NU Jateng Sebut Peran MUI Pemberi Arah, Bukan Pelaksana Aturan Pemerintah
Rabu, 28 Juli 2021 | 11:00 WIB
Semarang, NU Online
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kini berusia 46 tahun harus memposisikan diri sebagai pemberi arah pemerintah dalam membuat aturan dan keputusan, khususnya yang terkait dengan bidang kehidupan keagamaan, jangan sebaliknya menjadi pelaksana aturan dan keputusan pemerintah.
Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah Prof KH Mudjahirin Tohir mengatakan, di usianya yang ke-46 tahun ini MUI harus memposisikan diri sebagai desainer yang memberi arah bagaimana pemerintah membuat aturan dan keputusan khususnya terkait dengan bidang kehidupan keagamaan.
"MUI jangan menjadi 'tailor' atau tukang jahit. Sebagai desainer, MUI perlu berdialog dan mendialogkan tentang apa yang terjadi di kalangan umat pengikut ormas keagamaan dalam kerangka peningkatan peradaban," kata Prof Mudjahirin di Semarang.
Prof Mudjahirin yang juga guru besar antropologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan MUI Jateng mengatakan hal itu dalam acara Gendhu-gendhu Rasa atau Ngudarasa 'MUI Dibutuhkan, MUI Dikritik’ dan upacara tasyakuran Milad (Ulang Tahun) Ke-46 MUI di Hotel Pandanaran Kota Semarang, Selasa (27/7).
Menurutnya, MUI diharapkan dapat menjadi acuan panutan umat (role model) dalam peradaban keagamaan. Karena itu MUI harus mengambil peran utama sebagai mitra sekaligus konsultan bagi pemerintah dan ormas keagamaan dalam mengembangkan peradaban Islam pada masyarakat Indonesia yang plural.
"Harapan itu dapat dilaksanakan sepanjang MUI yang memiliki pengurus dari berbagai disiplin ilmu dan profesi mampu membangun komunikasi dengan pemerintah yang memiliki rakyat dan kekuasaan memaksa, dan ormas Islam yang memiliki penganut loyal," terangnya.
Gubernur Jateng periode 2007-2008 H Ali Mufiz dalam tasyakuran itu mengharapkan agar MUI selalu menjaga nilai kesakralan ulama dan tidak terjebak dalam hal-hal teknis yang secara tidak sadar memunculkan desakralisasi nilai-nilai ulama.
"MUI harus kembali kepada gagasan besar yang dibutuhkan umat bukan hal-hal teknis," kata kiai Ali yang juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI Jateng.
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama Semarang Samidi Khalim mengatakan, fatwa dan taushiyah MUI lebih banyak ditaati oleh umat Islam perkotaan, sedangkan di pedesaan mengabaikannya.
"Itu salah satu temuan penelitian kami terkait tentang layanan keagamaan pada masa pandemi Covid-19," tuturnya.
Ketua Umum MUI Jateng KH Ahmad Darodji mengatakan, MUI sudah berusaha hadir di tengah umat ketika menghadapi persoalan keagamaan dengan tiga peran sekaligus yaitu sebagai himayatul ummah (pelindung umat), khadimul ummah (pelayan umat), dan shadiqul hukumat (mitra pemerintah).
"Dalam pandemi Covid-19, fatwa MUI ditunggu umat. Di lain pihak juga sering dikritik, semua kritik kami terima dengan baik untuk perbaikan ke depan," pungkasnya.
Kontributor: Samsul Huda
Editor: Abdul Muiz