Wawancara UPAYA PENYATUAN AWAL BULAN QOMARIYAH

LFNU Sudah Berlari Cepat

Senin, 8 Oktober 2007 | 12:49 WIB

Idul Fitri sebagai puncak dari perayaan umat Islam seringkali diawali pada hari yang tidak sama antara NU dan Muhammadiyah akibat penggunaan metode yang berbeda. Suasana yang tidak kondusif ini telah menjadi keprihatinan bersama yang pada akhirnya memunculkan upaya untuk menyatukan metode penanggalan qomariyah yang selama ini berbeda.

Pertemuan pertama telah digelar di Istana Wapres yang dilanjutkan di Gedung PBNU pada hari Selasa 2 Oktober. Pertemuan lanjutkan akan dilaksanakan di kantor PP Muhammadiyah pasca lebaran. Bagaimana sikap NU terhadap upaya penyatuan metode penanggalan qomariyah, berikut wawancara NU Online dengan Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama KH Ghozalie Masroeri seusia dialog dengan PP Muhammadiyah.

<>

Bagaimana upaya penyatuan metodologi penyatuan penentuan bulan Komariah antara NU dan Muhammadiyah?

Sepanjang itu dilakukan sesuai dengan syar’i, qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas, mengapa tidak disatukan. Saya ambil contoh misalnya pada setiap tahunnya LFNU kalau menyusun almanak dari beberapa metode disinkronkan, dan ini sudah berjalan beberapa tahun dan hasilnya bisa diandalkan sesuai dengan hasil rukyat. Memang tidak bisa seratus persen, seperti tahun sekarang ini ada perbedaan yang signifikan. Jadi disini pentingnya rukyat dilakukan. Jadi metode apa saja yang mau digunakan dan diputuskan asal kembali seperti yang saya kemukakan tadi sepanjang itu taabudi dan kemudian baru dilengkapi dengan taakkuli, tidak masalah itu.

Artinya kedua belah fihak harus melakukan kompromi-kompromi terhadap metode yang selama ini digunakan?

Ini bukan berangkat dari kompromi, tetapi landasan apa untuk masuk dalam tujuan itu. Kalau landasannya ketemu, mari kita lalui dan gunakan bersama. Selama ini terhambat karena belum adanya saling pengertian sedalam-dalamnya, apa sih Muhammadiyah itu, saya harus tahu. Apa sih NU, sana harus tahu. Kedua, landasan solusi yang ditawarkan tersebut belum landing pada landasan itu.

Ketiga, toleransi yang diberikan oleh NU itu belum gayung bersambut, LFNU sudah lari cepat menuju titik tengah, dititik pertemuan, disana masih jalan di tempat. Ini sah-sah saja. Kami harus belajar dari sana dan sana harus belajar dari sini. Makanya ketika ditanyakan, apa yang dimaksud lari cepat, NU menggunakan rukyat, terus juga dilengkapi dengan hisab. NU memiliki banyak ahli hisab dan penulis buku tentang hisab juga banyak dari NU, sejak dahulu zaman kakek-kakek saya. Lalu kemudian meningkat rukyat yang berkualitas dengan dukungan hisab yang akurat, lalu maju dengan kriteria rukyat. Kriteria berapa sih bulan bisa dirukyat? Umpamanya 2 derajat, umur bulan 8 jam, lalu jarak matahari dan bulan 3 derajat, dalam pada itu, yang diterima adalah metode hisab yang berkualitas yang bisa diterima. Lalu Muhammadiyah ditanya, “Ini harga mati atau bukan?” ini pada tataran ilmu, bukan pada tataran syariat. Sebagai ilmu yang termasuk rumpun ilmu alam yang berkembang sesuai kemajuan teknologi, ini juga bisa berubah. Tetapi harap diingat bahwa ini adalah dhuhurul hilal, bukan wujudul hilal, karena wujudnya.

Jadi kembali kepada pertayaan, sepanjang ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, ini terkait dengan taabudi, bukan taakuli. Artinya teks al qur’an dan assunnah harus terus berlaku.

Artinya pertemuan-pertemuan yang akan terus belanjut tersebut akan menyamakan persepsi tentang penafsiran ayat dalam penyatuan?

Supaya tidak terlalu kaku, yang penting nanti untuk mempersatukan persepsi ini landasannya apa dulu. Landasannya akan diperoleh bahwa awal bulan komariah ini ternyata ditandai dengan hilal, bukan yang lainnya, maka itulah dimulai bulan baru. Lha namanya hilal, menurut bahasa Arab, bulan sabit yang tampak, bukan bulan sabit yang sembunyi. Al Qur’an begitu, hadist begitu, science juga begitu. Apa sih bulan sabit itu adalah bagian dari permukaan bulan yang bercahaya yang cahayanya tampak terlihat di bumi pada saat sesudah matahari terbenam pada hari konjungsi.

Jadi misalnya besok tanggal 11 Oktober kita rukyat, kalau pada saat matahari terbenam kemudian muncul bulan dan bisa dilihat dari bumi, itu namanya awal bulan, kalau tidak, harus disempurnakan 30 hari atau imkanurrukyat. Kalau kriteria imkanurrukyat yang dipatok, berapa derajat pun, itu harus dimaksudkan sebagai sarana untuk menolak laporan rukyat yang tidak berkualitas kalau pada ketika itu, para ahli rukayt secara mutawattir belum bisa dilihat karena masih dibawah ufuk atau masih minim jika dilihat. Bukan untuk memutuskan, dan untuk mengontrol, tapi harus dimuat derajatnya, dengan metode yang akurat, karena kalau tidak akan ditolak seperti Bangkalan kemarin itu.

Nabi menyuruh fasuumu yawman….boleh tidak diganti berdasarkan keyakinan, menurut NU tidak bisa, tapi sudah ada pendekatan saling memahami sehingga saya kemukakan, sesuai dengan tulisan yang ada di rubrik iptek NU Online.

Sekarang kan sudah berkembang metode hisab terbaru yang memiliki akurasi yang tinggi, ini tetap tidak bisa diganti?

Belum bisa karena ini namanya memandekkan atau mengenyampingkan al Qur’an dan Sunnah yang menyatakan harus ada hilal. Lha hilal itu apa, bagian dari bulan yang tampak dari bumi pada waktu sesaat dihari terjadinya ijtima. Science juga begitu, Jadi kalau kriteria ini diterima, ayo kita bahas, hilal itu apa, ini yang saya katakan penyamaan metodologi, sah-sah saja sepanjang tidak melanggar syariat.

Selama ini NU selalu mengeluarkan ikhbar sebelah sidang isbat ini maksudnya bagaimana?

Begini, hasil rukyat untuk bisa berlaku bagi seluruh rakyat menurut hukum fikih yang dipegang oleh NU harus diputuskan oleh negara, bukan perorangan atau organisasi, karena itu NU sadar dan tidak mau melanggar itu karena kita bermazhab. Karena itu kita rukyat baru, lalu dilaporkan kepada pemerintah melalu sidang isbat. Sesudah itu baru mengeluarkan ikhbar.

Lha dimasa yang lalu, karena pemerintah, entah itu ketika mengambil keputusan tidak memenuhi fikih kita. Fikih kita menyatakan hak isbat ada ditangah negara, tetapi harus didasarkan rukyat. Karena tidak didasarkan rukyat, maka berbeda ketika dilakukan ikhbar yang kita keluarkan. Nah, sekarang ini, bukan karena NU nya. Pernah presidennya Gus Dur dan Menagnya KH Tolhah Hasan, kita bertentangan dengan pemerintah. Demikian juga saat Menagnya Said Aqil Al Munawwar. Ya itu, ukurannya isbat didasarkan rukyat apa tidak? Jadi pemerintah menyelenggarakan sidang isbat didasarkan hisab dan rukyat.

Kalau NU penetapan awal bulan didasarkan pada rukyat yang didukung oleh hisab. Jadi hisab mendukung, kalau disana sejajar, tapi nga boleh dipisah, kalau NU mendukung salah satu, karena disana kompromistis menampung kelompok rukyat dan hisab. Ini dari hasil Rakernas MUI, itupun harus berdebat dengan dalil al Qur’an dan sunnah. (mkf)