Kiai Sujadi Pringsewu Beberkan Makna Historis dan Filosofis Pohon Sawo dalam Perjuangan Melawan Penjajah
Ahad, 13 Agustus 2023 | 17:00 WIB
Mustasyar PCNU Pringsewu, Lampung KH Sujadi saat menyampaikan mauidzah hasanah pada Pengajian Terpadu Muslimat NU Kecamatan Ambarawa dan Pardasuka di Halaman Masjid Miftahul Huda Pengaleman, Kresnomulyo, Ahad (13/8/2023) (Foto: NU Online/M Faizin)
Pringsewu, NU Online
Pernahkah Anda memperhatikan pohon sawo ditanam dan tumbuh sampai saat ini di halaman masjid, pesantren, majelis taklim, dan juga rumah penduduk di pulau Jawa dan juga berbagai penjuru Indonesia? Keberadaan pohon dengan buah berwarna coklat yang manis ini bukan hanya tertanam begitu saja, namun memiliki makna historis dan filosofis yang dalam.
Makna ini diungkapkan Mustasyar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pringsewu, Lampung KH Sujadi saat menyampaikan mauidzah hasanah pada Pengajian Terpadu Muslimat NU Kecamatan Ambarawa dan Pardasuka di Halaman Masjid Miftahul Huda Pengaleman, Kresnomulyo, Ahad (13/8/2023).
Pada acara yang digelar dalam rangka menyongsong Hari Ulang Tahun Ke-78 Republik Indonesia ini, Pengasuh Pesantren Nurul Ummah Pagelaran ini menjelaskan bahwa pohon sawo merupakan pesan bersejarah Pangeran Diponegoro dalam mengusir penjajah dari Tanah Air.
Saat Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda di Magelang pada 28 Maret 1830 dan dibawa ke Ungaran, Batavia (Jakarta) hingga Manado dan Makassar, ia menitipkan pesan kepada sahabatnya. Ia membisikkan pesan terakhir agar para pejuang segera menanam pohon sawo.
Pohon sawo di depan pesantren dan masjid ini sebagai sandi bagi laskar Diponegoro agar terus melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda. Tempat-tempat yang di depannya ditanam pohon sawo merupakan titik-titik lokasi perjuangan bagi para pejuang.
"Sawo dalam bahasa Arab berbunyi sawwu. Sering kita dengar imam saat mengawali shalat mengucapkan kalimat suwwuu sufuufakum yang artinya 'rapatkan barisan!" katanya pada acara yang dihadiri ribuan jamaah ini.
Dalam waktu singkat pohon sawo telah ditanam di pesantren-pesantren dan masjid mulai dari Banten, Magelang hingga Banyuwangi. Bahkan di Bali dan Lampung terdapat pusat perlawanan yang sama.
Dengan adanya sandi maka para pejuang lebih mudah untuk melakukan perlawanan karena bisa berlindung di setiap pesantren yang terdapat pohon sawo.
"Sejarah ini mengajarkan kepada kita untuk tetap merapatkan barisan dalam berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika dulu perjuangan dilakukan dengan fisik, saat ini kita berjuang dengan ilmu," ungkap Abah Sujadi, sapaan karibnya.
Abah Sujadi pun mengingatkan bahwa sampai saat ini masih ada saja pihak-pihak yang ingin mengubah ideologi bangsa dengan ideologi yang eksklusif dan tidak menyatukan dan berlawanan dengan keragaman di Indonesia. Indonesia, tegasnya bukanlah Darul Islam (negara Islam), namun Darussalam (negara penuh keselamatan).
"Walau bukan negara berlandaskan agama, namun Indonesia sangat menghargai agama dengan memfasilitasi dan melindungi pemeluk agama dalam menjalankan ibadah dan keyakinannya," ungkapnya.
Selain itu, Pancasila sebagai ideologi bangsa juga memiliki kandungan nilai-nilai agama yang bersifat universal seperti ketuhanan, kemanusiaan, kebersamaan, dan keadilan.
"Dan Muslimat NU memiliki peran strategis dalam melanjutkan eksistensi negara ini dengan mencetak para kader yang cinta pada agamanya sekaligus cinta pada bangsanya," katanya pada acara bertema Muslimat NU Melaju, Menuju Indonesia Maju.