Wawancara

Subsidi Pangan dan Energi Tak Boleh Dicabut

Jumat, 28 Maret 2008 | 07:11 WIB

Belakangan ini, berbagai jenis bahan pangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak mengalami kenaikan harga yang signifikan. Demikian pula, harga minyak dunia mengalami kenaikan yang melejit. Kondisi ini membuat masyarakat miskin semakin terpuruk. Dalam situasi seperti ini, pemerintah cenderung tidak siap dan hanya mengambil kebijakan minimalis yang akhirnya mengorbankan rakyat miskin.

Apa sebenarnya penyebab naiknya harga pangan dan energi dunia ini. Lalu langkah apa yang sebaiknya diambil oleh pemerintah yang tidak memberatkan masyarakat, terutama kelompok miskin. Berikut ini wawancara Mukafi Niam dengan Direktur Econit Dr. Hendri Saparini baru-baru ini.
<>
Apa sebenarnya yang terjadi dengan kenaikan berbagai macam harga pangan ini?

Ini kan sudah kita ketahui dan semestinya pemerintah bisa melakukan antisipasi bahwa tahun 2008 akan terjadi pasok yang paling rendah. Harga pangan tinggi karena ada pergeseran dari sisi permintaan. Sekarang ini manusia harus bersaing dengan pembuatan energi. Kemudian ada peningkatan pendapatan masyarakat di India dan China. Di sisi supply sendiri, memang ada penurunan, ada biaya stok, kenaikan harga minyak dan sebagainya.

Sekarang bagaimana dengan sikap pemerintah?

Kayaknya pemerintah telmi, kayaknya baru sekarang tahu pangan ini akan meningkat. Padahal ini sudah diprediksi beberapa tahun yang lalu. Kalau sudah demikian, yang harus dilakukan tidak boleh ada pilihan, apakah masyarakat akan disubsidi energi atau subsidi pangan. Bagi kelompok masyarakat bawah, dua subsidi ini tidak bisa diganggu gugat. Kita tidak boleh meminta kepada masyarakat miskin, kalau kami minta beras murah, berarti minyak mahal.

Kalau memang sudah seperti itu, daya beli masyarakat harus dijaga, kesejahteraan masyarakat harus dijaga, maka pilihan-pilihan kebijakan haruslah pilihan kebijakan yang tidak mengganggu itu, misalnya alternatif menaikkan harga BBM atau berbagai modifikasi kebijakan yang nanti akan menaikkan harga energi atau pangan di masyarakat. Ini tidak akan menjadi solusi. Yang harus dilakukan pemerintah adalah menaikkan pendapatan dulu, barulah kita berfikir bagaimana menata industri energi kita.

Kalau sekarang ini bagaimana?

Tidak bisa seperti sekarang ini, karena APBN sudah tidak mampu, maka mau tidak mau, ya impor minyak tanah dikurangi, hanya sekedar memangkas biaya subsidi. Ini menjadi ketidakadilan.

Kesalahan ada di pemerintah karena puluhan tahun tidak memikirkan energi alternatif. Tapi kalau sekarang kemudian pemerintah keteteran, kenapa yang harus menanggung beban pertama kelompok masyarakat bawah.

Seharusnya siapa yang harus menanggung beban?

Beban ini harus ditanggung bersama-sama, atau ada burden sharing, siapa yang harus di ajak untuk sharing. Pertama pemerintah, ia harus mengikhlaskan untuk melakukan efisiensi anggaran, tetapi tidak pukul rata. Kedua pemerintah daerah yang selama ini, mendapatkan winlfall profit, tidak perlulah daerah ditambah winfall profitnya karena tanpa perencanaan hanya akan masuk ke SBI. Makanya pemerintah daerah juga harus menanggung beban, tetapi untuk menyuntikkan ekonomi sehingga ekonomi bisa berjalan.

Kemudian yang juga diminta untuk share burder ini adalah kreditor. Selama puluhan tahun, Indonesia selalu membayar utang dengan tertib. Ini saatnya bagi kita untuk sekali-sekali, minta karena sekarang ini kita ada beban 158 trilyun yang harus kita bayar sementara tambahan subsidi hanya puluhan trilyun. 10 trilyun untuk listrik dan 10 trilyun untuk BBM.

Artinya bagaimana?

Artinya, sebenarnya kalau demikian, kenaikan harga minyak itu sebenarnya ada solusinya dan sudah bisa alternatif yang bisa diambil. Kita jaga dulu agar jangan naik dulu. Karena itu, masalah ada, solusinya sudah ada, jadi selesai.

Jangan terus dicari-cari yang kemudian kita harus melakuakn disinsentif untuk PLN, tapi kita harus juga mengurangi impor BBM. Lho kita ini sebenarnya sedang menjaga beli masyarakat dan daya saing industri atau pokoknya kita menaikkan harga BBM. Ini menjadi lain.

Tentang kebijakan pangan?

Saya rasa ini terjadi juga di pangan dan sebagaimnya. Pemerintah hanya melakukan kebijakan yang minimal. Tidak mau melakukan kebijakan yang memang menyelesaikan permasalahannya.

Masalah pangan terkait dengan bulog, yang saat ini boleh dikata sukses menjaga stabilitas harga beras. Sementara komoditas lain cenderung naik, apa perlu komoditas pokok lain ditangani bulog?

Kalau menurut saya, cukup banyak komoditas strategis. Artinya kalau ini akan menggaggu stabilitas. Peran bulog harus dikembalikan. Dulu yang mengusulkan kan IMF. Kalau sekarang tidak cocok, ya harus kita kembalikan perannya. Saya rasa tidak perlu berfikir ini menyalahi, pemerintah tidak boleh turut campur dalam mekanisme pasar. Ternyata ini ada kegagalan pasar sehingga perlu diatur lagi. Jadi sudahlah ini kita tinggalkan.

Kalau harga minyak naik, subsidi 300 T yang menjadi lobang di APBN?

Ini kan sebenarnya, kalau tidak melakukan apapun. Ini juga kalau dan kita kan juga tidak melakukan perubahan tata niaga migas dan lainnya. Sekarang pilihannya kalau kita diam dengan kondisi kebijakan seperti ini, subsidi meningkat, ya sudah gimana lagi. Jadi seolah-olah pemerintah mencari legitimasi di masyarakat jalan mudahnya sementara kita sudah sodorkan kamu melakukan ini-ini biar tidak sampai 300 trilyun .jadi seolah-olah memojokkan masyarakat agar menerima kenaikan harga BBM. (mkf)