Wawancara

Khofifah: Memimpin Muslimat Harus Rajin Turun dan Bersapa

Selasa, 12 Februari 2019 | 12:00 WIB

Hj Khofifah Indar Parawansa merupakan nama yang sampai ke desa-desa, akrab dengan ibu-ibu pengajian atau disebut muslimatan. Dengan menyebut kegiatan pengajian Muslimat sebagai muslimatan adalah keberhasilan banom NU satu ini berubah dari kata benda menjadi kata kerja. Muslimat adalah pengajian dan pengajian adalah Muslimat.

Di waktu yang sama, seragam Muslimat juga menjadi kian massal dan digunakan dalam berbagai kesempatan ibu-ibu di desa. Bagi yang tidak mengenalnya, seragam itu seperti seragam ibu-ibu pengajian saja. Bukan seragam organisasi. 

Bagaimana resep dan cerita-cerita Khofifah memimpin Muslimat NU? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarainya di Gelora Bug Karno (GBK), Jakarta, 26 Januari lalu. Berikut petikannya  


Apa resep Anda memimpin Muslimat NU? 

Mesti rajin turun. Rajin turun. Rajin bersapa. Tidak berbatas. Wajahku kebetulan wajah ndeso, itu menguntungkan.

Bagaimana perlakuan sambutan anggota Muslimat pada sebuah acara?

Saya ini kalau acara gede, ini (Khofifah menunjukkan pergelangan tangan kanannya) tercoret-tercoret itu sudah pasti. Kalau ini ada coretan ini, adalah sisa 30 Desember. Ini agak dalam. 

Tercoret bagaimana? 

Lho kan mereka pakai cincin. Salaman, salaman, kan ditarik-tarik begitu. Udah pasti kegores. Jadi, memang mereka butuh disapa. Asal kita bersapa; bajuku tidak pernah bermacam-macam, bukan tidak bisa beli gelang, tapi aku sengaja tidak menggunakan supaya tidak berbatas dengan mereka. Kalau aku kelihatan bergelang, mereka tak berani bersalaman. Cincin aku jarang.

Yang sering paling disampaikan kepada anggota Muslimat apa?

Hampir selalu, hampir selalu saya gini, (Khofifah membaca surat Az-Zumar 73)


وسيق الذين اتقوا ربهم إلى الجنة زمرا حتى إذا جاؤوها وفتحت أبوابها وقال لهم خزنتها سلام عليكم طبتم فادخلوها خالدين

Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya dibawa ke dalam surga berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya".

Lha ini ibu-ibu ini masuk rombongan siapa? Shalat sering telat, tidak khusuk, ibu-bu ikut rombongan siapa? Di Muslimat ikut rombongan Hadratussyekh. Hadratussyekh KH HAsyim Asy’ari bilang, siapa yang mengurusi NU, akan saya aku menjadi santriku. Ingat lagi, siapa pendiri Muslimat NU? KH Wahab Hasbullah. Mau sama Kiai Wahab? Mau sama Hadratussyekh? Berjuang di Muslimat, Qur’an itu; orang-orang yang bertakwa akan masuk surga Allah secara berombongan. Ikut rombongan siapa? Enggak di Muslimat, ya enggak diakulah oleh pendiri NU. Kalau mereka sudah bersama-sama masuk di depan pintu surga, malaikat membukakan pintu, mereka akan tinggal di dalamnya selama-lamanya, sering itu saya sampaikan, bermuslimat untuk apa? Semua obsesinya kan surga. Ikut siapa coba. Ikut siapa coba masuk surganya Allah? Al-Qur’an bilang, berombongan, ikut rombongan siapa? 

Membangun citra Muslimat NU sampai populer ke desa-desa, terutama melalui seragamnya, itu bagaimana ceritanya? 

Oh seragam. Itu dulu ceritanya kita berharap itu akan menjadi akan menjadi sesuatu yang borderless, tidak jadi pembatas. Jangan yang kaya pakai baju apa. Yang tidak punya pakai baju apa. Jadi itu kemudian kan sama, begitu. Kemudian ya biasalah, setelah kita bikin, pasar ada yang melakukan penetrasi, wis pokoke aku tambah seneng; orang-orang Kalimantan biasanya beli seragam di Tanah Abang; beli seragam NU, bukan Muslimat NU, udah tahu mereka, murah, dan itu hampir di setiap kota bisa. Aku ke Lubuk Linggau kira-kira lima tahun lalu, ada toko yang jualan seragam Muslimat NU. Banyak orang yang memproduksi, makin mudah orang mendapatkan, tetapi warnanya rada blontang-blontang. Kalau ada warna ungunya kuat begitu, iki produksi Pekalongan, saya tahu. Kalau kuningnya agak banyak, ini produksi Semarang, sedikiti kemudian variatif, tapi yo mirip-mirip. 

Itu yang mendesain siapa, dan sejak kapan? 

Saya dari tahun 2003 kali. Sejak saya ketua umum, tapi itu mandat, mandat kongres supaya kita punya seragam. Setelah itu kita ngomong-ngomong…

Sejak zaman Bu Aisyah Hamid? 

Saya pelanjutnya, jadi zaman saya, dan itu mandat kongres. Oh, kongres memandatkan kita supaya kita punya seragam, akhirnya kita bikinlah. 

Yang mendesain pertama kali itu siapa?

Danar Hadi, itu desainnya Danar Hadi. Tapi sama pasar, ungunya dominan, kuningnya dominan, ya sudah, tapi ya makin banyak, makin murah, begitu. Ada sekarang itu yang produksi Malang itu bahannya itu, panas Bu, ini panas, Bu. Bikinlah dari yang enggak panas. Begitulah mereka. Tapi jangan jauh dari yang standar ini ya, saya bilang.

Kalau di daerah-daerah, ramai, bagaimana gerakan Muslimat di kota-kota besar? 

Surabaya itu guede lho. 

Jakarta, bagaimana? 

Jakarta, betul, jadi, ke pengajian itu tiap Sabtu pertama di Masjid Sunda Kelapa, itu banyak juga, seragaman, itu hampir seratus persen seragam. Narasumbernya sama, Pak Nasarudin Umar. Tiap bulan. Dan pengajiannya tasawuf, uapik, apik, apik. 

Berapa orang biasanya yang hadir? 

Ya, 4000 adalah. Ya opo sampeyan? Cuma Muslimat itu dimana-mana undercover, jadi ora terpublish dengan baik. Rata-rata begitu. 

Bagaimana di luar Jawa, Medan misalnya? 

Medan gede. 

Gede juga ya di Medan? 

Sampeyan iki opo yo, aku harus bilang bagaimana. 

Bagaimana Lampung? 

Apa lagi itu Lampung. Lampung ini kan Jawa Utara. Sampeyan bisa ngitung enggak orang Darmasraya pakai bus (ke Harlah ke-73 Muslimat di GBK akhir bulan Januari lalu). Apa yang menggerakkan mereka pakai bus?  

Apa itu? 

Lha iya, artinya kan ini orang Sumatera Barat, Solok, aku mau bilang bahwa suasana itu juga tumbuh, begitu. Mungkin tidak semasif di Jawa. Karena Solok itu mesti lewat Darmasraya. 

Luar negeri bagaimana? 

Hong Kong sudah datang. Dua orang. Saudi sudah sampai. Saya belum tahu berapa. Kemudian Taiwan, Malaysia, London, Korea belum punya. 

Bagaimana perbandingan perkembangan Muslimat Jawa dan luar Jawa? 

Kalau untuk lomba-lomba jangan bilang seimbang itu dalam artian kuantitatif lho ya. Kalau kuantitatif, jumlah penduduk saja 65 persen Jawa. Udah pasti Muslimat juga banyak di Jawa. Tapi kalau secara kualitatif, misalnya pengurus Muslimat di Sulsel, hampir 70 persen doktor, beberapa di antaranya guru besar, maka dalam beberapa lomba, kepada Pak Wapres saya sampaikan, dalam beberapa lomba dalam TK, PAUD, itu pemenangnya rata-rata dari luar Jawa. Pernah dari Padang Panjang Sumatera Barat itu pemenang PAUD, Gorontalo pemenang untuk TK. Banyak sekali pemenang-pemenang lomba itu dari luar Jawa. Itu artinya mereka mungkin jumlahnya tidak sebanyak yang di Jawa, tapi inovasinya kan macam-macam, varian-varian yang dilombakan, mereka bisa dapat juara satu tuh, RA, satu RA di Bali itu dapat tiga penghargaan, ada guru, inovasi, kualitas, ini yang aku cerita di tingkat Muslimat. Muslimat kan pendidikannya PAUD, TK, RA. 

Terkait hoaks, Muslimat mendeklarikan Laskar Antihoaks bagaimana menurut Anda saat ini? 

Aku udah jadi korban, kemarin pas pilgub. 

Bagaimana mengatasinya? 

Begini, suatu saat ada blog; anakku lagi kuliah di luar negeri, blog itu seolah-olah testimono dari seorang perempuan yang menjadi istri kedua bapaknya, bapaknya udah meninggal lagi, sedih enggak. Setelah itu, anak saya semua sangat hati-hati menyampaikan sesuatu kepada ibunya. Semua alhamdulillah. Dia kalau ada sesuatu sampai suasana saya enak, baru dia sampaikan. Lha ini kalau blog di luar negeri kayak apa coba. “Ibu, ibu lagi apa?” Kenapa sih ini anak ini? “Ibu sudah lihat ini?” Saya lihat. Anakku, tenang. Tidak akan terjadi semua ini. Saya bilang begitu. Anakku tahu; saya kan kalau panggil anakku, anakku, hari ini ibumu sedang kompetisi, jadi, anakku harus sabar dan tidak akan pernah terjadi seperti ini. Sudah, anakku tenang. ”Enggak kan, Bu?” Baru kemudian, tenang, cair. Ini (blog) adalah seolah-olah testimoni dari seorang perempuan dari istri lain, dari almarhum suami saya. Gini, Nak, ibu akan jawab, siapa yang betul beristri oleh bapakmu, seluruh harta yang kita punya, ambil! Enak kan. Sudah. “Oh gitu 
ya, Bu.” Ingat, Nak, meskipun agama Islam memperbolehkan, tapi kan saya harus memastikan karena ini akan menjadi kegelisahan anak saya. Banyak hoaks kayak gitu. Banyak, bagaimana saat pilgub. Banyak yang harus saya jawab. Biasa itu. Yang sangat prinsipil harus dijawab;

Apakah setelah hoaks itu diklarifikasi kemudian hilang? 

Alhamdulillah saya relatif cukup dipercaya. Jadi kalau misalnya orang dapat berita apa, kemudian saya sudah jawab, sudah kok, “kata bu Khofifah begini,” gitu. Soal kepercayaan itu menjadi penting. Sekali jawab orang percaya, oh iya atau tidak. 

Berarti integritas sangat penting?

Menurut saya iya. Tapi harus dijawab, jangan biarkan itu meluas seolah-olah yang salah manjadi sebuah kebenaran, begitu. Emang harus dijawab. Tapi kalau cuma apa-apa, ya cuma ngabisin energi, tapi yang prinsipil harus dijawab. 

Wah, kalau aku pilgub saja, begitu, artinya resonansinya sak-Jawa Timur, tapi kalau hoaks ini resonansinya sudah nasional kebayang enggak, akan terjadi distrust, itu dari sana, sana, kebayang enggak. Aku yang paling khawatir adalah, apa yang kemudian dilakukan itu ternyata berpengaruh kepada disintegrasi nasional, aku tidak ingin itu, tapi koyoke makin tajam, makin tajam, makin meluas, begitu lho. Itu makanya saya pikir, saya usahakan bu nyai-bu nyai di Muslimat, yang setiap saat ketemu dengan jamaah di majelis ta’lim ini memang harus punya satu ikatan bersama untuk bergerak bahwa selain materi-materi pengajian yang mereka ajarkan ada tambahan yaitu hindari su’udhan, itu bahasa yang sangat umum. Setelah itu hindari prasangka buruk. Hindari fitnah. Hindari ujaran kebencian. Hindari hoaks.

Kondisi internal di Muslimat saat ini kalau beda pilihan politik, bagaimana? 

Kita itu sudah bersepakat dari awal, wal, wal, masuk pintu Muslimat, kita hanya akan ngomong Muslimat, keluar pintu Muslimat, silakan mau ngobrolin apa, sing iki PKB, iki PPP, GOlkar, PAN juga ada, sudah, tidak ada pembicaraan partai di kantor Muslimat. 

Dan itu ditaati bersama? 

Insyaallah ditaati