Wawancara

Menelisik Perguruan Tinggi Islam di Indonesia

Kamis, 4 Januari 2018 | 00:00 WIB

Perguruan tinggi Islam di Indonesia –baik yang negeri ataupun swasta- mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Jumlahnya semakin bertambah, kualitas pendidikannya semakin baik, sarana-prasarana semakin memadahi, mahasiswan membludak, dan alumninya tidak kalah dengan perguruan tinggi umum.  

Menyandang nama Islam tidak serta merta menjadikan perguruan tinggi Islam hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan saja, puluhan bahkan ratusan perguruan tinggi Islam yang sudah bertransformasi menjadi universitas membuka fakultas-fakultas umum. Tidak hanya ilmu-ilmu keislaman, tetapi ilmu-ilmu umum dan eksakta juga diajarkan di perguruan tinggi Islam.

Dibukanya fakultas umum di perguruan tinggi Islam tersebut menimbulkan perdebatan yang panjang. Ada yang mendukung dan ada yang tidak. Yang mendukung beralasan, dengan dikembangkannya perguruan tinggi Islam tersebut menjadi universitas dan dibukanya fakultas umum maka tidak ada lagi dikotomi keilmuan. Ulama-ulama terdahulu tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tapi juga ilmu umum dan eksakta. Mereka yang mendukung ingin mengintegrasikan dualisme keilmuan tersebut.

Sementara yang menolak berargumen bahwa perubahan tersebut hanya akan menyebabkan fakultas-fakultas agama semakin ditinggalkan. Mahasiswa-mahasiswa baru hanya akan melirik fakultas umum. Sedangkan fakultas agama sepi peminat. Masing-masing memiliki argumen sendiri. Lalu seharusnya seperti apa?

Di samping itu, pemerintah akan mendirikan perguruan tinggi Islam bertaraf internasional, Universitas Islam Internasional Indonesia. Apakah langkah pemerintah ini sudah tepat untuk mempromosikan Islam Nusantara atau Indonesia? Ataukah pemerintah bertindak ‘mubadzir’ karena untuk mengekspor paham Islam ala Nusantara tidak perlu mendirikan universitas baru, namun cukup mengembangkan dan mendorong perguruan tinggi Islam yang sudah ada sehingga memiliki kualitas internasional.

Pemerintah juga memberikan perhatian yang lebih terhadap institusi pendidikan tradisional, pesantren. Hal itu terbukti dengan diakuinya beberapa pendidikan tingkat tinggi pesantren yaitu ma’had ‘aly. Mereka dianggap setara dengan pendidikan strata 1. Tentunya ini menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi kalangan pesantren. Selama ini mereka diabaikan dan dipinggirkan pemerintah, namun saat ini mereka dirangkul dan diakui. 

Untuk menelisik lebih jauh hal-hal di atas, Jurnalis NU Online A Muchlishon Rochmat berkesempatan mewawancarai Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Masykuri Abdillah di Kantornya di Ciputat Tangerang Selatan, Rabu (3/1). Berikut petikan wawancaranya:

Pengembangan keilmuan di perguruan tinggi Islam adalah bersifat integralistik atau tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurut Anda, apakah praktik pengembangan keilmuan di perguruan tinggi Islam sudah sesuai dengan hal itu?

Pendidikan tinggi agama Islam belum lama di Indonesia karena baru dimulai pada tahun 50-an. Ini menjadi pendidikan lanjutan daripada pesantren. Baik yang negeri maupun swasta, saat ini perguruan tinggi agama Islam semakin banyak. Dengan hanya menyelenggarakan perguruan tinggi agama maka itu bisa melahirkan dikotomi keilmuan, antara ilmu agama dan ilmu umum. Ini yang menjadi alasan beberapa perguruan tinggi agama, terutama negeri, bertransformasi menjadi universitas untuk menghilangkan dikotomi tersebut. Dalam sejarah Islam, banyak ulama yang ahli ilmu umum.   

Apakah pengembangan keilmuan di perguruan tinggi Islam hanya berdasar pada integralistik saja. Bagaimana dengan tuntutan dunia?

Selain itu, perubahan perubahan perguruan tinggi Islam dari sekolah tinggi atau institut menjadi universitas juga didasarkan pada alasan pragmatis. Kalau alumni perguruan tinggi Islam tidak hanya lulus dari bidang agama, maka mereka memiliki kesempatan yang luas untuk berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dibekali dengan ilmu-ilmu keislaman, maka alumni-alumni perguruan tinggi Islam tersebut akan memiliki pemahaman yang bagus dalam Islam, di samping kompetensi mereka dalam ilmu-ilmu umum.

Tanpa dua alasan ini, perubahan tersebut banyak ditolak tokoh-tokoh perguruan tinggi Islam pada saat itu. Mereka khawatir, kalau berubah maka wajah keagamaannya akan hilang. 

Kalau sudah berubah menjadi universitas, biasanya yang diminati adalah fakultas umum sementara fakultas keagamaan sepi. Bagaimana menyelesaikan persoalan itu?

Kami selalu menjaga agar fakultas-fakultas keagamaan tidak sepi mahasiswa. Di UIN Jakarta, sejak saya menjadi Pembantu Rektor mempunyai batasan-batasan. Jangan sampai apa yang dikhawatirkan oleh tokoh Islam itu terwujud, yaitu fakultas keagamaan sepi. Di UIN, diberlakukan kuota. Minimal 51 persen adalah mahasiswa agama. Kita tetap menjaga agar mahasiswa di bidang ilmu agama lebih banyak daripada di bidang ilmu umum. 

Di sini juga menjaga agar mahasiswi memakai jilbab. Pada awal menjadi universitas dahulu ada perdebatan. Ada demonstrasi dari mahasiswa agar mereka yang kuliah di fakultas umum dibebaskan dari mengenakan jilbab. Tetapi pimpinan menolak itu dan tetap memberlakukan kewajiban mengenakan jilbab bagi mahasiswi. 

Ada omongan bahwa Islam di perguruan tinggi Islam itu hanya sebatas nama saja. Karena tidak mahasiswanya yang baca Al-Qur’an saja tidak bisa. Bagaimana Anda merespon itu?

Pada zaman saya, semua calon mahasiswa perguruan tinggi Islam negeri wajib mengikuti tes yang di dalamnya ada bahasa Arab. Kemudian ada perubahan-perubahan karena itu dianggap menakutkan bagi mahasiswa yang berasal dari sekolah umum. Sehingga bagi mahasiswa umum tidak perlu tes bahasa Arab. Namun pada saat menjadi mahasiswa, mereka wajib mengikuti mata kuliah baca Al-Qur’an, bimbingan ibadah. 

Banyak dosen perguruan tinggi Islam yang lulusan Barat. Sehingga ada anggapan bahwa perguruan tinggi Islam, terutama UIN, itu sarangnya orang-orang liberal.

Kalau dihitung antara yang liberal dan yang tidak itu selisihnya jauh sekali. Itu yang liberal tidak sampai lima persen. Katakanlah lima persen, yang 95 persen tidak liberal. Kenapa itu ketahuan? karena berbeda kemudian dikenal. Apalagi itu dikehendaki media. Yang jelas perguruan tinggi Islam tidak menjadi sarang liberal. Kalau kita melihat, Ketua Komisi Fatwa MUI dan Sekretarisnya juga dosen UIN. 

Di Pascasarjana UIN Jakarta, kita selalu menjaga moderatisme Islam, tidak liberal atau pun fundamentalis. Moderat itu adalah yang sesuai dengan kajian Islam secara lurus dan disiplin. Kita juga tekankan bahwa kajian Islam benar-benar murni bersifat akademik, tidak condong ke kanan ataupun ke kiri. Sekali lagi, kalau ada yang liberal itu hanya sebagian kecil. Terlihat banyak karena adanya media berlebihan.

Saat ini Ma’had ‘Aly itu diakui pemerintah. Pendidikan tinggi pesantren tersebut diakui setara dengan pendidikan strata 1. Bagaimana Anda melihat ini?

Ini politik pemerintah yang sangat bagus. Itu berbeda dengan beberapa negara seperti Pakistan, atau Suriah. Di sana pendidikan agama Islam tidak diakui oleh negara. Karena pendidikan agama Islam berada di luar dan dikeluarkan dari sistem pendidikan negara maka ada jarak antara pendidikan agama Islam dan ulama-ulama alumninya dengan pemerintah. Lalu kemudian muncul orang-orang yang keras terhadap pemerintah. Kelompok yang menentang pemerintah berasal dari situ karena pendidikan mereka tidak dianggap.

Di Indonesia, pendidikan Islam dirangkul dan dibantu pemerintah. Pendidikan agama Islam dari tingkat bawah hingga atas diakui. Lulusannya juga diberikan kesempatan untuk mengikuti ujian persamaan. Ini adalah usaha-usaha pemerintah untuk merangkul, bukan mengeluarkan pendidikan agama Islam dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, umat Islam merasa pemerintah mengakui keberadaannya.   

Di Pakistan ada Taliban. Mereka sangat keras terhadap pemerintah karena pendidikan mereka tidak diakui. Begitu pun di Suriah. 

Saran Anda, setelah diakui apa yang seharusnya dilakukan pada Ma’had ‘Aly ini?

Awalnya, ma’had ‘aly dianggap pengajian biasa, namun dari segi kualitas tidak kalah maka pemerintah mengakui dan membinanya.  Ke depan juga harus diatur kualifikasi dosen-dosennya, bahan ajar, sistem dan metode pengajarannya, pemenuhan sarana-prasarana, dan lain sebagainya. Sampai saat ini, hal itu belum diatur secara ketat, namun mereka sudah diakui setara dengan strata 1.   

Pemerintah sudah mengakui. Penyelenggara pendidikan tinggi Islam seharusnya memberikan kesempatan kepada lulusan ma’had ‘aly. Sehingga dari ma’had ‘aly bisa menjadi seorang doktor. Pascasarjana UIN Jakarta menerima alumni ma’had ‘aly selama ma’had ‘aly tersebut mendapatkan pengakuan dari pemerintah. 

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 57 tahun 2016, pemerintah akan mendirikan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Menurut Anda, apakah ini langkah yang tepat mengingat sudah banyak perguruan tinggi Islam yang sudah baik dan tinggal didorong sehingga bisa menjadi kampus dengan kualitas internasional?

Di Amerika tidak ada yang namanya universitas internasional. Yang lain juga tidak ada, tetapi kualitasnya internasional. Apakah menggunakan internasional atau tidak, menurut saya itu tidak menjadi masalah. Kalau UIN-UIN yang ada seperti UIN Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar diberi mandat untuk berkiprah secara internasional, itu bisa saja. Tidak sulit. Dosennya sudah ada, alumninya juga ada yang dari Timur Tengah dan ada yang dari Barat. Tidak semuanya, untuk menjadi universitas internasional, cukup empat atau lima universitas. 

Yang terpenting adalah ada pendanaan yang cukup, baik untuk penelitian, untuk menggaji dosen yang didatangkan dari luar negeri, dan untuk beasiswa mahasiswa-mahasiswa internasional. Maka itu sudah jadi universitas internasional. Jadi tidak harus dengan mendirikan universitas baru, tetapi karena itu sudah menjadi keputusan presiden maka kita berdoa saja semoga itu berhasil.

Salah satu tujuan didirikannya universitas yang berskala internasional di Indonesia adalah untuk mempromosikan Islam Nusantara ke dunia luar. Apakah ini langkah yang efektif?

Kita bisa menduniakan Islam Nusantara. Islam di Indonesia cukup bagus sebagai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sangat toleran, yang seharusnya bisa di-share ke luar negeri. Banyak sekali mahasiswa di Pascasarjana UIN Jakarta sini menyampaikan akan menyebarkan Islam ala Nusantara karena melihat toleransi yang ada di sini, Islam di sini juga bisa menerima demokrasi dan nasionalisme.

Sosialisasi melalui pendidikan yakni dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa asing untuk kuliah di Indonesia itu akan lebih efektif daripada sosialisasi yang lain. Ketika pulang mereka akan menjadi juru bicara tentang Islam di Indonesia. 

Kalau kita ingin menduniakan Islam Nusantara, kita harus banyak memberikan beasiswa kepada mahasiswa asing untuk belajar di perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, kita mengekspor Islam Nusantara ke luar, bukan malah kita mengimpor paham keagamaan dari luar yang justru menimbulkan kekerasan dan konflik. 

Kalau perlu bahkan kita bisa mendirikan universitas Islam Nusantara di luar negeri. Kalau misalnya Arab Saudi bisa mendirikan pendidikan di tempat kita, kenapa kita tidak. 

Melihat dunia yang bergerak cepat, tantangan dan peluang perguruan tinggi Islam ke depan itu seperti apa?

Misi perguruan tinggi itu adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Perguruan tinggi juga merupakan tempat pengembangan peradaban dan tempat untuk membangun sumber daya manusia yang kuat. Persoalan yang kita rasakan adalah perguruan tinggi keagamaan itu kan baru. Termasuk memiliki dana yang agak lumayan itu juga baru-baru ini. Ketika Orde Baru, dana untuk perguruan tinggi keagamaan dan umum itu sangat tidak imbang. Sekarang lumayan, meski belum bisa imbang. Kalau perguruan tinggi keagamaan itu ingin mengimbangi kualitas kampus-kampus umum unggulan, maka seharusnya dana untuk perguruan tinggi keagamaan harus lebih banyak. Sehingga pengembangan dosen bisa baik, penelitiannya bisa berjalan, sarana-prasarana nya lebih memadahi, dan pemberian beasiswa kepada mahasiswa luar negeri lebih banyak.