Mengungkap Penerapan Pendidikan Islam Moderat di Madrasah di Solo Raya
Senin, 8 November 2021 | 04:00 WIB
Ilustrasi: Madrasah berbasis pesantren yang memiliki paham keagamaan untuk semua golongan, pada umumnya menerima kebijakan pendidikan Islam moderat. (Foto: dok NU Online)
Penelitian berjudul Pengembangan Moderasi Beragama Berbasis Kurikulum ISRA oleh Toto Suharto pada tahun 2020 mengungkapkan madrasah berbasis pesantren, baik yang berafiliasi dengan paham keagamaan NU atau Muhammadiyah, atau madrasah berbasis pesantren yang memiliki paham keagamaan untuk semua golongan, pada umumnya menerima kebijakan pendidikan Islam moderat.
"Bagi madrasah-madrasah seperti ini, moderasi beragama merupakan wahana untuk menunjukkan keberadaan Islam yang khas Indonesia, sehingga melahirkan pendidikan Islam di Indonesia yang tentu saja sesuai dengan karakter dan budaya Indonesia," tulis peneliti dalam policy brief dari bagian penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI tersebut.
Peneliti juga menyebutkan madrasah berbasis pesantren yang berafiliasi dengan paham keagamaan Salafi justru mempertanyakan konsep Moderasi Beragama, karena pendidikan Islam yang sudah dilaksanakannya selama ini dipandang sebagai perwujudan dari Moderasi Beragama. Bagi madrasah tipe ini, kurikulum Kementerian Agama belum dipandang cukup untuk diajarkan.
Oleh karena itu, melalui kurikulum kepesantrenannya yang dominan, beberapa rujukan otoritatif dari ulama Salafi digunakan sebagai sumber belajar. Hasil penilaian ahli atas draf rancangan menunjukkan bahwa dari 11 item penilaian yang disajikan, terdapat sembilan item indikator dengan nilai skor 5 (Baik Sekali), yang apabila diprosentasekan mencapai 94,5 persen.
Sementara untuk dua item indikator lainnya diberi skor nilai 4 (Cukup Sekali), yang apabila diprosentasekan mencapai 5,5 persen. Dua item indikator yang diberi skor nilai 4 oleh ahli adalah item indikator Kesesuaian materi dengan teori moderasi.
Peneliti mengungkapkan lembaga pendidikan Islam di Indonesia, semisal madrasah, saat ini telah menjadi medan pertarungan ideologis yang mengarah ke konservatisme Islam. Kementerian Agama telah mengeluarkan kebijakan kurikulum baru yang disebut Kurikulum Islam Rahmatan lil ‘Alamin (ISRA) sejak 2016. Kurikulum tersebut diberlakukan bagi madrasah, PAI di sekolah dan pesantren.
Akan tetapi, menurut peneliti, kebijakan itu belum implementatif di lapangan, karena belum memiliki konsepsi yang jelas seperti apa Kurikulum ISRA itu. Untuk itu, perlu kajian pengembangan yang mengarah pada bagaimana model Kurikulum ISRA ini dibangun, sehingga dapat menjadi pedoman bagi pelaksanaannya di tingkat madrasah.
Penelitian ini dilakukan dilakukan di Solo Raya Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Sukoharjo, dengan kasus beberapa madrasah swasta. Madrasah-madrasah swasta ini dibuat kategorisasi berdasarkan ideologi pendidikan yang menjadi kecenderungannya, yaitu ideologi NU, ideologi Muhammadiyah, ideologi untuk semua golongan, dan ideologi Salafi-Wahabi.
Menurut penelitian, keempat ideologi pendidikan ini dijadikan dasar ketegorisasi, dengan pertimbangan karena ketiganya dipandang sebagai ideologi pendidikan yang umumnya dipegangi madrasah swasta, dan memiliki jumlah lembaga pendidikan Islam terbanyak di Indonesia. Dengan kategori ini, penelitian dilakukan terhadap empat madrasah swasta terbesar di Sukoharjo (baik tingkat MTs ataupun MA), yang sebagian besar peserta didiknya tinggal di pesantren.
Dalam banyak kajian, karakter Islam moderat diindikasi dengan berbagai karakter. Intinya, pemahaman Islam moderat sesungguhnya bersumber dari landasan teologis-normatif yang menyebut Islam sebagai rahmatan lil Alamin (QS. Al-Anbiya ayat 107), dengan beberapa karakter moderasinya.
Karakter-karakter moderat ini dapat menjadi landasan konseptual dalam merancang kurikulum moderasi agama berbasis ISRA. Berikut 12 karakter Islam moderat yang menjadi basis Kurikulum ISRA, yaitu mengamalkan ajaran Islam secara normal (tawassuth), tidak meremehkan dan juga tidak mempersulit; Memandang Islam sebagai agama yang toleran terhadap perbedaan pendapat; Melihat sikap rukun terhadap pendapat yang berbeda sebagai bagian ajaran Islam; Memahami bahwa Islam memiliki pandangan yang kooperatif terhadap perbedaan pendapat.
Berikutnya, Meyakini bahwa Islam adalah agama yang tidak menotolerir kekerasan; Memprioritaskan dialog dalam menyelesaikan pandangan yang berbeda; Meyakini Islam sebagai agama yang menghargai modernitas untuk kemaslahatan umat; Memandang demokrasi sebagai proses yang mengandung maslahat bagi umat;Meyakini Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi HAM; Berpikir rasional berdasarkan wahyu; Menafsirkan teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah secara kontekstual; dan Mementingkan ijtihad dalam menafsirkan apa yang tidak termaktub di dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori