“Pas jaman baheula jasa. Allah marentahan Malaikat Jibril supaya ngajemput Nabi Muhammad pang tepang sareng Allah. Jarak yang mereka lalui yaitu dari Masjidil Haram di Mekah. Sampai ke Masjidil Aqsa di Palestina. Lantas sampai ke Allah.” Pak Ujang bercerita. Itulah triknya agar pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ini lebih menarik. Aku memperhatikan takdzim.<>
“Jarakna sabaraha asta?” Salah seorang teman bertanya.
“Teubih jasa! Tapi, Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril hanya butuh waktu satu malam. Wush!! Lebih cepat dari kecepatan cahaya!” Pak Ujang menirukan gerakan pesawat lewat dengan tangan kanannya. Menambah ketakjuban kami.
“Naek apa, Pak? Kan jaman segitu belum ada pesawat terbang?”
“Pertanyaan yang cerdas! Mereka naik Buraq. Semacam binatang yang seperti kuda, tapi bukan kuda. Badannya panjang. Cepat sekali larinya...” Tiba-tiba Arif muncul dari pintu kelas sambil terengah-engah. Seragam putih merahnya berantakan. Sepertinya ia berlari dari rumahnya. “... secepat larinya si Arip!” Sontak seisi kelas tertawa lepas.
“Tos timana anjeun arip?”
“Punteun, Pak. Hosh...hosh... Rumah abdi jauh. Saya berangkat jam tujuh kurang dari rumah, Pak. Saya sudah berusaha lari. Tapi tetep telat. Maap, Pak!” Arif bercerita dengan nafas tersengal.
“Kalau tak mau telat, berlarilah seperti Buraq!” Seisi kelas kembali tertawa. Arif dipersilahkan duduk. Ia duduk di sampingku. Wajahnya mengguratkan raut wajah jengkel. Namun, selayaknya anak SD pada umumnya. Jengkel itu pudar selaras dengan berjalannya waktu. Dan benar-benar hilang saat bel istirahat berbunyi.
“Berlari seperti Buraq!”
***
Padang rumput hijau nan indah terpapar di hadapanku. Pemandangan yang sangat indah. Aku tak tahu tempat apa ini. Dan akupun tak tahu bagaimana aku bisa berada di tempat ini. Seingatku, aku masih di kelas bersama Arif. Entahlah. Kawanan binatang sejenis kuda –namun bukan kuda, berwarna putih dan berkaki empat berkumpul tak jauh dari tempatku berdiri. Entah binatang apa itu. Ada tulisan arab yang tak asing tertulis di kening mereka. Sepayang sayap mengepak tertempel di paha mereka. Unicorn? Pegasus? Entahlah. Mereka tak terlihat seperti binatang mitos itu.
Seekor binatang memisahkan diri dari kawanannya. Ia seperti menangis tersedu. Tak lama kemudian, seseorang berjubah putih menghampirinya. Wajahnya tak terlihat jelas. Terbias cahaya dibelakangnya.
“Mengapa kau menangis wahai Buraq?” dengan halus orang itu bertanya. Seakan bertanya pada anak-anak yang menangis di pinggir jalan kelaparan. “Uh! Buraq?” Batinku. Apa aku tak salah dengar? Inikah Buraq yang diceritakan Pak Ujang?
“Aku sering sekali mendengar nama Muhammad bin Abdullah. Namun, tak sedetikpun aku melihat wajahnya. Rindu ini tak terperi padanya wahai Jibril.” Buraq itu menjawab. “Uh! Jibril?” Batinku. Dunia apa ini? Di mana sebenarnya aku?
“Baiklah. Aku akan mempertemukanmu dengan Muhammad. Aku mendapat tugas bersama Mikail untuk menjemputnya. Kau akan mengantarnya dari Haram ke Aqsa. Kau bisa menjadi tunggangan yang cepat untuknya.” Mimik wajah Buraq berubah sumringah. Merasa cukup. orang berjubah (Jibril) pergi meninggalkan Buraq.
Namun, sesaat setelah Jibril pergi, Buraq kembali termenung. Ia teringat kata-kata “cepat” yang diucapkan Jibril. Aku mencoba melangkah mendekatinya. Namun, langkahku terhenti karena ada seorang lagi yang menghampiri Buraq tersebut. Aku mengernyitkan dahi saat tahu siapa orang itu. Arif?
“Apa yang salah denganmu Buraq?” Tanya Arif.
“Aku akan mengantar Muhammad. Namun, Jibril memintaku untuk menjadi tunggangan yang cepat untuknya. Namun, lariku tak secepat Buraq lainnya.” Arif tersenyum mendengar jawaban Buraq.
“Baiklah Buraq. Berlarilah bersamaku. Akan kuajari kau berlari sebanding, bahkan lebih cepat dari mereka. Aku biasa melakukannya dari rumah ke sekolah.” Arif mengambil ancang-ancang.
Awalnya, mereka hanya berlari-lari kecil. Namun, setelah beberapa saat kecepatan mereka bertambah. Sehingga aku tak dapat melihat gerakan mereka .
Wush!!
Suasana kembali gelap.
***
Perlahan, cahaya kembali muncul dan menghiasi penglihatanku. Nampaknya, aku kenal tempat ini. UKS. Bau obat segera memenuhi hidungku.
“Kumaha, Ji?” Arif dengan tenang menanyaiku dari samping tempat tidur.
“Sakit sekali kepala ini!” Aku memegangi kepalaku.
“Anjeun pingsan di kelas tadi. Pak Ujang memintaku untuk membawamu ke UKS.”
Sesaat, aku teringat sesuatu. “Aduh!”
“Aya naon Pauji?” Arif panik mendengarku mengaduh.
“Surat titipan si ambu kanggo bu guru katinggaleun di bumi. Padahal tadi ntos di duhureun meja.” Aku mengutuk diriku sendiri. Arif hanya tersenyum melihatku mengaduh.
“Tunggu sebentar!” Arif mengambil ancang-ancang. Dan Wush!! Larinya tak terlihat. Belum habis rasa takjubku, Arif sudah kembali membawa surat yang kumaksud.
“Nih suratnya!” Arif menyodorkan surat itu, “Ulah ditinggalkeun deui nya!”
Aku tercengang. Buraq? Lebih baik aku kembali pingsan. Buk!
Krapyak, 13 Mei 2015
----
Muhammad Alvin Fauzi, Siswa MA Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, aktif di Program Unggulan Menulis di MA Ali Maksum