Wawancara

Nahdliyyin harus Kerja Keras Tingkatkan Kualitas Pendidikannya

Selasa, 24 April 2007 | 09:49 WIB

Pendidikan di Indonesia tengah mengalami perubahan yang luar biasa, ketetapan UUD 1945 bahwa anggaran pendidikan harus mencakup 20 persen, meskipun ini belum tercapai, telah mendorong upaya perbaikan. Berbagai UU dan peraturan penunjang untuk meningkatkan kualitas pendidikan juga telah dilakukan oleh permintah bersama DPR. Lalu bagaimanakah kesiapan warga NU dan pendidikan yang dikelolanya dalam mengsikapi dan mengantisipasi perubahan yang terjadi, berikut wawancara NU Online dengan mantan Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Masykuri Abdillah yang juga merupakan salah satu ketua PBNU beberapa waktu lalu.

Bagaimana perkembangan dunia pendidikan saat ini dan apa pengaruhnya terhadap lembaga pendidikan yang dikelola oleh warga NU?<<>/p>

Saat ini dalam dunia pendidikan ada perkembangan baru, disatu sisi ada kenaikan budget, idealnya 20 persen, tetapi sekarang belum sampai meskipun tetap ada kenaikan-kenaikan. Ini berlaku untuk sekolah negeri dan swasta, khususnya swasta tertentu yang memang belum mampu. Selain itu juga terdapat upaya yang sifatnya regulatif untuk menaikkan kualitas pendidikan. Pertama dengan UU pendidikan nasional. Sekarang sudah mulai ada aturan-aturan standarisasi sekolah. Misalnya bangunannya kayak apa, fasilitasnya kayak apa, lingkunganya kayak apa, dananya yang dibutuhkan berapa. Ini harus terpenuhi kalau tidak tak bisa kayak gitu. Tapi sekarang kan masih dalam proses, ada yang sudah selesai ada yang belum.

Diantara sekolah swasta ini ada yang berada di bawah NU atau berafiliasi di bawah NU dalam bentuk berbagai yayasan. Ini yang menjadi konsen kita saat ini. Saya kira dalam berbagai kesempatan rapat, dikemukakan NU perlu memberikan perhatian yang lebih dalam pendidikan dan dakwah karena konsen NU memang disitu. Memang peningkatan ekonomi rakyat, lingkungan dan segala macam, tapi ini pendukung. Sementara kalau kita melihat kondisi saat ini, yang terjadi pada sekolah dan madrasah NU masih belum bagus dilihat dari sisi SDM, fasilitas atau prasarananya.

Kalau dalam pendidikan agama, sudah bagus dalam arti, hasil dari pendidikan agama di pesantren sudah cukup bagus, tapi yang namanya pendidikan kan tidak hanya pendidikan agama, dan bahkan pendidikan di madrasah pun sudah diartikan sebagai pendidikan umum yang bercirikan agama, walaupun masih ada madrasah-madrasah diniyah.

Untuk sekolah umum, mereka harus mengikuti standar-standar tertentu, antara lain, walaupun bukan satu-satunya, adalah mempunyai kelulusan yang tinggi dalam UN. Ini yang saya kira harus dilihat seberapa banyak sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah NU yang mengikuti UN, seberapa besar tingkat keberhasilannya. Secara keseluruhan kita memang belum puas, tetapi dari tahun ke tahun kita terus melakukan perbaikan.

Jadi yang perlu mendapat perhatian adalah, pertama kondisi SDM-nya, guru-gurunya dan kepala sekolah, kemudian fasilitas belajar mengajar. Memang dari latar belakang sosial ekonomi, warga NU memang umumnya bukan dari ekonomi menengah dan ekonomi atas, tapi dari ekonomi bawah yang untuk membayar sering mengalami kesulitan. Oleh karena itu, yang kita inginkan diantara problem-problem itu, saya kira kalau yang namanya fasilitas sekolah dalam arti gedung, kurang mendesak. Yang paling mendesak adalah mengenai guru. Bagaimana guru memiliki kemampuan yang baik, terutama sekali harus ada sertifikasi.

Saya mengkategorikan ada tiga golongan guru yang ada di lingkungan Maarif NU. Pertama adalah guru-guru yang berlatar belakang ilmu pendidikan, kedua adalah guru-guru yang tidak berlatar belakang ilmu pendidikan tapi sudah sarjana. Ketiga adalah guru-guru yang belum sarjana. Saya kira yang ketiga ini cukup banyak. Saya kira yang pertama jumlahnya cukup sedikit. Oleh karena itu, golongan pertama harus ditingkatkan kemampuannya agar mereka betul-betul menguasai materi. Untuk golongan kedua, disamping ada persoalan metodologis, juga masalah kemampuan, juga ada mismatch, artinya salah tempat, orang lulusan agama ngajar matematika, ini kan masih banyak di lingkungan kita. Kemudian yang ketiga, menyekolahkan yang belum sarjana. Mereka dikasih waktu sampai sepuluh tahun. Jadi kalau 10 tahun belum sarjana, mungkin akan ada kebijakan baru. Jadi pda tahun 2013, mereka harus tercukupi semuanya, terutama sekali harus mendapatkan sertifikat.

Ini penting sekali karena terkait dengan bantuan tunjangan jabatan, walaupan guru swasta, mereka akan mendapatkannya. Oleh karena itu, disini tugas kita adalah memberikan sumbangan bantuan kepada tiga kelompok tadi, kemampuannya harus ditingkatkan, kedua kemampuan dan penguasaan bidangnya juga harus ditingkatkan, dan yang ketigapun, ini barangkali yang sulit, harus ada dana untuk menyekolahkan mereka.

Saya sudah pernah menyampaikan kepada menteri agama dan menteri Diknas agar dana yang diberikan untuk beasiswa S2 itu kurang begitu bermanfaat, maksud saya tidak begitu mendesak dibanding dengan peningkatan kemampuan guru yang belum sarjana. Jadi kita dituntut untuk melakukan lobi-lobi karena tidak mungkin semua dilakukan oleh NU. Kemampuan kita dalam hal finanasial sangat terbatas. Sementara negara memang sudah akan menjamin. Begitu juga dengan kenaikan anggaran yang 20 persen. Ini diharapkan bisa meningkatkan kualitas guru. Memang disana masih ada sekolah-sekolah NU yang kurang bagus.

Tapi kita juga harus berfikir, saat ini terlalu banyak lembaga pendidikan di bawah NU dalam satu tempat atau lokasi. Apakah tidak baiknya dimarger saja? Kan ada tsanawiyah, gimana kalau itu digabungkan saja, kecuali kalau jauh. Sama juga dengan perguruan tinggi, atau sekolah tinggi agama yang saya lihat banyak sekali orang NU yang bernaung dibawah NU, tapi selalu bikin sendiri, padahal jumlah siswanya sangat sedikit dan kalau digabungkan dan dikelola secara bersama-sama akan lebih kuat.

Konsekuensi apa yang akan terjadi jika sekolah dilingkungan NU tidak bisa mencapai standard yang ditetapkan?

Sebenarnya kita belum bicara sampai ke sana. Nanti kita lihat kondisi yang sesungguhnya, tapi kita harus membayangkan dalam sepuluh tahun ke depan kalau kondisinya tetap sama, bisa saja dicabut izin operasionalnya. Dan ini bagian dari tanggung jawab negera terhadap rakyat, karena rakyat harus diberi pengertian yang cukup tentang sekolah ini belum terakreditasi. Mungkin tidak sampai mencabut, yang malah bisa menimbulkan masalah. Daripada kena semprit kita lebih baik berbenah diri dan meningkatkan kualitas.

Selama ini kan Maarif NU yang seharusnya punya peran?

Maarif sendiri sangat faham tentang masalah ini, apalagi dalam beberapa kali pertemuan, menyampaian persoalan ini, antara lain persoalan dana, kalau sekedar mengumpulkan orang, ini kan bisa ditanggulangi, tapi kalau harus memberikan pelatihan bagi para guru, apalagi dari seluruh Indonesia dengan dana Maarif yang ada, memang sangat terbatas. Karena itu mau tidak mau kita harus aktif berkomunikasi dengan Diknas sampai di tingkat II, begitu juga dengan dan Kandepag di kabupaten. Kita harus memiliki data yang lebih tepat, sekolah mana yang guru-gurunya sudah bagus dan belum sehingga NU yang di daerah bisa menyampaikan kepada bupati, kepala dinas pendidikannya atau ke Kandepag. Mereka sudah tahu persis, ini madrasah NU kekurangan guru, atau gurunya kurang kualitasnya sehingga jangan sampai terjadi sekolah yang ada di bawah naunngan NU ditutup, yang akhirnya juga menjadi persoalan, disamping ada resistensi nama NU sendiri akan menjadi kurang bagus.

Anggaran pendidikan terkonsentrasi di Diknas sementara sekolah NU banyak yang bernaung di bawah Depag. Strategi apa yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini?

Pertama peningkatan anggaran pendidikan agama dibawah Depag, karena sampai sekarang belum imbang. Kemudian juga melobi pada para bupati bagaimana Diknas tidak hanya memberikan bantuan sekolah dibawah Diknas, tetapi juga di bawah departemen agama.

Dengan adanya desentralisasi sekolah di bawah Diknas, daerah memberikan dana untuk sekolah di bawah Diknas, tetapi karena madrasah tidak didesentralisasi, banyak daerah yang tidak mau memberikan dana kepada madrasah sehingga diperlukan adanya lobi.

Persoalan lain adalah institusi pendidikan yang ada dibawah naungan NU kebanyakan bercirikan agama sementara tantangan ke depan kan semakin berat dan dibutuhkan berbagai macam keahlian, ini bagaimana?

Memang agak berbeda, betapapun kurikulumnya sama dan semua ikut UN, beban untuk ilmu agama masih banyak. Ini kemudian akan mengurangi rasio belajar, kecuali kalau belajarnya dari pagi sampai sore, tapi ini butuh dana yang cukup besar yang kemudian hanya bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah unggulan.

Saya lihat ada kecenderungan orang mendirikan sekolah semakin banyak di lingkungan NU. Sekarang ini jumlahnya sudah mencapai 40 persen dari totalnya. Katakanlah kalau 60 persen itu madrasah, 40 persen dalam bentuk sekolah. Saya kira di masa depan akan berkembang lagi. Ya memang madrasah NU yang tidak di pesantren sebenarnya agak nanggung karena penguasaan agamanya juga kurang dibanding dengan penguasaan santri terhadap agama, walaupun informasi yang saya terima sebagian pesantren mengalami penurunan karena mengejar UN.

Sekarang ini susah mencari anak-anak yang sungguh-sungguh mempelajari bahasa Arab atau kitab kuning, kan sangat jauh berkurang. Kalau dulu masih banyak, setelah tamat SMP masih mau mengulang lagi tsanawiyah. Kalau sekarang tidak ada lagi karena rugi umur.

Pesantren saat ini sedang mengalami perubahan, banyak pesantren mengalami penurunan jumlah santri, ini bagaimana?

Harus dilihat kalau pesantren tetap model tradisional, ini memang bisa jadi mengalami penurunan, tetapi kita melihat diberbagai tempat, pesantren baru didirikan dan banyak diantaranya yang tidak berafiliasi dengan NU, tetapi dengan pengelolaan yang lebih modern. Dan ternyata ini yang kemudian masih menarik. Agar pesantren model NU ini berkembang, kita juga perlu melakukan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan. Perubahan itu harus dilakukan pada segi kurikulum, kualitas guru, disiplin siswa sehingga memang jelas nanti, walaupun itu pesantren, nanti bisa meneruskan ke SMA dan ke perguruan tinggi umum. Sekarang ini kan sistemnya multi entri, dari tsawanwiyah ke SMA gampang dan demikian pula sebaliknya. Demikian juga dari Aliyah ke peguruan tinggi umum juga gampang, yang penting kan menguasai mata pelajaran yang diajarkan dalam kurikulum itu. Tantangan kita memang disitu, dan itu memang terkait dengan persoalan dana. Sehingga ada hambatan juga dalam peningkatan dana itu.

Sama juga kalau kita melihat pesantren baru yang sebagian besar bukan NU. Mereka sudah memiliki dana sehingga bisa meningkatkan kesejahtaraan guru agar bisa konsentrasi mengajar. Di beberapa sekolah yang berafiliasi dengan NU, guru itu sambilan, dia tidak mungkin hidup dari madrasah sehingga ini dianggap amal saja, yang penting mereka tidak mengharapkan gaji, amal saja dan mereka mencari pekerjaan lain sehingga tidak konsentrasi sehingga kemampuan dia dalam mengajar berkurang.

Dengan peningkatan dana pendidikan ini, apakah akan ada akselerasi vertikal buat warga NU?

Kita mengharapkan seperti itu, dengan akses pendidikan yang bagus, kita harapkan mereka memiliki akses ke dunia kerja. Hanya persoalanya, dananya masih sedikit sekali, mungkin kalau dananya sudah 20 persen. Sekarang memang kita menerima BOS, dan ini sangat membantu karena kalau dulu guru tidak mendapatkan uang, sekarang bisa diambilkan dari BOS. Dan bahkan di DKI, guru madrasah mendapatkan tunjangan 900 ribu per bulan, walaupun lebih kecil dari Diknas. Nah kita harapkan daerah-daerah lain mengikuti DKI. Jadi anggaran lokal itu cukup membantu guru-guru madrasah, tidak hanya yang ada dibawah Diknas. Ada daerah yang tidak memberikan dengan alasan takut karena memang tidak ada aturannya karena bisa menjadi temua BPK.

Saya kira hal-hal ini kita sampaikan kepada teman-teman kita di DPR kalau dana itu untuk rakyat dan mereka membutuhkan ya tidak ada masalah, walaupun itu diberikan kepada madrasah yang masih mengikuti Depag yang masih tersentralisasi.

Tapi sekarang ini ada anggapan pendidikan semakin mahal dari masa lalu padahal anggaran pendidikan meningkat, ini bagaimana?

Sebenarnya tidak juga, di daerah-daerah banyak yang membebaskan SPP dan nanti kalau sudah sampai 20 persen saya kita akan bebas, memang tidak sampai ke perguruan tinggi. Sekarang kan sampai SMP, tapi saya kira akan sampai SMA, umur 18 tahun, dan ini sudah dilakukan oleh beberapa daerah terutama penghasil minyak, umumnya sudah gratis. Mungkin untuk perguruan tinggi yang masih dianggap mahal. Saya sekolah di Jerman dan yang namanya pendidikan itu betul-betul gratis karena mereka dengan pendidikan, orang bisa mengalami mobilisasi vertikal, jadi orang yang dari kampung sekalipun kalau mampu, tidak ada masalah dengan biaya, sehingga mereka bisa sekolah setinggi-tingginya. (mkf)