Wawancara

Tasawwuf, Sebuah Pendekatan Alternatif Atasi Problem Sosial

Kamis, 7 Desember 2006 | 08:01 WIB

Indonesia telah merdeka selama 61 tahun, namun sejauh ini upaya pembangunan masih carut-marut. Berbagai model untuk memberdayakan anak bangsa telah dicoba oleh para pemimpin, namun semuanya gagal dan krisis silih berganti datang. Bukannya lebih baik, kehidupan rakyat semakin buruk, kekayaan alam terus terkuras yang akhirnya menimbulkan berbagai bencana alam.

Hidup harus terus dijalani dan nasib rakyat harus terus diperjuangkan dengan berbagai pendekatan baru yang lebih cocok. Berikut ini pemikiran Dr. KH Said Aqil Siroj yang menawarkan pendekatan tasawwuf dalam mengatasi problematika bangsa yang diungkapkannya dalam wawancara dengan Mukafi Niam dari NU Online beberapa hari lalu disela-sela kesibukannya dalam mempersiapkan launching bukunya Tasawwuf sebagai Kritik Sosial di Gd. PBNU Lt 5.

<>

Apa yang dimaksud dengan tasawwuf sebagai kritik sosial?

Latar belakangnya begini, saya ingin ikut andil mencari solusi krisis yang sampai sekarang masih kita rasakan, di bidang ekonomi, hukum, politik, moneter, itu semua bisa diatasi. Kalau sudah kena krisis sosial, kita bangkrut, negara juga bangkut, ini susah. Yang bisa memperbaiki diri kita sendiri, kalau krisis ekonomi, investor datang, selesai. Tapi kalau sudah krisis budaya, krisis moral, kita sendiri yang harus melakukan recovery, tidak bisa imam masjidil haram atau syaikhul azhar misalnya. Mari kita coba dengan pendekatan tasawuf. Apa tawassuf itu, pada dasarnya, kita selalu hadir bersama tuhan atau minimal kita sadar bahwa tuhan selalu hadir bersama kita.

Dalam hal ini, kita mengenal khouf, dau roja’, takut kepada murka tuhan dan mengharap rahmatnya. Yang baik bagaimana, kita harus ngambil tengah-tengah, antara takut dan optimis. Takut sekali sama tuhan nanti seolah-olah tuhan tidak mampu memaafkan makhluknya, sangat optimis berlebihan juga seolah-olah meremehkan aturan tuhan. Jadi ditengah-tengah. Kalau sudah itu, baru kita membaca problem masyarakat. Bangunan sosial yang dibangun para ulama dahulu saling gotong royong, yang muda percaya yang tua, yang tua percaya yang muda, yang miskin percaya pada yang kaya, yang kaya santun pada yang miskin, yang pandai mengayomi yang bodo, yang bodo percaya pada yang pinter, sekarang kan bubar itu, lepas semua. Yang bodo curiga sama yang pinter, takut dipinterin, yang miskin melihat yang kaya pasti curiga dari mana kayanya. Kalau dulu enggak, yang muda percaya sama yang tua karena memang bisa dijadikan contoh. Pendekatan tasawwuf ini ingin mengembalikan beberapa hal itu.

Gampangannya gimana, kepercayaan ini pasti tumbuh dari hati sendiri, bukan dari luar. Islam sebagai inspirasi, bukan Islam aspirasi, bukan Islam doktriner, Islam yang tumbuh dari dirinya sendiri. Tasawwuf itu bukan menyebabkan kemunduran umat Islam, kebodohan. Tasawwuf adalah revolusi ummat Islam yang dinamis, yang produktif, yang aktif, selalu mengejar makom yang lebih tinggi.

Banyak sufi yang bisa kita jadikan contoh seperti Umar bin Abdul Aziz yang menjadi raja dan berkuasa tahun 99-102 H, ada Jabir bin Hayyan penemu teori Aljabar, ada pedagang sukses, Jabir bin Attar yang memiliki pabrik parfum, ada lagi petani sukses, Abi Hasan As-Syadzili, bahkan pengikutnya 600 dijamin semua kebutuhannya. Nah itu yang kita idolakan, sufi yang bermasyarakat, sufi yang peduli sesama, sufi yang aktif, bukan sufi yang mojok di masjid itu.

Sufi selalu diidentikkan dengan orang yang selalu uzlah, melepaskan diri dari problematika masyarakat?

Itu salah, sebenarnya adalah uzlah spiritual, bukan berarti melepaskan diri dari kehidupan masyarakat, tetap hidup di tengah-tengah hiruk-pikuknya Jakarta tapi hati tidak larut, uzlah dari maksiat, uzlah dari hubbuddunya, uslah dari ambisi-ambisi, bukan uzlah fisik. Hidup di tengah-tengah justru bisa mempengaruhi masyarakat.

Teori yang mengatakan kita terpengaruh oleh lingkungan bisa benar bisa tidak, Nabi Muhammad satu orang bisa merubah seluruh ummat manusia. Para walisongo bisa merubah masyarakat Jawa. banyak sekali pesantren yang dibangun di tengah-tengah masyarakat abangan justru disitu malah berkembang. KH Hasyim Asyari di Tebu Ireng, Kiai Abbas di Butet, ini lingkungannya abangan, tapi justru beliau ingin merubah lingkungannya, bukan terpengaruh oleh lingkungan. Ini uzlah, ini yang kedua.

Ketiga, dalam buku itu saya tegaskan, Allah berfirman dalam surat Al Hajj ayat 54 kalau ingin mencapai kebenaran, disini Islam mendorong kita agar berilmu. Kita rebut science dan teknologi, harus kita kuasai. Tapi ilmu tidak bermanfaat, bahkan menjadi malapetaka jika tidak didasari dengan iman. Ilmu dan Iman masih belum bermanfaat jika tidak didasari dengan hati yang tulus. Wal ya