Semarang, NU Online
Banyak sekali naskah peninggalan ulama atau pujangga yang hilang, rusak atau dicuri orang asing. Banyak pula yang dirampok oleh penjajah di masa kolonial. Namun, khusus naskah keagamaan, masih banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, karena dijaga atau dirawat oleh ahli warisnya. Sehingga generasi masa kini masih bisa mereguh ilmu dan hikmah dari pendahulunya.
Faktor awetnya, ahli waris naskah memperlakukan naskah sebagai benda pusaka yang memiliki tuah, yang tidak boleh sembarangan dijamah. Itulah buah dari ajaran ahlussunnah wal jamaah, yang mengajarkan memuliakan buku adalah memuliakan ilmu. Menjaga pustaka sebagai pusaka. Melestarikan tinggalan lama yang baik, dan membuat yang baru yang lebih baik.
Demikian intisari paparan para narasumber dalam Seminar Hasil-Hasil Penelitian Isu-Isu Aktual Bidang Lektur, Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama Semarang, di Hotel Pandanaran, Rabu, (18/12/2019).
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Moh Muzakka, peneliti utama yang memberi simpulan seminar menyampaikan, satu-satunya yang patut disyukuri atas awetnya naskah kegamaaan adalah rasa hormat umat yang dilandasi kepercayaan terhadap keramat (karamah) ilmu.
Dalam seminar ini, dipaparkan hasil penemuan naskah-naskah kuno berusia puluhan tahun atau ratusan tahun. Baik naskah terkait agama Islam, Budha, Hindu, maupun norma adat Nusantara.
Di antaranya naskah yang ditemukan di Kabupaten Gunungkidul, DIY, di Magetan, Jatim, di Bali, dan di Madura. Naskah-naskah tersebut masih bisa dibaca jelas karena disimpan dalam peti yang dibungkus kain mori dan diberi minyak wangi.
“Kami menemukan naskah Macapat, naskah Jawa, naskah Al-Qur’an dan naskah fiqih dan lain-lainnya dalam kondisi bagus terawat. Para pemiliknya mesti tidak bisa membaca aksara Jawa maupun Arab di naskah tersebut, namun mereka teguh menjaga warisan leluhur sebagai pusaka,” tutur peneliti Balitbang Agama Semarang Subkhan Ridlo.
Kepala Balitbang Agama Semarang Dr H Samidi dalam sambutannya menyampaikan, wilayah kerja lembaganya meliputi Jawa Tengah dan DIY. Pihaknya punya perhatian terhadap kasus di Dusun Mangir, Bantul, DIY yang sempat geger di awal Nopember lalu. Pihaknya memberi data hasil penelitian yang komplit mengenai sejarah Dusun Mangir dan berusaha mendudukkan persoalan secara proporsional dengan semangat menjaga kerukunan antar umat beragama.
“Kasus di Dusun Mangir maupun lokasi lain karena faktor politik namun digoreng sebagai isu agama. Kami bekerja sama dengan berbagai pihak mengupayakan terus terjaganya kerukunan, dengan memberi data sejarah diperlukan. Inilah gunanya penelitian,” terangnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, pemerintah dan para pemimpin masyarakat perlu mendorong warga bersikap peduli terhadap naskah karya para leluhur. Semua perlu memupuk rasa cinta terhadap warisan nenek moyang yang berisi ilmu yang hikmah (kebijaksanaan).
“Kami ingin mengajak kita semua peduli kepada naskah-naskah lawas, dengan merawatnya sebagai pusaka warisan leluhur. Jangan sampai ada yang merusak atau membuanag naskah karena tidak tahu atau tidak peduli,” pungkasnya.
Narasumber lain dalam seminar ini adalah Umi Masfiah, Moh Lukluil Maknun, Agus Iswanto, R. Aris Hidayat, dan Mustolehudin. Seluruhnya menyebut adanya tradisi penulisan naskah yang sudah mati, namun masih ada sedikit yang masih lestari.
Kontributor: Ichwan
Editor: Syamsul Arifin