Wawancara

Konstitusi Indonesia Bisa Jadi Model Negara Muslim Lain

Rabu, 2 Januari 2008 | 09:07 WIB

Pasca runtuhnya Orde Baru, sistem ketatanegaraan Indonesia banyak mengalami perubahan, termasuk terjadinya beberapa kali amandemen UUD 1945 sampai akhirnya menghasilkan bentuk yang seperti sekarang ini. Proses amandemen tersebut juga memunculkan perdebatan akan keinginan pada bentuk negara agama dengan simbolisasi pada masuknya tujuh kata Piagam Jakarta pada pasal 29 dan disisi lain, keinginan pada bentuk negara sekuler yang secara tegas memisahkan agama dan negara. Bagaimanakah sebenarnya bentuk terbaik konstitusi bagi Republik Indonesia, dan apakah konstitusi yang ada sekarang sudah memenuhi aspirasi umat Islam sebagai penduduk mayoritas, berikut ini wawancara Mukafi Niam dengan Dr. Nadhirsyah Hosen, pakar hukum Islam dari Wollongong University Australia yang juga rais syuriyah PCI NU Australia dan Selandia Baru seusai diskusi Islam dan Negara di kantor P3M akhir Desember lalu.

Konsep konstitusi apa yang paling tepat di Indonesia?

<>

Saya kira hasil reformasi konstitusi di Indonesia sudah cukup baik, walaupun ada beberapa kekurangan disana-sini, seperti hubungan antara DPD dengan DPR. Ini mungkin perlu diperbaiki, termasuk pasal 29, bukan untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, tetapi untuk menata ulang hubungan antara agama dan negara. Juga masalah lain seperti aturan 20 persen pendidikan, saya kira ini juga bisa kita revisi, dalam arti ketika konstitusi menulis begitu detail 20 persen menjadi janggal. Toh ternyata begitu tidak dilaksanakan 20 persen tidak ada yang memprotes, pemerintah tidak jatuh karena itu. Perlu adanya beberapa perbaikan, tetapi butuh waktu.

Konstitusi bukan segalanya, kalau konstitusinya bagus, terus masyarakat menjadi bagus, begitu. Jadi saya kira banyak hal lain yang perlu kita bicarakan selain konstitusi.

Apakah nilai-nilai Islam sudah masuk dalam konstitusi kita?

Ya, saya kira apa yang dilakukan oleh Kiai Hasyim Muzadi, Gus Dur dan tokoh NU lainnya sudah sangat menegaskan bahwa NU menganggap negara kesatuan RI sudah final, bisa menerima Pancasila. Saya kira ini sumbangsih NU yang luar biasa. Seperti yang saya tulis dalam buku saya, Indonesia akan menjadi model untuk negara muslim lain. Kalau kita bicara Indonesia kan tidak bisa dipisahkan dengan NU dan Muhammadiyah. Inilah yang justru kita eksplore keluar, pemahaman Islam ala NU dan Muhammadiyah ini yang harus kita dikembangkan oleh negara-negara muslim di Timur Tengah, atau bahkan oleh negara di Barat. Ini juga problem.

Artinya konsep NU dengan sikap moderasinya…?

Ya, artinya NU dengan menghargai nilai lokal, nilai-nilai yang substansif, kebhinekaan, atau NU tidak memaksakan lewat jalur kekerasan, tetapi bahkan lewat jalur membangun pesantren. Ini cara reformasi yang luar biasa, lewat pendidikan ini pengaruhnya jauh ke depan, Muhammadiyah kan juga disana. Dan umur NU dan Muhammadiyah kan jauh lebih tua dari Indonesia kan, yang baru merdeka tahun 45 kan. Jadi sebetulnaya, siapapun, partai apapun yang menang, tidak bisa menghilangkan tradisi-tradisi lokal yang sudah dikembangkan oleh NU maupun amal usaha yang sudah dilakukan oleh Muhammadiyah. Bagaimanapun, siapapun yang menjadi presiden Indonesia, tidak bisa menghilangkan aspirasi NU dan Muhammadiyah. Karena Indonesia terbentuk lewat itu.

Tapi meskipun kecil, golongan Islam garis keras bersuara  sangat keras?

Kalau saya begini, saya punya anak dua, yang paling kecil, kalau ngomong selalu teriak, kenapa, kalau tidak begitu tidak didengar, sementara yang besar ngomongnya kalem. Rupanya sifat yang kecil-kecil ini harus berteriak supaya bisa didengar. Dan kita tidak boleh kaget dengan mereka, mengapa kita tiba-tiba kaget, karena kita tidak pernah mendengar, padahal suara Islam moderat jauh lebih besar. Ini yang menjadi masalah, umat Islam di Indonesia ini mayoritas, tetapi mentalnya minoritas, takut dan khawatir dengan Islam garis keras.

Demikian pula media massa Barat, yang disorot, yang kenceng-kenceng itu. Kalau ceramahnya kiai-kiai kita yang adem-aden atau kalem-kalem tidak didengar, tetapi kalau ceramahnya Abu Bakar Baasyir, oh itu…. itu naturnya orang kecil seperti itu, suka teriak-teriak, suka mencak-mencak.

NU tak perlu mengikuti gaya-gaya seperti itu karena orang besar dan sudah tua itu hanya dehem saja sudah berpengaruh kan, tak perlu berteriak-teriak.

Artinya yang mereka suarakan tak perlu dipertimbangkan, tetapi kita gak perlu kebakaran jenggot sampai-sampai energi kita terkuras. Banyak sekali persoalan ummat yang membutuhkan jawaban dari NU seperti pemukiman kumuh, nelayan, pengungsi, tukang ojek, guru honorer, dan lainnya. Tetapi kalau kita selalu mempertentangkan Islam garis keras, fundamentalis, transnasional dan seterusnya, kita habis energi padahal banyak sekali umat kita yang membutuhkan uluran tangan bapak-bapak kita di PBNU.

Jadi ada dua tantangan, kita main politik dan kedua, kita cenderung main isu-isu sesaat itu. Energi kita habis di dua hal itu. NU itu tugasnya luar biasa, kenapa, karena NU kan melanjutkan tugasnya para wali. Jadi luar biasa membangun NU itu, yang jauh lebih tua dari umurnya Indonesia, jadi kalau orang NU maju Indonesia maju, begitu sebetulnya.

Tugas keummatan ini kan terkait dengan pengelolaan SDM yang dimiliki, bagaimana ke depan seharunya NU mengakomodasi kader-kader NU yang berasal dari berbagai PCI dengan kualitas SDM handal ini?

Ini problem besar, jangankan mengakomodasi, Pengurus Cabang Istimewa (PCI NU) di Australia dan tempat-tempat lain yang sudah resmi dilantik tidak punya jalur komunikasi. Ada dulu  Pak Rozy Munir, tapi sekarang kan sudah jadi dubes di Qatar. Jadi kita jadi problem padahal SDM-nya luar biasa, karena mereka bukan orang bodoh, rata-rata anak-anak yang nenek moyangnya orang NU. Dan rata-rata mereka merupakan kandidat doktor ekonomi, arsitektur, politik, hukum dan seterusnya. Nah ini mereka tidak dirangkul, mereka merasa menjadi anak tiri.

Memang masalah komunikasi dan sistem?

Ya belum berjalan, padahal mereka sangat fanatik NU, militan ke-NU-annya, kita baca ratibul haddad rutin, hataman Qur’an, tahlilan jalan terus. Tak perlu diragukan ke-NU-annya, tetapi bagaimana mereka memberi konstribusi, lewat jalur mana, ini yang belum ketemu, masih buntu. Saya satu dua hari ini mau ketamu Pak Hasyim, mau bahas ini, karena sayang, SDM mereka luar biasa. Kita dulu bilang NU itu kaum sarungan, tahunya hanya tahlilan, sudah berubah itu. Sekarang mereka pada calon doktor semua, pada hebat-hebat, dan meraka tidak pernah mendapatkan beasiswa dari PBNU misalnya, tetapi mereka masih mau ngurusi NU, ya itu tapi, karena ingin melestarikan ajaran para wali. (mkf)