Balitbang Kemenag

Bingkai Modal Sosial di Indonesia, Perekat Utama Kerukunan Umat Beragama

Rabu, 2 November 2016 | 07:30 WIB

Relasi antarumat beragama menunjukkan optimisme yang cukup tinggi. Pasalnya, modal sosial yang menopang kohesi masyarakat masih besar dan sangat bermanfaat bagi masa depan kerukunan di Indonesia.

Demikian kesimpulan yang bisa sarikan dari Hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI tahun 2015 atas relasi antarumat beragama mayoritas-minoritas sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan di Kementerian Agama dan kementerian terkait lainnya bagi pemeliharaan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

Beberapa komunitas yang menjadi sasaran penelitian meliputi relasi antara mayoritas Muslim-Enclave Kristen di Mojowarno, Jombang, Jawa Timur; relasi Muslim-Buddhis di Panggang Gunung Kidul DIY; relasi Muslim-Katolik di Muntilan, Jawa Tengah; relasi Kristen-Muslim di Siantar Sumatera Utara; relasi antara mayoritas Katolik dan minoritas Muslim di Ende NTT.

Di Panggang Gunung Kidul DIY, misalnya, penelitian dengan pendekatan kualitatif ini menilai hubungan Muslim-Budis relatif kuat. Kerukunan cenderung kokoh lantaran budaya guyup yang masih kental, landasan teologis hidup bersama dalam damai, dan terikat dalam ‘sabuk budaya’ Jawa. Hubungan kemasyarakatan mereka juga ditopang oleh kegiatan asosiasional seperti arisan, organisasi pertanian, dan olahraga. Bahkan di kalangan mereka juga berkembang budaya saling kunjung, upacara adat (kenduren), dan budaya sambatan.

Tren serupa juga ditemukan pada relasi Muslim-Katolik di Muntilan, Jawa Tengah. Ada kesepakatan bersama yang sudah berlaku turun-temurun meski tidak tertulis. Organisasi penunjang antara lain kepengurusan RT, koperasi, arisan, PKK, dan kelompok tani, dan lain-lain.

Adapun relasi Kristen-Muslim di Siantar Sumatera Utara ditunjukkan dengan adanya tradisi dalihan natolu yang masih bertahan hingga sekarang. Sedangkan di kalangan masyarakat beragama di Ende berkembang filosofi kebersamaan dan kearifan lokal tiga batu tungku yang mengharapkan adanya sinergi antara pemerintah, tokoh agama, dan tokoh adat.

Secara umum, budaya kerja sama dan gotong royong di kalangan mereka cukup kuat, di samping khazanah kearifan lokal yang bisa dipupuk dan dimanfaatkan untuk kepentingan keharmonisan masyarakat.

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag merekomendasikan modal sosial yang positif ini menjadi perhatian pemerintah sebagai bagian dari sarana pencegahan atau penyelesaian kehidupan beragama yang majemuk. (Mahbib)


Terkait