Wawancara

Wawancara dengan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi tentang Amandemen UUD

Rabu, 9 Agustus 2006 | 07:32 WIB

Amendemen UUD 1945 yang diketok palu MPR pada 2002 lalu menimbulkan sejumlah persoalan krusial. Bukan saja pada kenyataan bahwa UUD kita dengan mudahnya dirubah untuk memenuhi keinginan segelintir orang pintar, namun berbagai tata politik-ekonomi juga ikut berubah secara radikal. Satu sisi perubahan itu adalah bagian dari perjalanan bernegara Indonesia menuju sebuah kemakmuran sejati, namun perlu diperiksa ulang bukankah justru perubahan itu malah menyebabkan keterpurukan bangsa Indonesia semakin meradang saja. Berikut wawancara NU Online dengan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi di Lt. 3 Kantor. PBNU, Jakarta, pada tanggal 3 dan 5 Agustus 2006 lalu.

<>

NAHDLATUL ULAMA membuat Maklumat dalam Munas dan Konbes di Surabaya yang isinya bahwa NU meneguhkan kembali komitmen kebangsaannya untuk mempertahankan dan mengembangkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). UUD 45 yang mana?

UUD 45 yang dimaksud adalah yang setelah amandemen.Tapi perlu direview apakah amandemen itu memang kebutuhan yang mendesak dan tidak terelakkan apakah baru merupakan kemauan-kemauan yang diakomodasi karena di setiap negera pasti dalam kurun tertentu ada perubahan, tapi sebatas kebutuhan yang mendesak, nah perlu direview apakah kebutuan mendesak atau lebih dri itu. Misalnya, UUD 45 dianggap terlalu ketat sehingga kekuasan utama berada berada di bawah eksekutif dimana yang lain-lain itu menjadi di bawah eksekutif kemudian menjadikan pemerintahan yang sentralistik, kemudian UUD 45 dikritisi.

Namun (amandemen itu) perlu direview sebenarnya kesalahan terletak pada UUD atau aturan per UU-an sebagai pelaksana dari UU. Sekarang contohnya begini, mengapa Pak Harto terpilih selama 6 kali itu apakah kerena UUD atau UU politiknya itu, dimana ketika itu DPR plus daerah adalah MPR, lembaga tertinggi, dimana terkooptasi oleh kekuatan eksekutif dengan masuknya tentara dan tentara ini kemudian bikin Golkar, nah kemudian bersatu dengan PNS (Korpri) baru masyarakat sebagai alat legalisasi.

Nah dalam kondisi semacam itu pasti deh presiden bisa semaunya sendiri, nah ini dulu sentralisme itu disebabkan karena UU atau UUD, karena dulu waktu Bung Karno ya tetep UUD 45 tapi jadinya revolusi, ada nasakom, lalu ganti pak harto yang menerapkan UUD secara murni dan konsekuen jadinya sentralisasi militerisasi dan sebagainya, ini sebenarnya kesalahannya dimana.

Itu mengenai masalah pemerintahan. Mengenai masalah HAM apakah ham ini kesalahan dari UUD ataukah aturan per-uu-an, kalau hanya aturan per-uu-an sebenarnya bisa dibuat oleh DPR.

Mungkin yang harus diamandemen adalah lembaga tertinggi, ini memang tencantum di dalam UUD 45 jadi bahwa lembaga tertinggi memilih presiden, masalahnya presiden bisa nggak mengkooptasi lembaga tertinggi, itu sangat tergantung pada UU pemilu dan UU politik. Itu kalau bicara tentang UUD 45 dan amandemen. Jadi kita tidak apriori menolak amandemen, tapi juga tidak apriori menyetujui semuanya. Jadi istilah saya perlu perenuangan kembali.

Kuncinya dimana?

Apakah dengan amandemen itu sistem UU kita sekarang menjamin persatuan dan produktifiatas, kuncinya di situ. Apa tambah ruwet? Karena banyak lembaga ini anu; komisi ini komisi itu, sehingga tidak jelas. Kalau itu yang terjadi, sistem kita mengunci, sehingga kalau ada apa-apa tidak jelas siapa yang bertanggung jawab.

Nah negara yang sedang berkembang tidak cocok dengan stelsel semacam itu. Yang simpel mudah tapi punya leadership yang jujur, nah yang jujur itu tidak ada, karena yang tidak jujur lahirkan produk-produk peuuan yang hanya lahirkan justifikasi kekuasaaan. Yang saya ceritakan ini masa orba. Nah sekarang kakuasaan itu dibagi sekian banyak sehingga tidak jelas pintu mana penguasa itu sebetulnya.

Sekarang sesuatu sudah diputuskan oleh DPR masih bisa direview oleh Mahkamah Konstitusi (MK), lalu ada Komisi Yudisial (KY, nah sementara ada KPK, nah posisi ini dilihat dari struktur koordinatif dengan Polri dengan Jaksa bagaimana, sekarang ada KPK yang menangkap orang tetapi tidak memutusi orang itu, yang memutisi adalah pengadilan, padahal dalam struktur pengadilan yang belum bersih tidak bisa untuk membawa misi KPK itu, sementara ini sudah terpisah dengan eksekutif, jadi ada pemisahan-pemisahan yang tidak bisa dikoordinasikan sekarang.

Nah pertanyaan selanjutnya yang dimaksud di sini perenungan kembali adalah apakah dengan sistim ini menjamin 1)persatuan bangsa, 2)kwalitas bangsa 3)produktifitas bangsa. Apakah kita akan mubazir terus dalam keterombang-ambingan.

Itu tadi yang sistem, nah kemudian sistem ini melahirkan kepemimpinan, nah kepemimpinan tentu tidak bisa pede jug