Masyarakat Adat Jalawastu Brebes, Disebut Sunda Wiwitan dan Baduy-nya Jawa Tengah
Jumat, 15 November 2024 | 17:00 WIB
Masyarakat adat Jalawastu, Brebes, Jawa Tengah sedang melaksanakan tradisi Ngasa. (Foto: jatengprov.go.id)
Mendengar daerah Brebes, Jawa Tengah, yang terlintas di benak masyarakat ialah telor asin, bawang merah, dan bahasa ngapak. Namun di balik itu, Brebes menyimpan etnisitas yang beragam. Keberagaman tersebut di antaranya dari sisi bahasa, karena di Brebes ada tiga kecamatan (Bantarkawung, Salem, dan Banjarharjo) dan sejumlah perbatasan wilayah yang masyarakatnya menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Termasuk di Dukuh Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Ketanggungan, Brebes. Kecamatan Ketanggungan sendiri didominasi bahasa Jawa. Namun, ada beberapa desa di wilayah perbatasan yang masyarakatnya berbahasa Sunda, di antara Desa Ciseureuh dan Ciheuleut.
Dukuh atau Kampung Jalawastu bahkan menyimpan banyak nilai dan tradisi leluhur yang hingga sekarang masih kuat dipertahankan oleh masyarakatnya. Di antara yang masih dipertahankan ialah Tradisi Ngasa sebagai wujud syukur kepada Yang Maha Kuasa atas segala hasil bumi. Kampung berpenduduk sekitar 300 jiwa ini juga menyimpan bukti sejarah, di antaranya berupa sejumlah artefak megalitikum.
Budayawan dan Sejarawan Brebes, Wijanarto mengungkapkan, Jalawastu yang saat sudah dinobatkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada Oktober 2024 berawal dari nama sebuah upacara atau ritual bernama Calawastu. Nama tersebut, kata Wijanarto, terdapat dalam manuskrip kuno yang ditulis oleh jurnal ‘Prisma’-nya kolonial yang dierbitkan lembaga penelitiannya pemerintah kolonial.
Sebelum menjadi nama sebuah Dukuh di Desa Ciseureuh, upacara Calawastu dilakukan oleh masyarakat Salem, sebuah distrik di kaki Gunung Sagara (kini Kecamatan Salem). Kemudian upacara tersebut juga diikuti oleh masyarakat di kaki Gunung Kumbang, yaitu kampung yang saat ini bernama Jalawastu.
“Termasuk doa-doanya yang seperti ada di dalam manuskrip sampai sekarang dibacakan ketika diadakan tradisi Ngasa, doanya dalam Bahasa Sunda,” ujar Wijanarto saat diwawancarai NU Online, Kamis (14/11/2024) lewat saluran telepon.
Pria yang juga dikenal sebagai Sejarawan Pantura ini tidak memungkiri bahwa eksistensi Jalawastu terletak pada Tradisi Ngasa yang ia sebut sebagai Sedekah Gunung. Meskipun menurutnya, tradisi-tradisi lain juga masih lestari di Jalawastu, di antara upacara Tundan, yaitu tradisi doa bersama untuk menghadapi musim tanam. Upacara tersebut ditujukan kepada Dewi Pohaci, semacam Dewi Sri kalau dalam keyakinan masyarakat Jawa agar diberikan kelancaran dan panen yang melimpah.
Dalam teks manuskrip yang dijelaskan Wijanarto, orang-orang di Jalawastu menyebut dirinya sebagai masyarakat Baduy. Sehingga sejumlah peneliti juga menyebutkan masyarakat Jalawastu sebagai “Baduy-nya Jawa Tengah”. Selain karena masyarakat Kampung Adat ini memiliki tradisi dan kearifan lokal unik dibanding masyarakat di sekitarnya, tentu saja karena Jalawastu merupakan kampung berbahasa Sunda. Bahkan ada yang menyebut bahwa Jalawastu sebagai kampung masyarakat Sunda Wiwitan di Jawa Tengah. Mereka sangat kuat dalam menjaga hutan adat tempat mereka tinggal.
Tradisi Ngasa Masyarakat Jalawastu
Winajarto menjelaskan bahwa masuknya agama Islam di masyarakat Jalawastu tidak menghilangkan tradisi-tradisi leluhur yang selama ini eksis. Menurutnya, akulturasi terjadi pada doa-doa yang dilantunkan saat upacara Ngasa. Upacara Ngasa diadakan setiap tahun pada Selasa Kliwon Mangsa Kasanga. Kalau dalam penanggalan Masehi diadakan sekitar bulan Maret atau April. Mangsa Anggoro Kasih ini ditetapkan menurut perhitungan para Karuhun atau Kokolot (tetua, sesepuh) di Jalawastu.
Upacara Ngasa ini sudah diadakan sejak pemerintahan Bupati Brebes IX Raden Arya Candranegara (1880-1885). Upacara Ngasa sebagai wujud syukur kepada Batara Windu Sakti Buana yang dianggap sebagai pencipta alam. Batara Sakti Windu Buana memiliki ajudan bernama Burian Panutus yang konon tidak makan nasi dan lauk pauk yang bernyawa. Sehingga pada upacara adat Ngasa hanya disediakan nasi jagung dengan umbi-umbian dan dedaunan yang direbus.
“Setelah Islam masuk, doa-doa dalam Islam ditambahkan dengan tidak ketinggalan menyebut Hyang Panutus sebagai pembawa ajaran Batara Windu Sakti Buana ketika upacara Tradisi Ngasa,” jelas Wijanarto.
Tradisi Ngasa digambarkan Wijanarto sebagai hari rayanya masyarakat Jalawastu. Puncak keramaiannya ialah ketika malam hari seperti hari raya Idul Fitri. Memang, selain tradisi Ngasa, Idul Fitri merupakan momen yang ramai diperingati juga di masyarakat Jalawastu. Pada malam hari saat tradisi Ngasa, rumah-rumah di Kampung Jalawastu terbuka lebar bagi siapa saja yang mampir.
“Lebarannya orang Jalawastu selain Idul Fitri, yaitu Tradisi Ngasa. Ramainya sampai malam. Bahkan ketika ada orang yang lewat depan rumah, kenal atau tidak kenal dipersilakan masuk untuk menikmati jamuan makan dan minum,” ujar Wijanarto.
Dia juga menyebut bahwa tradisi Ngasa sebagai bentuk solidaritas sosial yang kemudian menjadi rujuk sosial di masyarakat Jalawastu. Ketika tradisi Ngasa tiba, masyarakat Jalawastu yang bekerja di kota-kota besar akan pulang berapapun besar biaya yang harus mereka keluarkan.
Agama Masyarakat Adat Jalawastu
Sementara itu, tokoh adat masyarakat Jalawastu, Ki Dastam, menegaskan bahwa masyarakat di Jalawastu merupakan orang-orang pada umumnya di muka bumi yang berusaha taat terhadap Sang Pencipta Alam. Setelah Islam masuk, menurutnya, masyarakat Jalawastu juga menyesuaikan diri. Apalagi zaman sudah modern sehingga masyarakat Jalawastu juga terbuka untuk belajar ilmu-ilmu umum di sekolah-sekolah.
Ki Dastam mengatakan, doa-doa yang dilantunkan dalam setiap upacara adat, terutama Tradisi Ngasa, merupakan doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah berharap kemakmuran untuk masyarakat banyak. “Tidak hanya masyarakat Jalawastu, tetapi juga kemakmuran seluruh masyarakat di Indonesia,” kata Dastam dihubungi via telepon pada Kamis (14/11/2024).
Ki Dastam yang merupakan salah satu tokoh babad alas di Jalawastu menegaskan bahwa keyakinan yang saat ini dianut oleh masyarakatnya ialah syariat Islam. Selain belajar ilmu umum di sekolah, anak-anak Jalawastu juga ngaji sore hari di madrasah diniyah. Selain itu, jamaah majelis ibu-ibu di Jalawastu juga sering mengadakan Yasinan di hari Senin dan Jumat.
Gandasari dan Gandawangi di Masyarakat Jalawastu
Gandasari dan Gandawangi merupakan dua tokoh Jalawastu menurut cerita para leluhur sebagai pemacu, pemicu, dan pembeda. Menurut Ki Dastam, dua tokoh ini merupakan simbol Jalawastu saat ini untuk mempertahankan identitas dan nilai-nilai luhur yang dianut masyarakat.
Jadi ketika Wali Songo menyiarkan Islam di Pulau Jawa, syiar tersebut juga sampai di Jalawastu. Di sini ada dua golongan yang menerima dan menolak Islam. Kelompok yang menerima Islam dipimpin oleh Gandawangi, sedangkan yang menolak dipimpin oleh Gandasari. Sampai-sampai, dari perbedaan tersebut hampir saja memunculkan perang terbuka di Jalawastu yang mulanya hanya saling sindir.
Namun, potensi keributan antara kelompok Gandawangi dan Gandasari ini bisa ditekan karena Gandasari memilih bertapa atau melakukan ritual untuk meminta petunjuk boleh atau tidak menerima agama Islam. Hasil dari proses ritual tersebut, akhirnya kelompok Gandasari berikrar menerima Islam.
“Tetapi ada beberapa orang dari kelompok Gandasari yang belum bisa menerima Islam sehingga mereka ini disuruh pindah ke wilayah kulon (barat) yang saat ini dikenal sebagai Baduy di Banten,” kata Ki Dastam.
Meskipun sudah menjalankan Syariat Islam, Ki Dastam tidak memungkiri bahwa masyarakat di Jalawastu masih melekat ajaran-ajaran Sunda Wiwitan. Secara umum, menurut dia, ajaran Sudan Wiwitan tidak terlepas dari Animisme dan Dinamisme. Di antaranya ialah masih percaya benda-benda dan tempat-tempat yang memiliki karomah dan kekuatan ghaib.
“Ada juga yang masih melaksanakan mantra-mantra, jampi-jampi, dan syariat atau tirakat menurut keyakinan masing-masing,” terang Ki Dastam.
Pantangan Masyarakat Adat Jalawastu
Masyarakat di Jalawastu juga memiliki sejumlah pantangan (pamali) yang perlu dihindari seperti membangun rumah dengan semen, keramik, genteng, atau tanah liat yang dibakar. Masyarakat Jalawastu juga memiliki pantangan tidak boleh menggelar pementasan wayang, memelihara angsa, domba, atau kerbau, serta menanam bawang merah dan kacang tanah.
Menurut Ki Dastam, pantangan-pantangan tersebut tidak ada kaitannya dengan syariat Islam yang mereka jalani selama ini. Melainkan hanya sebatas kepatuhan terhadap leluhur. Hukuman ketika melanggar pantangan tersebut juga tidak ada, hanya sekadar mendapat sorotan tajam dari masyarakat lainnya.
“Jadi daripada ribet menghadapi omongan masyarakat, lebih baik tidak melakukan. Atau ketika ingin membangun rumah dengan semen dan genteng, mereka harus pindah ke kampung sebelah yaitu Garogol, bukan di Jalawastu,” kata Ki Dastam.
Sejumlah pantangan seperti pagelaran wayang tidak boleh dilakukan di Jalawasatu, menurut dia, lebih kepada karena biasanya pagelaran ini menceritakan keburukan orang dalam wujud peran di wayang sehingga hal itu tidak dibolehkan dalam masyarakat Jalawastu. Namun, hiburan di Jalawastu, kata Ki Dastam, tetap diperbolehkan, seperti tradisi perang centong, reog khas Jalawastu, kliningan, dogdog, dan lainnya yang tak mengandung pantangan.
Seni dan budaya tetap menjadi hiburan bagi masyarakat Jalawastu asalkan tidak menggunakan alat musik gong. Karena menurut Ki Dastam, suara gong yang getarannya keras bisa membuat tanah dataran tinggi di Jalawastu bisa longsor.
Ki Dastam dan para Kokolot di Jalawastu saat ini terus berupaya menjaga kelestarian kampung adat yang terdiri dari 110 kartu keluarga dan 106 rumah adat ini dengan tetap mematuhi nilai-nilai leluhur. Di antaranya tidak melanggar pantangan-pantangan yang sudah digariskan leluhur.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI