Pemilu 2019 telah berlalu. Hanya tinggal menunggu pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menentukan calon presiden dan calon presiden 01 atau 02 yang akan memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan. Namun, fakta di lapangan, sebelum pengumuman keputusan itu dilakukan, ada pihak yang mengklaim telah menang dan meminta pasangan lain didiskualifikasi. Pasalnya, menurut klaim tersebut, pemilu kali ini penuh dengan kecurangan.
Apa dan bagaimana pemilu 2019 ini, apakah pemilu bisa dicurangi? Kenapa narasi seperti itu mengemuka? Abdullah Alawi dari NU Online mewawancarai Juri Ardiantoro di Gedung PBNU, Jakarta, Senin (13/5) dan dilanjutkan pada Rabu (15/5).
Juri adalah komisioner KPU Pusat periode 2012-2017. Di tengah mengemban amanahnya, pada 2016 ia menjadi Ketua KPU Pusat menggantikan Husni Kamil Manik yang meninggal. Juri pun memimpin KPU Pusat hingga 2017. Sebelumnya, ia juga pernah menjadi anggota KPU DKI Jakarta periode 2003–2008. Ia sempat menjadi ketuanya pula menggantikan ketua sebelumnya yang tersangkut korupsi. Dengan demikian, ia termasuk salah seorang yang mengetahui seluk-beluk penyelenggaraan pemilu di Indonesia, setidaknya pada 2019 ini.
Berikut petikan wawancaranya:
Berdasarkan perhitungan sementara, menunjukkan telah ada pemenangnya, tapi narasi kecurangan begitu ramai di publik, terutama di media sosial. Bagaimana pendapat Anda melihat penyelenggaraan pemilu 2019 ini?
Begini, dalam setiap pemilu pasti ada masalah. Namanya saja pemilu, ada persaingan, kontestasi memperebutkan kekuasaan. Orang-orang yang terlibat, berburu kekuasaan itu pasti ada usaha-usaha yang kadang-kadang menimbulkan konflik atau masalah. Itulah makanya pemilu dibuatkan banyak aturan, banyak rule of the game supaya persaingan itu ada dalam jalur tertib.
Yang kedua, aturan pemilu juga menyediakan banyak sekali aturan maupun kelembagaan untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul. Karena tahu dalam pemilu ada masalah, maka dibuatlah banyak aturan maupun lembaga yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah. Makanya dalam sejarah pemilu kita atau dari pemilu ke pemilu persaingan bisa begitu keras, semua orang terlibat dalam persaingan itu, tapi begitu diketahui pemenangnya, atau ditetapkan pemenangnya, semua pihak mengerti, mengetahui dan mengakui bahwa proses pemilu sudah selesai dan ada yang menang dan ada yang kalah.
Nah, yang unik dari pemilu yang sekarang ini, terutama pilpres ini, begitu quick count dan real count itu menunjukkan ada pemenangnya, tidak serta merta konflik atau pertentangan atau keruwetan ini berhenti sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya. Jadi, situasi lapangan sekarang ini masih saja sangat keruh karena adanya orang-orang atau pihak-pihak merasa pemilu ini bermasalah.
Nah, yang menjadi catatan juga adalah para pemrotes ini atau pihak-pihak yang keras terhadap hasil pemilu ini bukan pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan pemilu, misalnya partai politik. Partai politik cenderung bersikap menghormati dan menunggu proses hasil pemilu tanpa melakukan usaha atau gerakan-gerakan yang secara demonstratif ingin mengatakan bahwa pemilu ini curang bahkan ingin mendiskualifikasi calon lain.
Itu artinya persoalannya melebar mulai dari tuduhan kecurangan sampai pada tuntutan mendiskualifikasi. Ini kan tidak bisa dipahami sebagai hal yang biasa yang didasarkan pada fakta-fakta kecurangan. Tidak oleh itu, tapi saya membaca ada situasi yang melampaui dari sekadar mengatakan ada kecurangan karena kalau ada bicara soal kecurangan harus dituntut dimana kecurangannya. Yang kedua, siapa pelaku kecurangan itu. Apa kecurangan hanya didominasi oleh satu pihak sementara pihak lain tidak melakukan kecurangan? Yang ketiga harus bisa membuktikan fakta-fakta, data-data yang menunjukkan kecurangan.
Selama ini, keruwetan yang muncul di publik karena narasi-narasi kecurangan, bukan oleh data kecurangan-kecurangan. Kalaupun bisa dianggap data itu karena informasi sepotong-sepotong, video dipotong-potong, kemudian dibuat narasi telah terjadi kecurangan. Bahkan disebut kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Nah, menurut saya, itu problem serius yang bukan sekadar soal pemilu, bukan sekadar kontestasi, bukan sekadar perebutan kekuasaan, menurut saya, ada elemen lain, ada unsur lain, sentimen lain, tapi perlu diteliti lagi. Perlu dicek lagi. Ini asumsi, adanya sekelompok orang di luar elemen pemilu ini yang mencoba menggunakan arena pemilu ini untuk menitipkan atau menumpang untuk kepentingannya.
Bisa disebutkan, kelompok mana itu?
Kelompok ini, kalau Andi Arief menyebutnya setan gundul. Saya tidak bisa menyebut siapa kelompok itu, tetapi bisa juga ditelisik dari dua indikator, yaitu ideologi dan kekuatan politik. Misalnya mana kelompok ideologi yang berkepentingan untuk menjatuhkan Jokowi.
Ada "balas dendam" karena ormas tertentu dibubarkan misalnya?
Mmm...banyaklah sebabnya. Jokowi kemudian dipersepsi sebagai anti-Islam, kriminalisasi ulama. Bahkan ada sebagian yang menyebut Jokowi keturunan PKI dan lain-lain. Semua itu itu narasi yang dibangun dan dibuat untuk menjatuhkan Jokowi, yang sama sekali tidak bisa dibuktikan, tetapi sebagian masyarakat percaya.
Nah, elemen kedua, di samping ideologi, kita juga bisa dicek kekuatan-kekuatan politik lama yang mungkin berusaha masuk mencari jalan untuk mendapatkan kekuasaan. Ketika berkontestasi melalui arena pemilu tidak bisa, mereka bisa melalui menumpang di arena politik itu.
Apa mereka bagian dari Orde Baru?
Ya misalnya, unsur-unsur politik lama, Orde Baru atau anasir-anasirnya. Saya tidak bisa membuktikan, tapi kita bisa sama-sama mengeceknya. Makanya kemarin anak-anak aktivis 98 membikin peringatan momentum 12 Mei, temanya adalah soal Orde Baru.
Kalau misalnya ada penumpang gelap, dan partai politiknya sudah relatif menerima, tapi kenapa partai politik ini seolah membiarkan dan bahkan menikmati adanya penumpang gelap itu?
Partai politik itu kan satu entitas satu sisi dia bisa mengetahui fakta itu benar, tapi dia tidak mau melawan fakta itu karena mengganggu posisinya atau dukungan konstituennya. Dia enggak mau bicara terus terang karena kalau terus terang, sebagian konstituennya akan lari untuk pemilu yang akan datang atau moment-moment politik yang butuh dukungan publik. Jadi, sesuatu yang biasa dan wajar saja.
Bagaimana setelah ditetapkan pemenangnya oleh KPU pada 22 Me nanti? Lalu bagaimana jika ada kalangan yang masih menolak dengan dalih kecurangan?
Tahapan pemilu selesai itu saya kira akan sangat krusial dan mengurangi secara signifikan gerakan yang menolak hasil pemilu. Narasi kecurangan akan tetap ada, tapi saya kira pelan-pelan akan menyusut.
Isu people power itu bagaimana?
Kan bagi kontestan pemilu masih ada beberapa tahapan, bisa melakukan protes di Bawaslu selama proses ini belum sampai pada penetapan. Begitu penetapan, mereka akan berjuang untuk hal yang sama di Mahkamah Konstitusi. Jadi, kemungkinan ujungnya di Mahkamah Konstitusi pada akhir Juni yang akan datang. Akhir Juni itu diagendakan sidang pilpres sudah selesai.
Tadi menurut Anda, narasi kecurangan karena disinformasi dari penyelenggaraan pemilu?
Penyelenggaraan pemilu pasti ada kelemahan baik dari sisi kapasitas, dari sisi manajemen, tapi itu kan bagian dari sesuatu yang selalu ada. Tapi itu tidak terkait langsung dengan suara. Hanya persoalan tampilan, manajemen, bukan integritasnya. Jadi, boleh mengkritik penyelenggara, tapi tidak bisa ini dikaitkan untuk merugikan pihak tertentu.
Kenapa bisa dikatakan seperti itu?
Itu yang saya tahu, dan saya sejak awal di situ. Justru sistem yang dibuat KPU itu sangat kuat, sangat transparan, dan sangat memadai untuk mencegah kecurangan-kecurangan.
Kenapa pengetahun seperti itu tidak menjadi arus utama?
Ini soal manajemen, soal komunikasi publik. Makanya saya pernah statement di publik kan mengapa kita harus percaya hasil pemilu. Saya jelaskan tiga hal. Satu, aturan-aturan pemilu itu sangat lengkap. Kedua, terdapat mekanisme yang membuat orang tidak bisa curang. Banyak sekali. Ketiga, kalau ada orang yang berbuat curang, ada aturan ada lembaga yang bisa dengan gampang menyelesaikannya. Itu tiga elemennya untuk informasi kepada masyarakat bahwa pemilu kita ini susah untuk curang.
Bagaimana dengan tuduhan kecurangan padahal ada C1 di tangan beberapa pihak? Apa C1 bisa dimanipulasi, misalnya digandakan?
C1 itu bagaimana mau digandakan? Satu, itu ditulis manual dan diumumkan. Bukan hanya di lapangan, tapi di-publish di internet, di-scan. C1 salinannya diberikan kepada seluruh saksi. C1 diberikan kepada pengawas. Kalau ada yang menggandakan, pasti ketahuan atau yang memalsukan, enggak bisa karena C1 asli itu ada hologram tersembunyi yang tidak bisa orang baca dan kalau ada masalah, bisa dibaca dengan alat baca tertentu.
Lalu kenapa masih banyak yang percaya kepada narasi kecurangan?
Masyarakat percaya kepada narasi curang itu adalah kelanjutan dari kampanye sebelumnya untuk mendelegitimasi calon yang menang. Makanya jalannya macam-macam, KPU dulu. Karena sudah tahu kalah, KPU-nya dibilang curang. Itu kan sebetulnya narasi-narasi yang dibangun dan kemudian itu dibungkus oleh isu-isu yang mudah ditangkap masyarakat, isu agama, ideologi dan lain-lain. Jadi, sebetulnya sama saja narasinya sejak awal sampai hasil pemilu.
Bagaimana menurut Anda terkait banyaknya petugas KPPS yang meninggal? Apa pemilu serentak ini perlu diubah?
Banyaknya KPPS yang meninggal dianggap sebagai akibat pemilu serentak. Bisa jadi karena soal tata kelola yang enggak pas. Misalnya soal rekrutmennya yang harus diperbaiki, kualitas KPPS, hingga manajemen di lapangan. Oleh karena itu Banyaknya kritik terhadap pemilu serentak tidak lantas meninjau keserentakannya. Evaluasi menurut saya tidak mesti harus buru-buru menghapus pemilu serentak, tapi pastikan apakah model keserentakan yang harus ditinjau satu sisi, dan di sisi yang lain ada soal tata kelola atau manajemen pemilu yang harus dievaluasi atau diubah.
Di akar rumput terjadi semacam gesekan. Supaya terjadi rekonsiliasi dengan segera harus bagaimana?
Rekonsiliasi itu penting untuk menjaga kewarasan publik. Publik jangan sampai terlalu lama dicekoki oleh informasi yang sesat, yang hanya diproduksi oleh politik kepentingan. Rekonsiliasi itu sebetulnya untuk mengikis usaha-usaha yang membelah masyarakat, terutama dari sisi penyadaran masyarakat. Kedua, masyarakat harus diajak dan menyadari agar tidak mau diprovokasi dalam permainan politik elite. Nah, rekonsiliasi juga harus ada di level elitenya juga. Elite politik.
Nah, di level elite ini kadang, rekonsiliasi itu sering diartikan dengan akomodasi. Maka, proses akomodasi ini juga harus dipilah mana akomodasi yang mengarah kepada sistem penguatan pemerintah presidensial ini, serta mana orang-orang atau pihak-pihak yang merusak sistem ini ke depan. Jadi, akomodasi ini bisa dilakukan untuk memperkuat sistem politik atau pemerintahan yang akan datang.