Jakarta, NU Online
Putusan NU berupa Resolusi Jihad fi Sabilillah 21-22 Oktober 1945, berkait dengan perlawanan massa di Surabaya 10 November 1945. Resolusi Jihad fi Sabilillah menggalakkan semangat perang umat Islam, Nahdliyin, para kiai dan santri se-Indonesia.
<>
“Putusan NU untuk mengobarkan perjuangan fisik saat itu sangat tepat,” kata Ajid Sukma Nugraha, ustadz harian di pondok pesantren Attawazun, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Jabar, Sabtu (10/11) malam.
Ustadz muda yang sedang mengabdi di almamternya tersebut merujuk akar kata ‘jihad’. Kata ‘jihad’ berasal dari kata ‘jahada’, ‘yujahidu’, ‘jihadan’, dan ‘mujahadatan’. Terjemahan dari pecahan kata itu adalah bersungguh-sungguh.
Dalam konteks Resolusi Jihad fi Sabilillah, kesungguhan umat Islam yang dimotori oleh para kiai sangat dibutuhkan, imbuhnya. Kondisi saat itu menuntut umat Islam secara fisik untuk mempertahankan kedaulatan tanah air mereka dari gangguan kekuatan militer asing, NICA yang menggabung Amerika, Inggris, dan Belanda.
Menurut Ajid, ustadz yang baru setahun lulus dari SMA Attawazun ini, perintah ‘jihad fi sabilillah’ masih berlaku. Jihad merupakan perintah wajib Islam. Sebagai kewajiban, perintah tersebut tidak akan pernah luntur.
Saat ditanyakan makna jihad saat ini, Ajid, ustaz belia menjawab, “Aplikasi dari perintah jihad itu berbeda untuk masa kini. Jihad saat ini untuk kaum muda, menghendaki mereka untuk mengaji ilmu agama secara sungguh-sungguh.
Jihad adalah upaya mempertahankan diri dari serangan musuh. Karenanya, anak muda saat ini harus membentengi diri lewat ilmu. Tanpa ilmu agama, pertahanan anak muda akan sangat rapuh, pungkasnya.
Redaktur : Hamzah Sahal
Penulis : Alhafiz Kurniawan