Kerukunan Masyarakat Adat Samin, dari Melawan Penjajah hingga Lestarikan Seni dan Budaya
Senin, 11 November 2024 | 07:00 WIB
Husnul Khotimah
Kontributor
Kampung Samin terletak di Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Letak kampung tersebut berjarak 70 km dari pusat Kota Bojonegoro dan hanya berjarak sekitar 1,4 km dari tugu perbatasan Bojonegoro dan Ngawi.
Dari Desa Margomulyo, tepatnya jalan raya Bojonegoro-Ngawi, ada dua jalur yang dapat ditempuh untuk menuju lokasi Kampung Samin, yang notabenenya berada di tengah hutan. Jalur pertama kurang lebih sepanjang 2 km, sedangkan jalur kedua harus ditempuh dengan jarak lebih dari 4 km.
Suasana rukun dan guyub sangat tampak di kampung tersebut, meski masyarakatnya memiliki latar belakang yang berbeda, yakni antara masyarakat muslim dan masyarakat Samin. Samin merupakan sekelompok masyarakat yang memegang teguh ajaran Samin Sedulur Sikep atau Saminisme.
Namun, meski begitu, seluruh masyarakat di sana saling kompak mengikuti acara adat di dusun, seperti Nyadran, Ruwahan hingga Syukuran.
"Nek wonten acara nyadranan, ruwahan nggeh sami ngumpul teng mriki. Syukuran nggeh ngempal teng mriki, teng griyane kepolo dusun (Kalau ada acara Nyadran, Ruwahan juga kumpul di sini. Syukuran juga kumpul di sini, di rumah Kepala Dusun)," ujar Sukijan, Kepala Dusun Jepang saat ditemui NU Online pada Ahad (3/11/2024).
Hal ini tentu menepis persepsi bahwa masyarakat Samin masih mengisolasi diri dan sulit berbaur dengan masyarakat non-Samin.
"Niku namung isu, nyatane kulo ngopeni 35 tahun nggeh biasa, kados masyarakat lintune (Itu hanya isu, nyatanya saya 35 tahun mengatur mereka ya biasa, seperti masyarakat umumnya)," terang Sukijan.
Masyarakat yang tinggal di pelosok Bojonegoro tersebut juga sangat kental akan gotong royong. Seperti halnya gotong royong memindahkan rumah, membuat rumah, saling membantu saat tasyakuran pernikahan adat, hingga mewakafkan tanah untuk masjid. Hal inilah yang merekatkan hubungan masyarakat Samin dengan masyarakat muslim di dusun Jepang.
Di kampung Samin juga terdapat pendopo yang digunakan sebagai tempat melestarikan budaya dan seni, seperti halnya pelatihan gamelan dan tari, juga pagelaran wayang. Semua elemen masyarakat di sana pun dapat mengikutinya. Saat ada festival Samin, masyarakat muslim pun turut memeriahkannya, misalnya dengan mengikuti kompetisi Duta Wisata Samino-Samini (sejenis kompetisi Putera-Puteri Daerah), mengikuti pagelaran seni dan sebagainya.
Masyarakat Samin melawan penjajah
Nama Samin berasal dari nama tokoh masyarakat suku Jawa, yakni Samin Surosentiko yang memiliki nama asli Raden Kohar. Ia lahir di Desa Ploso Kadiren, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Surowijaya yang lebih dikenal dengan sebutan Samin Sepuh.
Samin awalnya merupakan gerakan perlawanan Surosentiko untuk melawan penjajah Belanda. Namun berbeda dengan para pejuang lainnya, Surosentiko melawan dengan tidak menggunakan kekerasan.
"Nah, perlawanan Mbah Surosentiko ini perlawanan tanpa kekerasan dan tetap memegang kejujuran meski dengan musuh," kata Bambang Sutrisno, yang merupakan kepala masyarakat adat Samin ditemui pada Ahad (3/11/2024).
Hal tersebut oleh mereka diistilahkan dengan Sedulur Sikep, yang bermakna sikap melawan penjajah dengan tanpa kekerasan dan memegang kejujuran. Sedulur Sikep adalah turunan dan pengikut ajaran Samin Surosentiko yang memiliki keyakinan betapa pentingnya menjaga tingkah laku yang baik, berbuat jujur, dan tidak menyakiti orang lain. Sedangkan kata Samin berasal dari kata sami-sami.
Salah satu bentuk perlawanannya saat itu adalah Mbah Surosentiko melarang pengikutnya membayar pajak kepada pihak Belanda. Selain itu, Mbah Surosentiko juga mengajarkan agar menolak seluruh perintah penjajah Belanda, namun dengan cara berbeda.
"Misal disuruh membersihkan rumah, isi rumah dikeluarkan semua tanpa menolak. Jadi tetap menjalankan, tetapi merugikan pihak Belanda," ujar Tris, sapaan Bambang Sutrisno.
Akhirnya, masyarakat Samin pun dianggap gila dan tidak dipekerjakan lagi oleh penjajah Belanda. Hal tersebut memang strategi Surosentiko untuk melawan penjajah dan menyelamatkan para pengikutnya.
Kala itu, Surosentiko juga melarang pengikutnya bersekolah. Sebab, sekolah saat itu dikuasai penjajah. Surosentiko takut jika pengikutnya terkena doktrin penjajah lantas melawan negaranya sendiri.
Banyak orang yang tertarik dengan hal tersebut, dalam waktu yang singkat pengikut Surosentiko semakin banyak. Hal itu membuat pihak Belanda gelisah. Belanda juga sangat jengkel dengan Samin Surosentiko dan pengikutnya, berbagai upaya dilakukan untuk menghancurkan Samin Surosentiko dan para pengikutnya.
Tris lantas menuturkan bahwa pada tahun 1907, Samin Surosentiko dan beberapa pengikutnya ditangkap lalu dibuang ke luar Jawa (ke kota Padang, Sumatra Barat) dan Surosentiko pun meninggal pada tahun 1914. Setelah itu, ajaran Samin di tanah Jawa dilestarikan oleh keturunan dan pengikutnya. Tris sendiri merupakan generasi ke-6.
"Ajaran Samin Surosentiko di Bojonegoro pada tahun 2019 diakui pemerintah negara dan mendapat penghargaan Warisan Budaya Tak Benda," ungkap Tris.
Terkait ajaran, pengikut Samin memiliki lima pegangan hidup mereka yang bersifat universal dan menurut mereka ada di semua agama. Dan jika ditanya terkait agama, di Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka kini tertulis agama Islam, meski pihak Samin mengaku tidak condong pada salah satu agama dan memegang teguh kepercayaannya sendiri.
"Mohon maaf, ya. Samin sendiri telah lebih dulu daripada agama yang ada di Indonesia," ucap Tris.
Dulu, masyarakat Samin pun mengisolasi diri di pelosok-pelosok daerah, mereka sangat tertutup dan menolak pemerintahan. Mereka bertahan hidup dengan bertani dan beternak. Hingga pada 1970, mereka baru mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka.
Saat ini, Samin tetap lestari di beberapa daerah, seperti Blora, Pati dan Bojonegoro. Namun, Samin yang sekarang lebih terbuka. Khususnya masyarakat Samin Bojonegoro yang sudah berbaur dengan masyarakat lainnya.
Mereka juga bersekolah dan lebih modern serta dapat menerima perkembangan teknologi. Meski kini masyarakat Samin di dusun Jepang tak semasif dulu, mereka tetap melestarikan ajaran Samin dengan berpegang teguh pada nilai-nilai positif dalam ajaran mereka.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
3
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua