Wawancara

Kiai Syaifudin Amsir Bercerita Kiai dan Santri Betawi

Senin, 10 Desember 2012 | 22:25 WIB

Pesantren kiai Betawi di Jakarta dinilai tidak mampu bertahan lama. Sejak dahulu para kiai Betawi memang gemar mendirikan pesantren dengan bangunan asrama yang sangat sederhana. Namun, usia pesantren mereka cukup singkat. Bertahan sampai dua puluh tahun, para kiai Betawi itu sudah terbilang sukses.
<>
Untuk itu, KH. Saifuddin Amsir, Rais Syuriyah PBNU asal Betawi ini bercerita kepada Alhafiz Kurniawan dari NU Online terkait usia dan masalah pesantren Betawi di Jakarta. Dialog berlangsung di ruang Syuriah PBNU lantai empat, Gedung PBNU, Kramat Raya nomor 164, Jakarta Pusat, Selasa (6/11) sore.

Mengapa kultur kiai Betawi dan kiai Jawa agak berbeda dalam menangani pondok pesantren?

Pendirian pondok pesantren itu mudah. Tetapi merawatnya, itu yang agak sulit. Kultur pondok pesantren itu sudah membenam kuat di kalangan kiai Betawi. Tetapi kultur itu kan tidak berdiri sendiri. Kultur itu dihadapkan pada kenyataan-kenyataan di sekitarnya. Kiai Betawi bikin (pesantren, red.) juga. Tetapi nasib dari kelanggengan pesantren itu tidak sama antara Jakarta dengan daerah lain.

Kenyataan model apa yang menjadi tantangan tradisi pesantren di Jakarta?

Antara lain ya urusan keduniaan. Keduniaan menuntut orang tua di Jakarta untuk mengubah orientasi pendidikan anak mereka. Dari situ, pendidikan sistem pondok, kurang dilirik oleh orang tua.

Itu pula yang mengubah perilaku masyarakat Betawi. Mereka dihadapkan untuk menyaingi jangkauan-jangkauan orang kafir yang ada di Betawi. Yang bila dia tidak ikut menyusul, maka dia akan tersisihkan, teralienasi dari kehidupan Jakarta. Itu yang mesti disadari.

Berbeda dengan yang ada di Jawa. Daerah yang terpajang maju itu, hanya ada pada lapis depannya saja. Untuk ke belakangnya, kalau bukan hutan ya tentu sawah. Lain dengan Jakarta. Pada zaman kolonial, Jakarta sudah punya metropol, kapitol, gedung bola Harmoni yang dikunjungi orang-orang dunia saat itu.

Sekarang rumah bola Harmoni sudah nggak ada itu. Yang jadi Duta Merlin, saya pernah membaca alquran di situ, di hotel jaman dulu. Masih kita melihat lantainya dari kayu jati yang mungkin tebalnya sejengkal untuk berdansa. Dan NU pun pernah hadir di situ. NU mentradisikan sesuatu yang belum pernah menjadi tradisi di Jakarta. 

Habis pengajian, mereka menyetel musik. Itu terjadi pada tahun 1969. Saat itu saya masih suka membaca Al-Qur'an.

Lalu bagaimana reaksi para kiai melihat kenyataan demikian?

Kiai Betawi menolak. ‘Jangan kata kiai, ustad-ustad sederhana aja kagak mau bikin begini (mencampur tradisi agama dalam pesta-pesta),’ kata saya dalam hati. Dan itu bukan ulama Betawi. Ulama Betawinya pada mundur. Itu sudah terjadi sejak zaman pak Idham Cholid. Dia ketua Tanfidziyah NU waktu itu. Dia paham menyanyi, paham ini, paham itu. Dia cerdas dan piawai dalam berceramah. Dia politisi juga.

Saya mengerti itu karena dahulu saya suka mengikutinya lantaran saya suka diminta buat membaca Al-Qur'an. Emang (kualitas membaca Al-Qur'an, Red) tidak sebaik yang sekarang. Kalau sekarang kan emang dipelajarin. Kalau dahulu sih, bisa saja udah untung (Kiai Saifuddin tertawa lebar). 

Jakarta terbilang unik. Di daerah yang menjadi pusat keduniaan baik dari segi ekonomi maupun kekuasaan, terlahir banyak kiai di dalamnya. Mereka umumnya menggali ilmu agama di kota Mekkah dengan sistem pondok pesantren. Tetapi ada juga kiai Betawi yang belajar dari guru-guru alumni Mekkah.

Mereka kemudian menerapkan sistem pondok di daerahnya. Namun, kehidupan metropolitan menuntut warganya untuk mengubah model pondok pesantren menjadi sekadar majelis taklim. Tidak seperti di Jawa atau Sunda, pondok pesantren di Betawi umumnya berumur singkat karena kurang dukungan dari warganya.

Kita bisa menyebut pondok pesantren yang didirikan oleh Guru Marzuki, pendiri pertama NU Jakarta, di bilangan Jatinegara, Jaktim, dan pondok pesantren Guru Makmun, ayah KH. Abdurrazak Makmun, Katib Syuriah PBNU 1967, Kuningan, Jaksel.

Kedua pesantren ini di tahun 1930-an sangat berkontribusi bagi pengembangan kaderisasi keulamaan. Kiai Betawi generasi berikutnya banyak berhutang budi kepada dua pondok pesantren tersebut. Karena, banyak kiai-kiai tangguh Betawi dibesarkan oleh pengajaran dan keberkahan dua pondok tersebut. KH Abdullah Syafi‘I adalah satu dari sekian banyak santri pondok pesantren Guru Marzuki.

Negosiasi tradisi pesantren dan gaya hidup metropolitan menghasilkan sistem baru dalam pendidikan keagamaan di Betawi. Sistem pondok berubah menjadi model madrasah. Sebut saja madrasah Raudlatul Muta‘alllimin, Kuningan Jaksel, yang digagas pada tahun 1950-an.

Madrasah ini mengakomodir santrinya tanpa harus bermukim di asrama. Di dalamnya kurikulum pesantren diterapkan. Selebihnya, para santri pulang ke rumah. Di luar madrasah, para santri membekali diri dengan aneka keterampilan sebagai tuntutan hidup di kota metropolitan.

Meskipun pesantren di Jakarta timbul-tenggelam, kiai Betawi generasi berikutnya tidak jera untuk mendirikan pesantren. Kita bisa mendapati sejumlah pondok. Mereka antara lain Pesantren Miftahul Ulum Gandaria Jaksel oleh Guru Ishaq Yahya, Pesantren Asy-Syafi‘iyah Pondok Gede oleh KH Abdullah Syafi‘i, Ma’had Ali Al-Arbain, Al- Asyirotus Syafi‘iyyah Kebayoran Lama oleh KH Syafi‘I Hadzami.

Para kiai Betawi mengambil posisi seperti apa?

Kiai di kampung-kampung itu sebelnya setengah mati. Anda bayangkan saja! Masya Allah, habis membaca Alquran, para undangan di sebuah hotel itu dangdutan. Terang aja, para kiai kampung di Betawi ini, jengkel. Mereka bilang, “Gua kagak nyangka ada kiai (Idham Cholid) nyang model begitu”. Jadi pada waktu itu, ya begitu adanya. 

Jadi Anda bayangkan NU yang dari belakang, dalam, dari ini, dari pinggiran, dari Amuntai seperti pak Idham Cholid harus mentolerir itu kehidupan keagamaan di kota.

Bagaimana bisa menjelaskan hal seperti itu, Pak Kiai?

Hal ini sesungguhnya pernah terjadi pada zaman sahabat Rasulullah di Madinah dan di negeri Syam. Umar bin Khattab pernah menegur gubernurnya yang ada di perbatasan, “Lasta amiran, bal anta malik.” Ente ini bukan pemimpin, ente ini raja. Itu ucapan yang diberikan kepada Muawiyah bin Abi Sofyan dan kepada Amr bin Ash yang di Mesir. Karena, mereka ada pada garis demarkasi, berhadapan langsung dengan (tradisi agama dan budaya, Red) orang lain. Nah, Jakarta begitu kebanyakan, nggak kuat kalau dibandingkan dengan keikhlasan orang Jawa.

Apakah kiai Betawi kurang ikhlas pak kiai?

Bukan begitu maksudnya.

Jadi bagaimana memandang para kiai Betawi?

Kiai Betawi ya, dia masih ada di sini (Jakarta) saja, sudah syukur alhamdulillah. Dia mau saja begini (mengajar kitab kuning di majelis taklim), itu nggak dapat keuntungan apa-apa. Dia ada cuma untuk agamanya. Hartanya, dia bikin habis. Kalau kamu mau bikin pesantren di Jakarta, siapa yang mau mondok di Jakarta. Usianya nggak bakalan lama. Itu kan terjadi berulang-ulang. Orang dulu di sini yang udah alim-alim, kalau sekadar mengajar ngaji saja tanpa menyediakan makanan, juga nggak dikunjungi orang. Jadi ilmu juga, ya (keluar) duit juga. (kiai Saifuddin mengumbar tertawa cukup lama).

Tetapi, pada zaman itu saya lihat khidmat orang desa Betawi dan para kiainya luar biasa. Mereka tetap semangat dalam mengembangkan pendidikan agamanya baik dengan model pesantren atau pun sistem majelis taklim.

Ini berkaitan dengan keseriusan kiai Betawi dalam mengelola pesantren?

Kalau para kiai Betawi di Jakarta dinilai kurang serius mendirikan pondok, sepertinya harus dipertimbangkan. Dan ini terjadi di kota-kota besar, bukan hanya di Jakarta.

Buktinya, mereka tetap serius kok menyebarkan ilmu pesantren. Coba lihat, guru saya delapan tahun di Mekkah. Sampai karomahnya sudah kelihatan. Dia mengajar di banyak majelis taklim. Tapi Istrinya kalau pagi menjual pisang goreng karena dia mempertahankan tradisi pesantren. Dia tidak mau masuk ke dalam gaya hidup metropolitan. Selain ilmu pesantren, dia juga mempertahankan kezuhudan di tengah silang-menyilang kehidupan keduniaan di tengah kota.

Ulama kayak gitu itu banyak di Jakarta. Makanya ketahuan oleh masyarakat kalau dia itu kiai besar, ketika ulama Jawa sudah bertemu dengan mereka. Gus Dur kan pernah minta berhenti mobilnya di tengah perjalanan, “Sebentar dulu saya mau ketemu teman saya yang lagi jalan kaki.”

Kiai Saifuddin Amsir adalah kiai masyhur Betawi, asal Kampung Berlan, Matraman, Jakarta Pusat. Dia pernah berguru kepada KH Syafi’I Hadzami, Rais Syuriyah PBNU 1994-1999, pendiri pesantren Ma‘had Ali Al-Arbain Al-Asyirotus Syafi‘iyah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Kiai Saifuddin juga pernah berguru cukup lama kepada KH Abdullah Syafi‘i, pendiri perguruan Asy-Syafi‘iyyah, Tebet dan Pondok Gede. Selain pada keduanya, Kiai Saifuddin juga menimba ilmu agama dari para kiai Betawi di Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.

Kini, dia mengajar di sejumlah majelis taklim di Jakarta. Antara lain, dia mengajar tafsir Ibnu Katsir pada majelis taklim Ahad pagi di Masjid Ni’matul Ittihad, Pondok Pinang, dan kitab Ihya Ulumiddin pada Masjid Taman Puring, Gandaria, Jakarta Selatan, Senin malam. Dalam kesehariannya, Kiai Saifuddin tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.