Wawancara

Kiai Said: Musik dari Khawathir Malakutiyah

Senin, 19 Maret 2018 | 07:30 WIB

Kolumnis berjuluk pendekar pena, Mahbub Djunaidi, pernah mengemukakan sebuah anekdot tentang orang-orang Timur Tengah. Menurut dia, orang di sana hanya akur dalam dua hal, sama-sama membenci Israel dan menyukai nyanyian-nyanyian Umu Kultsum. Di luar dua itu, tidak pernah akur, berantakan seperti kelereng dalam kaleng. 

Anekdot itu menunjukkan betapa hebatnya pengaruh nyanyian yang diiringi musik. Bahkan, menurut Kiai Said Aqil Siroj, Allah mengabadikan satu-satunya profesi menjadi nama surat Al-Qur’an, Asy-Syu’ara. Artinya para penyair. Kiai Said menerjemahkan dengan bebas, para pencipta lagu juga masuk ke dalam profesi penyair.

Sementara tentang musik, kalangan ulama banyak yang mengharamkan, tapi ada juga yang membolehkan. Bagi yang mengharamkan, karena musik termasuk alat malahi, yang melupakan. Di sisi lain, misalnya beberapa tarekat, justru menggunakan medium musik sebagai pengantar dzikir. 

Seorang sufi besar Al-Imam Dzu Nun Al-Mishri, musik itu suara kebenaran yang mungkin menuju Allah. Barangsiapa mendengarkan suara musik dengan betul-betul mencapai hakikat, dengan tujuan positif, dia akan mencapat kepada hakikat. Tapi barangsiapa mendengarkan musik dengan syahwat, dia akan pada kezindiqan.

Terkait musik di kalangan pesantren, ada yang benar-benar menutup diri dengan mengharamkannya, ada yang membolehkan dan bahkan bisa memainkannya, ada juga yang diam-dima menyukai. Rais Aam PBNU KH Ahmad Shidiq konon menyukai musik, apalagi KH Abdurrahman Wahid. Juga Habib Luthfi bin Yahya yang bisa memainkan beberapa alat musik. 

Lalu, bagaimana sebetulnya musik di dalam sejarah peradaban Islam? Abdullah Alawi dari NU Online mewawancarai Ketua UMum PBNU KH Said Aqil Siroj di ruangannya, lantai 3 Gedung PBNU, Jakarta, 9 Maret lalu. Berikut petikannya:

Bagaiman posisi musik dalam sejarah peradaban Islam?

Musik itu termasuk bagian dari seni yang bisa mencerdaskan emosional manusia. Oleh karena itu, musik di dalam sejarah, ada Pytagoras, filosof Yunani kuno sebelum Plato, dia memegang gitar, menyanyi-nyanyi di pinggir pantai, laut, ikan-ikan berdatangan, dan burung-burung hinggap di bahunya, di kepalanya. 

Nah, di dalam agama Islam musik yang menjadikan orang itu lupa pada kewajiban; shalat, dzikir, diharamkan oleh para fuqaha (ahli fiqih), tetapi kalau musik menjadikan hati seseorang lembut, bisa melupakan dendam, takabur, benci, hasud, permusuhan, fitnah, bisa hilang ketika seseorang mendengarkan musik, itu sangat terpuji. 

Kata salah seorang waliyullah besar, sufi besar Al-Imam Dzu Nun Al-Mishri yang yang wafat tahun 245 Hijriyah mengatakan, musik itu suara kebenaran, suara hak, yang palsu itu dari mulut. Bohong itu mulut. Musik tidak ada yang bohong. Suara kebenaran yang bisa menggugah hati manusia menuju Allah, menuju kebenaran. Barangsiapa mendengarkan suara musik dengan betul-betul mencapai hakikat, dengan tujuan positif, dia akan mencapat kepada hakikat. Tapi barangsiapa mendengarkan musik dengan syahwat, dia akan pada kezindiqan. 

Walhasil, menurut ajaran sufi, beberapa, tidak semuanya, musik mempunyai peran yang sangat penting di dalam memperhalus, mempertajam, mencerdaskan emosi, dzauq, intuisi, dengan cepat menuju ma’rifat, mendakatkan diri kepada Allah; antara lain yang menggunakan tarekat dengan musik itu adalah Ahmad Al-Ghazali, adiknya Imam Al-Ghazali. Sampai beliau menulis kitab Sirrul Asrar, diterangkan bahwa musik itu ada artinya. Lobang-lobang seruling itu ada artinya, makanya mencapai maqom tertinggi. Kemudian tarekat Maulawiyah yang didirikan oleh Maulana Jalaluddin Ar-Rumi, dzikirnya disertai suara seruling, supaya mempercepat dzauq itu nyambung, mempercepat wushul (sampai), mempercapat hati kita, emosi kita, spiritual kita, tajam sehingga wushul kepada hakikat. Sampai sekarang kalau kita berziarah ke kuburannya Maulana Jalaluddin Ar-Rumi di kota Konya, Turki, suara seruling terus-menerus, sayup-sayup. Itulah pendapat para sufi yang melihat musik dari sisi positif. 

Nah, kalau masalah kesenian. Satu-satunya profesi seni yang diabadikan di dalam Al-Qur’an adalah Asy-Syu’ara, para penyair. Profesi yang lain tidak ada. Para pelukis, nama surat, tidak ada. Para khattat, tidak ada. Para penyair ada, surat Asy-Syu’ara; dikatakan bahwa seorang penyair itu kebanyakan sesat karena yang diomongkan, dikeluarkannya itu bukan semestinya, tidak nyata, kecuali kalau syairnya itu untuk menambah iman kepada Allah dan beramal saleh. Ada sebagian syu’ara, banyak syu’ara yang syair-syairnya itu untuk menambah iman. 

Bagaimana caranya bermusik yang bisa mencapai kekshusukan atau hakikat? 

Kita masuk rumah atau masuk masjid. Dari luar kita menjumpai hal-hal yang tak kita senangi, bertengkar, marah, di jalan macet, panas, capek atau lapar; masuk ke rumah, jangan terus dzikir, hati kita belum siap itu, rohani kita belum siap. Dengarkan musik dulu, tapi musiknya yang bernilai, yang bagus, jangan yang murahan. Dengan mendengarkan musik itu, hati kita bersih, lupa tadi bertengkar, marah sama orang, ngatain orang. Sesudah bersih, masuk dzikir, insyallah khusuk. Tapi kalau masuk rumah langsung dzikir, enggak cun, enggak cun in. insyaalah dsikirnya tidak hanya lisan, la ilaha illallah, tapi hatinya juga mengikuti. Mulutnya mengucapkan la ilaha illallah, hatinya mengikuti makna yang ada dalam kandungan kalimat la ilaha illallah. 

Mengenai syair atau puisi, satu-satunya profesi yang diabadikan menjadi nama salah satu surat di Al-Qur’an, yaitu surat Asy-Syu’ara. Profesi lain tidak ada, para pelukis, para seniman yang lainlah, tapi kalau penyari ada, menjadi nama salah satu surat di dalam Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an surat Asy-Sy’ara ditegaskan, Muhammad, para penyair itu orang yang mengikuti khayalannya. Mereka dengan khayalannya mengarungi beberapa lembah dan jurang, dan mereka mengucapkan kata-kata yang tidak mereka kerjakan, maka itu merupakan syair yang menyesatkan. Kecuali para penyair yang beriman dan beramal saleh dan tidak mereka dengan syairnya itu menambah dzikir, teringat kepada Allah. Ini pengecualian ini menjadikan para syuara itu mendapat posisi kemuliaan di mata Allah. Kalau syairnya itu hanya khalayan yang tidak mendorong kita memperbanyak dzikir kepada Allah, itu syairnya cuma-cuma. Tidak bernilai. Sekali lagi, Al-Qur’an, Islam sangat menghormati para penyair yang syairnya membangun nilai-nilai positif.  

Untuk lebih mendekatkan kepada Allah, lebih mudah dengan musik atau dzikir? 

Tadi sudah saya katakan, musik itu pengantar dzikir untuk membersihkan kita selama di perjalanan di luar rumah, mendapatkan sesuatu tidak kita senangi, yang menjengkelkan, tidak kita senangi, kemudian mendengarkan musik untuk membersihkan itu semua, melupakan apa yang baru terjadi. Kemudian selesai, lupa betul, jernih, baru masuk dzikrullah. Insyaallah dzikirnya bukan hanya lisan. Bukan hanya ucapan kosong, tapi dzikirnya bersamaan dengan hatinya berdzikir kepada Allah; lalu bisa menjadikan orang itu terharu, menitikkan air mata, terasa, terharu, emosional ketika mendengarkan syair yang indah, musik yang baik. 

Banyak sekali, kata Imam Ghazali, bukan kata saya, banyak orang yang dibaca Al-Qur’an, hatinya tidak melunak, barangsiapa tidak zakat, maka akan masuk api neraka, dibakar dengan paku-paku yang yang panas mukanya, ada yang tidak terenyuh, tidak tersentuh dengan ayat itu. Banyak orang yang dibacakan ayat Al-Qur’an, masalah zakat, kepedulian fakir msikin. 
 
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ  

Orang yang mendustakan agama adalah yang membentak anak yatim. Tidak peduli fakir miskin. Banyak orang yang mendengar ayat itu tidak tersentuh. Tapi ketika mendengarkan lagu ratapan yatim piatu, ratapan fakir miskin, ada yang hatinya lunak, lembut, bergairah membantu yatim dan si miskin. Itu bukan masalah Al-Qur’annya yang kurang berbobot, orangnya yang beku. Ini dari sisi kejiwaan, yang dikatakan Imam Ghazali itu ditinjau dari sisi kejiwaan, psikologis, bukan dari sisi agama. Banyak orang yang jiwanya itu ketika tidak tersentuh hatinya, tetapi ketika mendengarkan musik, suaranya yang merdu, lagu enak, syair yang bagus, bisa tersentuh.   

Bisa diceritakan tokoh Islam yang berhubungan dengan musik? 

Seorang tokoh Muslim yang terkenal dalam bermusik adalah Abu Nasr Al-Farabi. Beliau suatu ketika menemukan alat musik yaitu al-qonun. Al-qonun itu perkembangannya yang sekarang jadi organ itu. Al-qonun itulah masih dipakai di Mesir ketika Umu Kultsum, masa lalu, sekarang sudah tidak ada. Yang memimpin grup musik itu pasti yang memegang qonun itu. Al-Farabi menulis buku tebal Al-Musiqal Kubra, saya punya kitabnya. Suatu ketika Al-Farabi diundang makan malam oleh Gubernur Saifud Daulah di Damaskus. Setalah makan-makan, ada yang nyanyi. Kata Al-Farabi, ah, nyanyinya enggak enak itu. Musik gambusnya juga enggak nyambung. Si Saifud Daulah, gubernur, kaget. Apa Syekh negerti, bisa musik? Saya coba. Maka gambusnya diambil oleh Al-Farabi, distel, beliau nyanyi, semua orang ketawa karena lagunya jenaka, istirahat, minum-minum air putih atau teh, bukan minum khamr yang memabukan, bukan, makan-makan buah. Nyanyi lagi yang kedua, semua orang sedih, menangis, hatta gubernurnya. Lagu terakhir, dia nyanyi, semua orang tidur, gubernurnya pun tidur seketika. Beliau pulang, penjaga pintu pun tidur.

Itu pengaruh musiknya Abu Nasr Al-Farabi. Ini apa mustahil? Tidak! Di dalam Al-Qur’an dikatakan, suara Nabi Dawud, kalau baca kita Zabur, besi pun bisa lunak, genteng-genteng pun bisa jatuh. Ada di dalam Al-Qur’an. Nabi Dawud itu suaranya indah banget. Artinya, bisa saja, sangat mungkin Al-Farabi nyanyi bisa tertidur, bisa menangis, tertawa, jangan dikatakan omong kosong. 

Apa yang membuat Al-Farabi bisa bermusik sampai pada tingkatan seperti itu? 

Begini, musik itu sebenarnya, walaupun ada sekolahnya, itu sebagai pintu masuk saja, untuk mengembangkan bagaimana seseorang itu betul-betul ahli, betul-betul menyatu dengan seni, bukan hanya melulu dari bangku sekolah. Maka dalam pembagian lintasan yang ada di intuisi yang dibagi Imam Ghazali ada empat. Ada lintasan di dalam hati orang itu dari Allah itu adalah khawathir rabbaniyah. Semua kita mendapatkan lintasan dari Allah. Sering. Kalau dipelihara, dipertajam, dipupuk akan menjadi ilham. 

Yang kedua, lintasa atau ide dari malaikat, khawathir malakutiyah. Semua kita sering mendapat khawathir malakutiyah. Kalau kita asah, kalau terus-menerus kita asah, akan menjadi ilmu laduni. Nah, yang dari malaikat itu, salah satunya musik, syair, lagu, talhim. Yang menciptakan lagu Umu Kultsum, satu jam setengah nyanyi, lagu Amal Hayati, Inta Umry, Antal Hub, al-Aqwal, coba dari mana itu? Lagu itu dari mana? Yang menciptakan lagu, dari sekolah? Bukan! Dari bangku kuliah, bukan? Barangkali pegang musiknya dari kuliah, tapi lagunya itu. Itu namanya khawatir malakutiyah. 

Yang ketiga, khawathir nafsaniyah. Namanya hawajis, daya tarik hawa nafsu, itu yang akan jadi hawa nafsu, kejahatan dengan rapi, yang terencana. 

Yang keempat dari setan, wasawis. Kalau setan menggoda itu spontanitas, bisa dilawan. Tapi dari hawa nafsu sendiri, melakukan kejahatan, sudah direncanakan dengan rapi, itu dari hawa nafsu. Dengan bantuan musik ini, kita bisa, minimal, paling tidak, kita bisa mendapatkan ilmu laduni dari khawathir malakutiyah. 

Ini tapi tolong jangan dipahami dengan hukum fiqih. Kita bicara musik itu dari perspektif tasawuf. Kalau dari ilmu fiqih, namanya alat malahi haram. Kitab kuning yang dibaca di pesantren. Kenapa? Karena kebanyakan, mayoritas, anak-anak yang bermain musik, lupa shalat, laupa dzikir, kepada Allah, alataul malahi, alat yang melupakan. Tapi sekali lagi, Al-Qur’an sendiri mengatakan, kalau syairnya justru mendekati kepada Allah, mendekatkan diri kepada Allah, insyaallah. 

Jadi, pesantren memandang musik seperti itu karena kehati-hatian? 

Ya, ya, untuk doktrin pertama ya, kitab Safinah, Sulam, Fathul Qarib, Fathul Mu’in, itu baik untuk anak-anak santri. Kalau seketika, sewaktu-waktu belajar musik, ok. Tapi kalau semua waktunya habis dari pagi sampai malam untuk bermain gitar, bermain suling, alat musik, melupakan pelajarannya, melupakan shalat apalagi, bahaya. 

Bisa diceritakan selera musik Pak Kiai? 

Saya berbeda dengan Gus Dur beda dikit. Gus Dur bisa menikmati musik Jawa. Saya enggak.  Saya menikmati lagu Umu Kultsum, kalau di Indonesia, Titi KD, Mashabi, A. Kadir. Kemudian Kiai Said menyanyikan lagu yang disukainya, sepotong lagu yang dinyanyikan Ummu Kultsum. 
 
خليني جنبك خليني .. في حضن قلبك خليني
وسيبني أحلم .. ياريت زماني ما يصحنيش