Jakarta, NU Online
Kehidupan keagamaan yang semakin kompleks dan kerap memunculkan sikap intoleransi membuat Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Agama RI terus melakukan berbagai langkah agar kehidupan umat beragama berjalan harmonis di tengah perbedaan.
Untuk tujuan itu, Balitbang Kemenag mengadakan Simposium International Kehidupan Keagamaan (International Symposium on Religious Life) bertajuk "Managing Diversity, Fostering Harmony", Rabu-Kamis (5-7/10) di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta. Kegiatan ini menghadirkan Tokoh Agama dan intelektual dari berbagai mancanegara diantaranya, Amerika Serikat, Hongkong, Brunei, Singapura, Malaysia, dan negara lainnya.
Sebelum acara pembukaan, Balitbang terlebih dahulu menggelar Pra-Simposium di hotel tersebut, Selasa (4/10). Dalam kegiatan pra simposium ini, Balitbang menghadirkan mantan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, Guru Besar Boston University USA Robert W. Hefner, Kepala Balitbang Kemenag Abdurrahman Mas’ud, dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU yang juga Jurnalis senior GATRA Asrori S. Karni.
Diskusi pra simposium ini mengangkat tema “Definisi Agama di Indonesia: Rekognisi, Proteksi, dan Kepastian Hukum". Berbagai kekerasan yang kerap muncul mengatasnamakan agama membuat Balitbang kembali berupaya merumuskan definisi agama secara komprehensif dari berbagai aspek.
Menurut Abdurrahman Mas’ud, kekerasan agama juga kerap diakibatkan Islamofobia yang hingga kini terus menggelayuti sebagian umat beragama di dunia sebagai dampak radikalisme global. Rasa kekhawatiran atau ketakutan ini juga sebetulnya ada pada diri umat Islam terhadap kaum Barat sehingga seolah menimbulkan konflik yang tidak pernah ada ujung pangkalnya.
“Kita harus jujur bahwa westernphobia juga menginggapi umat Islam sehingga menjadi agenda penting untuk diselesaikan,” ujar Abdurrahman Mas’ud.
Diskusi ini kembali menegaskan bahwa regulasi perlindungan umat beragama mempunyai posisi yang sangat penting untuk mewujudkan harmoni. Sebab di Indonesia sendiri selain mempunyai agama-agama yang resmi diakui negara, juga memiliki berbagai macam masyarakat adat yang masih memegang teguh keyakinan nenek moyang. Di titik inilah penegasan definisi agama menjadi persoalan yang sangat penting.
Kegiatan Simposium internasional ini akan dibuka Rabu (5/10) di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Kegiatan ini juga menghadirkan berbagai pakar seperti Robert W. Hefner (Boston University, USA), Gamal Farouq Jibril (Al-Azhar University Cairo, Mesir), Azyumardi Azra (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Selain itu juga digelar diskusi yang akan diisi oleh Ahmad Najib Burhani (LIPI), Syafiq Hasyim (ICIP-PBNU), R. Alpha Amirrachman (CDCC-PP Muhammadiyah), Ahmad Suaedy (Abdurrahman Wahid Center UI), Muhammad Adlin Sila (CDRL-MORA), dan Alimatul Qibtiyah (PSW UIN Yogyakarta). (Fathoni)