Boyolali, NU Online
Usai shalat Jum’at (19/12), jalanan di sekitar kompleks Pengging Boyolali terlihat ramai. Dari berbagai penjuru, warga mulai berdatangan mendekati arah panggung, yang akan dijadikan tempat dilangsungkannya tradisi sebar apem. Sementara itu, dua gunungan apem setinggi 1,5 meter sudah disiapkan di Kantor Kecamatan Banyudono Boyolali.
<>
Jelang pukul 14.00 WIB, acara pun dimulai. Setelah berbagai sambutan dari pemerintah, dua gunungan apem didoakan oleh ulama setempat untuk kemudian dikirab menuju ke lokasi sebar apem.
Acara kirab, diiringi oleh rombongan berpakaian khas Keraton Surakarta dan beberapa warga yang juga ikut dengan menampilkan potensi budaya lokal. Dua gunungan kemudian berpisah, satu dibawa di depan Pasar Pengging, lainnya diarak menuju arah Masjid Ciptomulyo.
Begitu apem dibawa ke atas panggung, ribuan pengunjung yang sudah menanti, langsung pasang badan untuk bersiap mendapatkan apem.
Apem mulai dilempar. Sembari mendongak ke atas, warga berebut apem yang dilempar ke arahnya. Suasana menjadi sangat riuh. Namun, kemeriahan itu tak berlangsung lama, sebab rintik hujan mulai turun. Tanpa dikomando, mereka langsung mencari tempat berteduh.
Pengusir Hama
Tradisi sebar apem di kawasan Pengging ini berawal di zaman pujangga kraton Yosodipuro I, kala itu masyarakat mengeluhkan serangan hama keong mas dan tikus yang mengakibatkan gagal panen.
Oleh Yosodipuro, petani diminta untuk memasak hama keong mas dengan cara dikukus dan dibungkus dengan janur. Sejak saat itu, hama keong mas menghilang dan petani kembali bisa menikmati panen.
“Apem keong mas ini, dulu digunakan untuk mengusir hama,” terang salah satu sesepuh, Sunarto P. Atmojo.
Menurutnya, tradisi ini juga erat kaitannya dengan tradisi sebar apem di daerah Jatinom Klaten. Sunarto juga berpesan, mesti dipercaya mengandung berkah, agar tetap percaya dengan kekuatan Tuhan, bukan apem.
“Meski demikian, kita mesti tetap percaya pada Allah yang memberi kehidupan, bukan kepada apem,” tuturnya. (Ajie Najmuddin/Mahbib)