Wawancara

Wawancara dengan KH Achmad Siddiq (1): Memahami Garis-garis Besar Islam

Kamis, 1 Oktober 2020 | 15:00 WIB

Wawancara dengan KH Achmad Siddiq (1): Memahami Garis-garis Besar Islam

KH Achmad Siddiq (kiri) bersama dr. H. Fahmi Djakfar Saifuddin (kanan). (Foto: teronggosong.com)

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nandlatul Ulama di Situbondo tahun 1983 merupakan fase monumental bagi NU, disusul pada tahun berikutnya, yakni Muktamar Ke-27 NU yang memancangkan fondasi organisasi untuk kembali kepada semangat Khittah 1926. Sejumlah keputusan penting dari kedua forum tertinggi ini mencerminkan komitmen NU untuk meningkatkan khidmah pada masyarakat dan Negara.

 

Salah satu hasil Munas NU tahun 1983 yang menjadi tonggak perkembangan pemikiran dan gerak NU di kemudian hari adalah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Keputusan ini termasuk terbosan luar biasa ketika itu, bahkan kontroversial bagi ormas-ormas Islam lain yang mencurigai kebijakan asas tunggal oleh Orde Baru akan mengebiri Islam. Dengan deklarasi tersebut NU justru menunjukkan dua langkah strategis sekaligus: menjernihkan hubungan Pancasila dengan Islam dan menolak tafsir tunggal atas Pancasila oleh rezim Soeharto.

 

Memang banyak kiai yang terlibat dalam belantara wacana di forum Munas dan Muktamar Situbondo itu. Namun, KH Achmad Siddiq-lah yang diyakini paling banyak mempengaruhi hadirnya pemikiran-pemikiran segar dan perumusan keputusan-keputusan forum. KHR As’ad Syamsul Arifin, KH Ali Maksum, dan kiai-kiai lainnya memandang beliau sebagai jembatan aspirasi antara kalangan tua dan muda di lingkungan NU. Tak heran bila para muktamirin kala itu sepakat KH Achmad Siddiq menjadi Rais Aam PBNU.

 

Dalam kesempatan ini, Redaksi NU Online memuat ulang pokok-pokok pikiran KH Achmad Siddiq yang sempat direkam dan dicatat oleh dr H Fahmi D Saifuddin dan KH A Muchit Muzadi. Kedua tokoh ini mewawancara secara eksklusif KH Achmad Siddiq dalam beberapa kali kesempatan, sejak sebelum Munas NU 1983 hingga Jelang Rapat Pleno Gabungan PBNU tahun 1985.

 

Ada empat masalah utama yang diulas KH Achmad Siddiq ini, yakni (1) memahami garis-garis besar Islam, (2) Islam dan Indonesia, (3) hubungan Pancasila dengan Islam, dan (4) pengembangan ukhuwah Islamiyah dan integrasi nasional. Redaksi NU Online menayangkannya kembali secara berseri. Hasil wawancara ini pernah dibukukan oleh PBNU pada tahun 1985 dan diterbitkan ulang pada tahun 2017.

***


 

Kiai, bagaimanakah struktur bangunan Islam secara garis besar blsa dipahami?

 

Islam adalah nama atau sebutan bagi dinullah (agama Allah) yang berisi; ketentuan, aturan. pedoman, petunjuk, perintah, larangan dan sebagainya yang ditetapkan oleh Allah SWT, untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

 

Sebagai wahyu Allah, sebagai petunjuk tertinggi, dinullah dapat diterima oleh tokoh-tokoh pilihan-Nya yang diangkat menjadi utusan-Nya (Rasul Allah), melalui proses keghaiban. Untuk selanjutnya para rasul tersebut meneruskannya kepada umat manusia.

 

Rasul Allah yang terbesar dan terakhir adalah Nabi Muhammad SAW, yang diutus oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia sepanjang masa. Tidak ada Rasul lain bersamanya dan sesudahnya. Wahyu Allah yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW diteruskan kepada umatnya dalam dua macam perwujudan:

 

  1. Al-Qur'an, yakni wahyu yang isi dan susunan kalimatnya ditetapkan oleh Allah S'NT, bukan hasil pemikiran dan bukan hasil gubahan Rasulullah SAW sendiri.
  2. Al-Hadist, yakni wahyu yang isinya dari Allah SWT tetapi penjabarannya diatur sendiri oleh Rasulullah SAW, berupa: 
  • Ucapan (Hadist Qauli).
  • Tingkah laku perbuatan (Hadist Fi'li).
  • Sikap (Hadist Taqriri).

 

 Dinullah (Islam) mengandung tiga unsur utama, yaitu: iman, islam dan ihsan.

  • lman berarti kepercayaan yang benar tentang Allah SWT (semurni-murni tauhid) dan tentang beberapa hal yang kita yakini berdasar pemberitahuan yang pasti dari Allah SWT melalui Rasul-Nya. (Perhatikan Rukun lman yang mellputl 6 hal).
  • Islam berarti bukti penyerahan diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan berbagai kewajiban. (Perhatikan Rukun Islam yang meliputi 5 hal).
  • lhsan berarti sikap mental yang sebaik-baiknya dan seteguh-teguhnya dalam menghambakan diri kepada Allah SWT, selalu sadar bahwa diri ini senantiasa berada di bawah pengawasan Allah SWT.

 

Bisakah hal tersebut diperinci dan diurai secara lebih jelas?

 

Bisa saja. Pertama-tama kita harus memahami bahwa "strategi agung" yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam mengatur segala makhluk ciptaan-Nya telah dituangkan dalam dua ketetapan, yakni:

 

  • Sunnatullah, yaitu ketentuan Allah memperlakukan segala macam makhluk-Nya menurut sifat dan watak yang sudah ditetapkan-Nya bagi masing-masing makhluk itu sendiri maupun dalam hubungannya dengan yang lain).
  • Dinullah, yaitu ajaran, aturan, pedoman, dan tatanan yang dibebankan atas manusia untuk dilaksanakan dalam semua bidang kehidupan dan dalam mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi.

 

Pasti terdapat sinkronisme penuh antara sunnatullah dan dinullah, sehingga perjalanan dan perkembangan seluruh alam ini tidak terlepas dari garis "skenario" dan “pengendalian agung" oleh Allah SWT (qadla dan qadar), menuju sasaran yang sudah ditetapkan-Nya, yaitu "rahmatan lil aalamin". Oleh karena itu, dinullah berwatak universal.

 

Universalitas Isiam (ilâffatil khaiqi) tidak berarti bahwa Islam mengatur segala-galanya secara ketat, terperinci, dan seragam. Justru universalitas Islam itu tercermin dalam bervariasinya cara pengaturan berbagai hal, dalam berbagai situasi dan kondisi, yaitu:
 

  • Ada hal yang diatur secara terperinci dan seragam.
  • Ada hal yang diatur pokok-pokoknya saja, sedang perinciannya diberikan kelonggaran kepada manusia untuk mengaturnya sendiri (ingat hadist Nabi SAW: ”antum a'lamu bi umûri dunyâkum"), asal tidak menyimpang dari/bertentangan dengan garis-garis umum yang sudah ditetapkan oleh Islam. Dengan cara demikian, Islam dapat diterapkan di seluruh dunia.

 

Sinkronisme antara sunnatullah dan dinullah ini berkelanjutan dengan sifat/watak "fithri" pada Islam, yaitu bahwa Islam sejalan dengan nilai-nilai/kecenderungan-kecenderungan positif yang sudah ada pada manusia sejak aslinya. Tentu, positivitas ini menjadi mantap setelah dikokohkan oleh dinullah. Tugas utama yang diemban oleh Rasulullah SAW ialah menyempurnakan nilai-nilai positif tersebut (makarimal akhlaq).

 

Jadi, logislah kalau Islam mengakui adanya nilai-nilai positif yang mungkin sudah ada dan sudah tumbuh pada manusia atau sekelompok manusia, sebelum mereka menerima ajaran Islam. Terhadap nilai-nilai "lama" ini, Islam tidak bersikap apriori menolak, menentang, dan menghapuskannya sama sekali tetapi bersikap akomodatif, selektif dan proporsional:

 

  • Ada yang harus dikoreksi total.
  • Ada yang harus dikoreksi sebagian.
  • Ada yang harus diisi, ditambah.
  • Ada yang perlu dikokohkan dan disempurnakan.

 

Memang di antara nilai-nilai lama itu ada yang tergolong "mâ wajadnâ ‘alaihi âbâanâ" (negatif), namun ada pula yang tergolong "wa ammâ mâ yanfa'unnâsa fayamkutsu fil ardl" (positif).

 

Islam sebagai dinullah adalah sesuatu yang utuh dan menyeluruh dengan segala aspeknya (totalitas). Pada zaman Rasulullah SAW dan beberapa kurun sesudahnya, Islam disampaikan dan diterima secara utuh. Setelah kita mengikuti kecenderungan melakukan "diferensiasi ilmu-ilmu" maka ilmu-ilmu tentang Islam mengalami "diferensiasi”, mengikuti irama pengkhususan pandangan dan penajaman sorotan terhadap salah satu aspek tertentu, sehingga timbul pembagian ilmu-ilmu Islam menjadi ilmu tauhid (menyoroti aspek aqidah), ilmu fiqih (menyoroti aspek syariah), dan sebagainya.

 

Sampai sekarang masih berlaku sistematika klasik bahwa Islam mengandung aspek-aspek: aqidah, syariah (ubudiyah mahdliyah dan mu'amalah dalam arti luas, termasuk di dalamnya munakahah dan sebagainya), serta akhlak/tasawuf.

 

Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa kita dapat memandang dan memulai sesuatu hanya dari satu sudut pandangan, tanpa memperhatikan sudut pandang yang lain. Totalitas Islam juga berlaku dalam menilai segala sesuatu. Pemahaman terhadap Islam yang sepotong-sepotong dan pandangan yang sepotong-sepotong (tidak utuh) akan menghasilkan penilaian yang tidak utuh pula dan cenderung berkembang menjadi sikap eksklusif, tidak integratif.

 

Antara ketiga aspek tersebut (aqidah, syariah, akhlak) tidak dapat dipisahkan. Satu sama lain berjalin berkelindan secara kompleks. Aqidah adalah landasan segala-galanya dan bergandeng erat dengan akhlak. Di atasnya didirikan bangunan syariah, dan ibadah sebagai salah satu unsur syariah merupakan pupuk penyubur dan pengembang aqidah.

 

Watak utama Islam lainnya adalah tawasuth (sikap tengah), tidak berlebih-lebihan. Watak ini tercermin dalam berbagai aspek Islam dan penerapannya. Monoteisme (aqidah) adalah di tengah-tengah antara politeisme dan ateisme. Peribadatan Islam (syariah) berada di antara penyiksaan/pemaksaan diri dan kesantaian sesantai-santainya. Sedang kedermawanan (akhlak) terletak antara boros dan kikir.

 

Dalam beramar ma'ruf dan benahi munkar, watak tawasuth juga tetap menjadi pegangan pokok. Demikian pula dalam pergaulan antara manusia di tengah-tengah masyarakat majemuk.

 

Tawasuth Islam bukanlah hasil dari dialektikanya tesis dan antitesis yang kemudian menimbulkan sintesis. Tawasuth Islam sudah ditetapkan oleh Allah SWT sesuai dengan “strategi dan skenario agung."

 

Garapan pokok Islam adalah "da‘wah lla-llâh” (ud‘û ilâ sabîli rabbika/waman ahsana qaulan min man da‘â ila-Llâh) mengajak manusla untuk menempuh jalan Allah, jalan yang diridhai oleh Allah, jalan yang ditunjukkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya. Dengan membawa Islam dan untuk melaksanakan Islam itulah Allah SWT mengutus para Rasul-Nya.

 

Berbagai macam sarana dapat dipergunakan untuk da'wah ilallah ini, mulai dari harta benda, tenaga, ilmu, teknologi, wibawa, lembaga sosial, dan negara sebagai salah satu wujud persekutuan sosial plus kekuasaan di dalamnya, juga merupakan salah satu sarana untuk menciptakan tata kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT. Yang tidak boleh dilupakan ialah, bahwa perjuangan da'wah ilallah ini harus dilakukan dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah pula, menuju rahmatan lil alamin.

 

Bagaimana bisa dijelaskan kaitan antara pemahaman terhadap ajaran dan hukum Islam dengan masalah ijtihad?

 

Al-Qur’an, yang juga disebut dengan kalamullah/firman Allah atau kitabullah/kitab Allah, dan al-hadist yang juga disebut as-sunnah atau sunnah Rasulullah, merupakan sumber ajaran dan hukum Islam. Dalam hal dijumpai adanya kasus atau problem yang tidak ada keterangannya yang jelas di dalam Al-Qur’an dan al-hadits, maka dilakukanlah ijtihad oleh para ahlinya yang memenuhi persyaratan yang tidak ringan.

 

Ijtihad ialah pengerahan daya pikir dengan menggunakan metode yang dibenarkan dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Al-Qur’an dan al-hadits, untuk menemukan kesimpulan pendapat tentang sesuatu yang tidak jelas keterangannya dalam Al-Qur’an dan al-hadits.

 

Mereka yang benar-benar memenuhi syarat, dipersilakan melakukan ijtihad sendiri. Sedangkan mereka yang tidak memenuhi syarat mendapat kesempatan untuk mengikuti ijtihad tokoh yang dipercayai kemampuannya.

 

Dalam pada itu setiap Muslim didorong untuk selalu berusaha meningkatkan kemampuannya memahami ajaran Islam melalui jalur-jalurya sampai kepada sumbernya (Al-Quran dan al-hadits).

 

 

Editor: Mahbib Khoiron