hanya sekolah di lingkungan pesantren. Dengan mondok, maka kedekatan spritual dan emosional antara santri dan kiai, antara santri dan ustadz, bisa terjalin.

Adakah rangsangan bagi siswa untuk berprestasi?

Ada. Tapi punishment dan reward kita ketat. Jika anak tidak disiplin, 10 kali alpha, maka dia akan dikeluarkan dari bimbingan pengembangan bakat dan minat. Reward bagi juara 1 kelas paralel  Rp. 500.000,- per semester. Selain itu, juga ada penganugerahan piala setiap hari Senin,  dan di setiap semester ada pemberian penghargaan untuk wali murid yang siswanya berprestasi.

Sejauh mana keterlibatan guru dan pengasuh dalam mendidik santri/siswa?

Semua pengasuh adalah pengurus yayasan. Kita rapat evaluasi SDM, kegiatan, peningkatan mutu, dan lain-lain.  Guru rata-rata menjadi wali kelas dan ikut serta dalam mendampingi bakat dan minat siswa kelasnya.

Wali santri terus kita dorong untuk memberi  motivasi dalam lomba-lomba yang diikuti anaknya.Mereka juga kita motivasi untuk mendukung kelanjutan pendidikan santri di universitas-universitas favorit. (Red: Abdullah Alawi)