Wawancara

Sastrawan: Kita Tunggu Islam Cerdas dan Pembela

Kamis, 16 Februari 2017 | 02:02 WIB

Di mata sastrawan yang dikenal kritikus film dan fotografer, Seno Gumira Ajidarma, NU saat ini harus berperan dengan menggunakan media baru, didukung dengan teknologi, agar hasilnya maksimal. NU harus bergerak secara anggun dan pendekatan intelektual. Peran NU semacam itu ditunggu banyak orang.  

Jika NU tidak melakukan hal semacam itu, menurut dia, dikhawatirkan Islam yang oleh sebagian kalangan diimagekan sebagai “keras” akan menjadi kebenaran umum. NU harus membersihkan image tersebut. 

Seno Gumira Ajidarma mengungkap usulan-usulan untuk NU saat ini selepas menjadi narasumber ngaji film dan sejarah dalam rangka peringatan harlah ke-91 NU yang berlangsung di gedung PBNU, Jakarta, Senin (30/1). 

Ia mennyampaikan usulan tersebut kepada Abdullah Alawi dari NU Online sembari menuruni tangga dari lantai delapan sampai lantai dasar. Berikut petikannya: 

Bisa cerita, tahu dan mengenal NU sejak kapan? 

Sejak lama. 

Dalam konteks apa Anda mengenal NU?

Dalam konteks pembaca koran.

Melihatnya bagaimana? 

Eksotik.

Maksudnya bagaimana?

Eksotik itu ya sesuatu yang tidak terlalu saya kenal, menarik, tampak indah; sampai sekarang saya juga tidak terlalu kenal. Artinya, saya hanya kenal mitosnya. Mitosnya apa ya, menarik, berwibawa, lama, lawasan gitu ya. Tapi itu omongan orang yang enggak kenal ya. 

Ada pengelaman bersentuhan dengan orang NU atau tokoh NU?

Kebetulan saya kenal Mbak Nur (Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, red.). Itu kan teman saya wartawan, di sebelah meja saya. Tidak seperti bayangan saya. Modern, pinter. Kemudian kenal Gus Dur. Kemudian kenal anak-anaknya, Yenny segala. Ya beda, memang, tapi jangan-jangan mereka tidak bisa mewakili NU. Begitu lho. 

Lalu bagaimana mitos itu ketika dikaitkan dengan kenyataan?

Kadang-kadang mitos itu pudar, tapi bukankah realitas lebih baik dari mitosnya? 

Bisa usul tentang peran-peran yang harus dijalankan NU saat ini?

Dia mesti mencegah, melawan, dan menjelaskan segala sesuatu yang sekarang ini membingungkan. Image Islam yang keras, saya kira bisa dibersihkan oleh NU. 

NU potensial untuk itu?

NU potensial, punya, asal menjadi policy (kebijakan). Jadi, dia harus bergerak dengan anggun. 

Maksudnya anggun bagaimana?

Bergerak dengan intelektual, wawasan, konstruktif, menjelaskan keislaman yang benar itu kayak apa. Begitu. Membuat orang tidak pesimis terhadap Islam. Tidak sinis. Kalau yang ngomong orang NU kan menjadi sah. Kenapa? Karena dia orang yang mengerti agama gitu lho. Dia harus bicara. Semua orang menunggu-nunggu, kenapa intelektual Islam diam saja. Kenapa organisasi Islam diam saja. Menunggu-menunggu. Konferensi pers juga bisa. Media baru kan bisa bicara. Dan saya enggak percaya orang tidak mengerti media baru. Itu hal yang mudah sekali. 

(Image Islam keras) Itu harus dilawan karena kalau tidak lawan. Berita bohong akan menjadi kebenaran. Itu saja. Kenapa kebohongan menjadi kebenaran karena tidak ada alternatif lain. Mau tanya siapa, mau membaca apa. Orang NU harus masuk kepada media baru. Makanya saya bilang tadi, NU didirikan kan untuk syiar Islam. Sekarang medianya sudah ada untuk menggandakan itu tidak tergantung satu juru bicara, tidak tergantung satu da’i-da’i berbakat. Capek kan kalau orang ngomong terus, klik, klik, klik werrr…kita tunggu, dan kita-kita menunggu-menunggu bahwa Islam sebagai wacana kecerdasan dan pembelaan terhadap yang lemah termasuk yang lemah pikirannya itu menjadi nyata. Kapan disuplai? Begitu saya kira. 

NU sudah melakukan hal yang dimaksud. Namun belum maksimal.

Makanya itu kalau bersekutu dengan para ahli media baru, pasti itu gampang. Diajak saja. Dan NU belajar sendiri saja bisa, asal ada policynya. Nah, policynya saya kilik-kilik nih, sudah waktunya, sebelum semua orang bertambah bodoh.