Wawancara

Pendekatan Geopolitik untuk Akhiri Krisis Rohingya

Selasa, 19 September 2017 | 02:03 WIB

Krisis etnis Rohingya sudah berlangsung ratusan tahun. Mereka hidup di negara yang tidak mengakui mereka sebagai warga negaranya. Bahkan, Myanmar menjuluki mereka sebagai imigran ilegal. Memang, awalnya kekisruhan yang terjadi terhadap etnis Rohingya kurang begitu kentara. Namun, setelah junta militer menguasai Myanmar tahun tujuh puluhan hingga saat ini, kekerasan terhadap etnis Rohingya di wilayahnya sendiri semakin menjadi-jadi. Sebagaimana yang dilaporkan, mereka mengalami persekusi, perkosaan, rumahnya dibakar, bahkan dibunuh. 

PBB merilis, sampai saat ini hampir satu juta etnis Rohingya mengungsi ke negara-negara lain seperti Bangladesh, India, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Mereka mengungsi entah sampai kapan karena krisis yang melanda mereka tak kunjung berakhir. 

Ada yang menyebut kalau pangkal dari krisis Rohingya itu karena agama, ada yang menyebut karena politik, dan ada yang juga yang menganggap kalau apa yang terjadi di Rohingya itu disebabkan oleh cadangan sumber daya alam yang ada di sana. Oleh karena itu, reaksi dan pendekatan pemberian bantuan kepada Rohingya pun berbeda-beda. 

Lalu, apa seharusnya yang dilakukan perdamaian yang berkelenjutan bagi etnis Rohingya itu bisa terwujud? Siapa saja yang seharusnya terlibat dalam mengakhiri krisis Rohingya?

Jurnalis NU Online A Muchlishon Rochmat berkesempatan mewawancarai Ketua Tim Kajian Rohingya GP Ansor Mahmud Syaltout terkait hal itu. Berikut petikan wawancaranya:

Bisa digambarkan kondisi etnis Rohingya dalam politik Myanmar itu seperti apa?

Dalam temuan kami, ada beberapa gelombang terkait dengan eksistensi etnis Rohingya di Myanmar. Mereka dulu dikenal dengan nama Arakhan dan membangun sebuah kerajaaan. Lalu mereka bermigrasi keluar ke Bangladesh. Pada masa kolonialisasi Inggris, mereka dianggap lebih membela Inggris. Oleh karena itu setelah Myanmar merdeka, mereka tersisih karena dinilai tidak memiliki kontribusi terhadap kemerdekaan Myanmar. Ada yang pergi, tetapi tidak seidikit pula yang tetap tinggal di wilayah Rakhine State tersebut.

Awal persekusi terjadi pada tahun tujuh puluhan saat junta militer Myanmar berhasil menguasai pemeritahan. Tahun 1974, ada Emergence Immigration Law atau Undang-Undang yang berusaha menertibkan imigran ilegal. Etnis dianggap sebagai imigran ilegal. Pada tahun tujuh puluhan, banyak etnis Rohingya yang migrasi kembali ke wilayah Rakhine. 

Kenapa mereka memilih migrasi kembali?

Karena pada tahun tujuh puluhan, blok-blok migas mulai beroperasi. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan tenaga kerja. Mereka inilah orang-orang yang bersedia dibayar murah untuk melakukan pekerjaan kasar itu. Kedatangan kembali etnis Rohingya yang semakin banyak tersebut menimbulkan kecemburuan sosial bagi warga setempat. Lalu, dilahirkanlah Emergence Immigration Law tersebut.

Pada tahun itu juga, ada 25 kontrak blok migas yang ditandatangani dengan perusahaan migas asing. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, perusahaan asing dinasionalisasikan oleh pemerintah Myanmar. Bahkan, tahun enam lima perusahan asing diusir oleh pemerintah Myanmar. Tetapi tahun tujuh puluh empat, pemerintah membuka kontrak baru dengan perusahaan-perusahaan asing tersebut. 

Sampai tahun 1974 itu, etnis Rohingya belum mengalami persekusi?

Peraturan dan pendisiplinan tentang kewarganegaraan sudah mulai diterapkan tahun tujuh empat, tetapi belum masif. Tahun 1977, ada operasi militer dragon king operation. Operasi ini merupakan sensus terhadap penduduk Myanmar. Namun, sensus ini dilakukan oleh militer. Karena menyensusnya dengan menggunakan senjata, maka etnis Rohingya mulai mengalami persekusi. Meski demikian, banyak juga etnis Rohingya yang masih tetap tinggal di wilayah Rakhine tersebut. 

Tahun delapan puluh dan sembilan puluhan tidak terdengar persekusi terhadap etnis Rohingya?

Pada tahun 2013, ada kekerasan lagi yang menimpa etnis Rohingya. Kenapa terjadi lagi pada tahun 2013? Temuan kita menunjukkan bahwa pada tahun itu pipa minyak dan gas mulai beroperasi dari Shwe ke Kyauk Phyu dan dari Kyauk Phyu ke China. Pipa tersebut memiliki kapasitas yang besar. Gasnya saja  193 juta kubik kaki perhari. Minyaknya juga ribuan barel perhari.

Maka dari itu, perlu dilakukan pembersihan lahan dan dilakukanlah persekusi kepada orang-orang Rohingya. 

Tetapi tahun 2016 dan 2017 kenapa ramai lagi?

Temuan kami, pada tahun 2016 dan 2017 ada banyak blok di Rakhine State yang expired atau habis masa kontraknya. Ada Blok PSCM yang berada di pinggir Rakhine juga sedang ditawarkan. Jadi, ada blok besar yang ditawarkan dan di sisi lain ada blok-blok yang sedang habis masa kontraknya. Ada banyak kepentingan di sana.

Dengan kata lain, ada persoalan geopolitik di sana?

Menurut pembacaan kami, krisis Rohingya ada kaitan erat dengan persoalan geopolitik. Geopolitik itu pertarungan kekuasaan di suatu wilayah dengan orientasi menguasai wilayah tersebut dan orangnya. Jadi penguasannya wilayah, bukan sekedar kebencian terhadap suatu agama. Buktinya, umat muslim yang ada di wilayah lain di Myanmar aman-aman saja.

Artinya, persekusi, teror, dan genosida ada konteks kewilayahannya. Bahkan, orang-orang Rohingya yang mencoba kembali akan dibakar lagi rumahnya. Dengan demikian, wilayah tersebut memang dibersihkan. Berdasarkan data yang dirilis PBB, desa-desa yang dibakar itu sudah ditarget dan direcanakan. Oleh karena itu, ini bukanlah kerusuhan antar agama biasa tetapi ini sudah didisain oleh militer dan Negara Myanmar. Kalau mereka menggunakan pion atau memprovokasi yang lain, itu dimaksukan agar permasalahan sesungguhnya kabur atau tertutupi.  

Tetapi kan ada aksi saling tuduh, Pemerintah Myanmar mengatakan ini yang melakukan Rohingya sendiri, ARSA. Sementara pihak Rohingya mengaku ini dilakukan oleh Pemerintah Myanmar.

Isu terkait ARSA itu dikembangkan oleh Pemerintah Myanmar. ARSA bisa saja cuma reaksi. Mereka ditindas dan diopresi, lalu mereka melawan. Masalahnya kan bukan hanya itu, tetapi ini soal wilayah dan sumber daya. 

Bantuan kemanusiaan dari MSF Perancis yaitu pendirian sekolah-sekolah di Rakhine dibakar. Menurut saya, itu hampir tidak mungkin dilakukan oleh orang Rohingya sendiri. Indiskasi terkuat yang melakukan adalah militer. Kalau kita baca data-data yang dirilis PBB, dugaan kuta mereka juga mengarah kepada militer Myanmar sebagai pelakunya. Indiskasi terkuat yang melakukan adalah militer. Pemerintah Myanmar tidak mau jujur sebenarnya ada apa. 

Kalau demikian, apa yang menyebabkan etnis Rohingya yang berada di Rakhine terus bergejolak? 

Saat ini Rohingya atau Rakhine disebut dengan new frontier of oil and gas exploration and production. Saat ini, Myanmar memiliki cadangan gas 33 triliun kubik kaki. Itu 10 kali lipatnya Blok Mahakam atau bahkan malah lebih. Di Mahakam, kita berani geger-gegeran dengan Perancis untuk memperebutkan 3,2 triliun kubik kaki. 

Myanmar dibagi ke dalam empat empat lempeng geologis atau basing. Salah satunya disebut Rakhine coastal zone dan di sini terdapat cadangan minyak miliaran kubik barel. Sedangkan cadangan gas yang ada di Rakhine adalah 7,8 triliun kubik kaki atau dua kali lipatnya Blok Mahakam. Di sampin itu, juga ada pipa gas dan pipa minyak dengan ukuran yang sangat besar. Saat ini, di Myanmar ada 397 perusahaan migas. 

Jika melihat situasinya seperti itu, apa yang bisa dan seharusnya dilakukan oleh dunia internasional untuk menyelesaikan masalah Rohingya tersebut?

Kunci besarnya ada di China, India, Thailand, dan Korea Selatan. Kalau dunia internasional secara umum agak berat. Mereka mungkin mengutuk Myanmar, tetapi mereka tidak akan bisa mendorong lebih karena mereka juga memilikim blok migas di Myanmar. Kita harus mendorong dari pinggir.  

Lewat PBB pun akan susah untuk mendorong Myanmar menyelesaikan persoalan Rohingya. Lima anggota PBB yang memiliki hak veto yaitu Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, dan China memiliki blok migas di Myanmar.  

Bagaimana dengan ASEAN?

Perusahaan Myanmar pasti ada di situ. Brunei, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapur juga memiliki blok di Myanmar. Indonesia ada meski tidak signifikan. Seperti bagian services saja. Artinya, tujuh dari sepuluh negara ASEAN memiliki blok migas di sana. ASEAN akan melakukan pendekatan non-intervensi atau tidak mengintervensi dan menganggap ini sebagai urusan domestik. Maka dari itu, suara diplomasi negara-negara ASEAN kurang lebih sama seperti Indonesia. 

Menurut Anda, Apakah diplomasi yang dilakukan Indonesia terkait Rohingya sudah cukup? 

Indonesia sudah paling progresif, yang lainnya lebih memilih diam. Pemerintah sudah baik melakukan diplomasi kemanusiaan, tetapi tidak cukup karena itu hanya adressing issue dan hanya sebentar menyelesaikan masalah. Masyarakat Rohingya bisa makan, sekolah, mendapatkan obat-obatan, tetapi akar masalahnya bahwa mereka diusir dari tanahnya belum selesai.   

Kita memiliki tiga pendekatan strategi untuk melihat Rohingya itu seperti apa. Pertama, klaster Erdogan. Klaster ini merupakan sekelompok orang yang melihat Rohingya ini sebagai konflik agama. Kedua, klaster Jokowi. Klaster ini melihat kasus Rohingya lebih kepada masalah kemanusiaan. Ketiga, klaster Ansor. Klaster ini melihat bahwa apa yang terjadi di Rohingya bukan hanya sekedar kemanusiaan saja, tetapi ada persoalan geopolitik di sana. 
   
Bisa dijelaskan lebih detail ketiga pendekatan strategi tersebut?

Kalau menggunakan pendekatan agama, keuntungan terbesar didapatkan oleh Myanmar dan Rohingya sendiri malah rugi. Artinya, persekusi kepada mereka akan semakin keras karena orang-orang Indonesia atas nama agama ‘membantai’ yang lain. Sedangkan, dengan Pendekatan Jokowi Rohingya akan mendapatkan untung besar dibandingkan ke pemerintah Indonesia. Ini pendekatan yang tulus karena ingin membantu Rohingya. Tetapi ini tidak cukup karena hanya adressing issue dan hanya sebentar menyelesaikan masalah.    

Adapun Pendekatan Ansor, yang paling untung banyak adalah Rohingya. Pendekatan ini berorientasi untuk menyelesaikan masalahnya dan jangka panjang. Jadi, pendekatan geopolitik yang di-highlight GP Ansor adalah pendekatan yang paling tepat karena lebih memungkinkan untuk terwujudnya perdamaian yang berkelanjutan.  

Jadi, apa yang seharusnya Pemerintah Indonesia lakukan terkait diplomasi Rohingya?

Yang kita inginkan adalah pemerintah Indonesia harus berani mengambil posisi lebih tegas dan mengambil kepemimpinan diplomasi Myanmar, terutama menggalang diplomasi dengan China, India, Thailand, da Korea Selatan dalam menyelesaikan persoalan Rohingya.

Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Rohingya lebih membutuhkan bantuan politik daripada bantuan logistik. Bagaimana menurut anda?

Ujung akhir dari pendekatan kemanusiaan adalah logistik. Keuntungan pendekatan ini lebih kecil bagi Rohingya jika dibandingka dengan pendekatan geopolitik. Pendekatan Geopolitik adalah menggunakan semua instrumen dengan pressure atau tekanan-tekanan politik. Kita menyebutnya total diplomacy dan multy track diplomacy. Pendekatan ini lebih efektif menyelesaikan masalah dan mampu menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.   

Dilaporkan bahwa Aung San Suu Kyi menolak undangan PBB terkait dengan Konflik Rohingya. Bagaimana anda menanggapi itu?

Posisi Aun San Suu Kyi ini cukup dilematis. Suu Kyi masih merupakan tokoh sentral yang dibutuhkan oleh warga Rohingya. Menurut data yang kami dapatkan, partainya Suu Kyi merupakan satu-satunya pihak yang masih bisa diajak ngobrol oleh Rohingya. Orang-orang Rohingya masih bisa ngobrol dengan partainya Suu Kyi dari pada dengan partai koalisinya Suu Kyi ataupun partai oposisi. 

Selain sebagai State Councelor, Suu Kyi adalah menteri listrik dan energi. Jadi, yang menandatangi kontrak-kontran blok migas adalah Suu Kyi. Dia juga yang bertindak melakukan bagi-bagi jatah.

Ketika Suu Kyi ngomong untuk menghentikan kekerasan, maka militer akan menodongnya dan mengatakan bahwa yang menandatangangi blok migas dan pembangunan pipa adalah dia sendiri. 

Keadaan dilematis itu yang membuat Suu Kyi memilih diam?

Oleh karena itu, dia lebih banyak memilih untuk diam. Kalau dia tidak mendukung Rohingya, bagaimanapun juga minoritas Rohingya lebih memilih beraliansi secara politis dengan partainya. 

Suu Kyi berada dalam posisi terjepit. Terjepit sama militer, terjepit di sektor energi, terjepit dengan partainya yang ternyata lebih dekat dengan Rohingya. Akhirnya dia memilih untuk diam. Termasuk tidak menghadiri undangan dari PBB karena kalau dia hadir maka dia akan blunder dan bunuh diri.