Daerah

Islam Moderat, Corak Keagamaan Paling Tepat untuk Indonesia

Rabu, 23 Mei 2018 | 04:30 WIB

Pringsewu, NU Online
Indonesia merupakan contoh model relasi negara dan agama yang berhubungan dengan selaras. Agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, namun keduanya dipahami saling menempatkan diri di mana agama dan negara dipahami sebagai saling membutuhkan secara timbal balik.

Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama, sebaliknya negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu dalam pembinaan moral, etika dan spiritualitas.

Inilah penegasan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung KH Khairuddin Tahmid saat menyampaikan materi pada seminar dalam rangka pelantikan pengurus MUI Kabupaten Pringsewu di aula Kantor Bupati Pringsewu, Selasa (22/5).

"Agama dalam konteks negara mesti diletakkan sebagai sumber nilai, dan secara fungsional agama mengambil peran tawassuth (tengah), dalam arti menentukan visi kenegaraannya dengan pendekatan membangun masyarakat Islam (Islam society) dari pada membangun negara Islam (Islam state)," paparnya.

Ia menilai paradigma Islam wasathiyah (moderat) mesti menjadi corak faham keagamaan mainstream umat Islam di Indonesia. Hal ini dipandang penting seiring dengan semakin kuatnya indikasi bergesernya gerakan pemahaman keislaman di negeri ini ke kutub kiri ataupun kutub kanan. 

"Pergeseran ke kutub kiri memunculkan gerakan Iiberalisme, pluralisme dan sekularisme dalam beragama. Sedangkan pergeseran ke kutub kanan menumbuhkan radikalisme dan fanatisme sempit dalam beragama," jelasnya.

Islam wasathiyah paparnya, identik dengan kaum Muslimin yang disebut sebagai ummatan washatan dalam Al-Qur'an surat Al Baqarah:143. Umat sepertl inilah yang dapat dan mampu menjadi saksi kebenaran bagi manusia lain. 

Manifestasi Islam wasatihyah di Indonesia lanjutnya terwujud dengan Islam Nusantara yang identik dengan Nahdlatul Ulama dan Islam berkemajuannya Muhammadiyah. Islam wasathiyah memiliki prinsip, namun tetap menghargai perbedaan. Tidak debat kusir dan adu otot dengan dasar yang belum jelas kebenarannya serta tidak menganggap prinsipnyalah yang paling benar.

"Ummatan wasathan adalah umat yang selaIu menjaga keseimbangan, tidak terjerumus ke ekstremisme kiri atau kanan, yang dapat mendorong kepada radikalisme dan tindakan kekerasan," ujarnya Wakil Rais Syuriyah PWNU Lampung ini.

Radikalisme menurut Dosen UIN Raden Intan Lampung ini terbagi menjadi 3 bentuk yaitu radikal pemikiran, radikal sikap dan radikal tindakan. Radikalisme pemikiran dapat terdeteksi dari pola pikir seperti anti Pancasila sebagai ideologi bangsa. Radikalisme sikap terlihat seperti tidak mau hormat kepada bendera merah putih dan radikalisme tindakan terlihat dalam bentuk aksi perlawanan seperti aksi teror dan anarkis.

"Antisipasi harus dilakukan sejak dini. Kalau sudah ada benih-benih radikalisme pemikiran harus segera disikapi dan ditanggulangi. Salah satunya dengan cara deradikalisasi," pungkasnya. (Muhammad Faizin/Abdullah Alawi)


Terkait