Daerah

Olah Sampah Jadi Pakan Maggot, Santri Al-Anwar 2 Rembang Buktikan Pesantren Jadi Pusat Inovasi Lingkungan

Sabtu, 8 November 2025 | 11:30 WIB

Olah Sampah Jadi Pakan Maggot, Santri Al-Anwar 2 Rembang Buktikan Pesantren Jadi Pusat Inovasi Lingkungan

Para santri Al-Anwar 2 Rembang mengelola sampah menjadi pakan maggot (Foto: dok Al-Anwar 2 Rembang)

Jakarta, NU Online
Pondok Pesantren Al-Anwar 2 Sarang, Rembang, Jawa Tengah berinovasi mengolah sampah organik menggunakan maggot (larva lalat Black Soldier Fly). Pesantren ini tidak hanya mengurangi pencemaran lingkungan, tetapi juga menghasilkan nilai ekonomi bagi pesantren dan santri.


Pembina Sub Kebersihan Pesantren Al-Anwar 2, Fachrurrozi, menjelaskan bahwa setiap bulan pesantren menghasilkan sekitar 3 hingga 3,5 ton sampah organik dan 1 ton sampah anorganik.

 

"Sampah organik yang diolah melalui maggot, ada juga yang menjadi eco enzym dan kompos. Kalau sampah anorganik kita olah menjadi produk cacahan plastik atau dilakukan pengepresan,” ujarnya kepada NU Online, Jumat (7/11/2025).

 

Hasil pengolahan tersebut langsung dimanfaatkan di lingkungan pesantren. "Hasil pengolahan sampah organik yang berupa kompos dan eco enzym itu kami gunakan untuk tanaman-tanaman pondok pesantren. Kalau maggot ada yang kami berikan ke lele menjadi pakan, dan kami juga kembangkan ke ternak entok,” katanya.

 

Rozi mengungkapkan bahwa inisiatif pengelolaan sampah ini berawal dari arahan Pengasuh Pesantren Al-Anwar 2, KH Abdur Rosyid Ubab, yang menegaskan pentingnya pengelolaan sampah secara bertanggung jawab.

 

"Inisiasi pengolah sampah ya sebenarnya dari pengasuh Pesantren Al-Anwar 2 yang sudah menyampaikan bahwa sampah ini harus dikelola dengan baik,” ucapnya.

 

Namun, kondisi sebelumnya jauh dari ideal. "Dahulu kita kalau membuang sampah di bekas galian pembangunan pondok yang siklusnya hanya membuang, lalu membakar, seperti itu saja terus. Tetapi makin hari sampah semakin menggunung yang tempat tersebut dekat dengan pemukiman warga. Warga yang di sekitar sampah tersebut pun merasa keberatan karena polusi yang ditimbulkan,” tuturnya.

 

Kesadaran untuk berubah mulai tumbuh pada tahun 2023, ketika pesantren mulai menata sistem pengelolaan sampah secara terencana.

 

“Akhirnya kita membuat tempat tungku pembakaran sehingga sampah itu tidak menumpuk. Dulu sampah di pondok pesantren setiap bulannya menghabiskan biaya Rp5 juta hingga Rp6 juta (untuk pembuangan). Tapi semenjak kita melakukan pengelolaan sampah, setelah kita mengolahnya, kita dapat saving Rp3 juta sampai Rp4 juta,” katanya.

 

Tantangan kebiasaan dan kesadaran santri
Rozi menyampaikan bahwa tantangan utama bukan pada teknologi pengolahan, melainkan pada kesadaran santri untuk memilah sampah sejak awal.

 

"Yang sulit itu pemilahan. Kami membuat yang namanya bank sampah; di sini santri kita jadikan sebagai nasabah. Dari hasil penjualan dan penimbangan, supaya santri ini ada daya tarik dalam membuang sampah sesuai jenisnya, kita kasih reward baik itu bersifat kolektif dari kamar, asrama, maupun pribadi,” katanya.

 

Strategi pesantren untuk menumbuhkan budaya memilah dilakukan melalui edukasi dan pembiasaan. "Untuk membiasakan santri memilah yang menjadi habit (kebiasaan), strategi kami yang pertama adalah sosialisasi secara intens, utamanya kita memberikan bahaya sampah. Seperti menakut-nakuti, bahwa jumlah sampah dengan jumlah santri sekian ribu, tidak mustahil kalau nanti di Kabupaten Rembang ini bisa jadi next Bantargebang,” ujarnya.

 

Selain edukasi, pesantren juga menerapkan sistem penghargaan dan sanksi nonfisik. “Kita memberikan motivasi berupa reward, jadi sampah itu seperti melihat uang, jadi jangan sampai kita sia-siakan uang itu," katanya


"Kita ada sanksi tetapi bukan fisik, tapi lebih ke kebersihan itu sendiri, seperti di setiap malam Jumat santri berkumpul kemudian disampaikan pengumuman kamar mana yang paling kotor, mana yang tidak memilah sampah. Kita itu diumumkan bukan hanya santri tapi pembimbing santrinya juga ikut malu,” bebernya.

 

Dari sampah jadi nilai ekonomi
Program pengelolaan sampah tak hanya berhasil menekan biaya operasional, tetapi juga menciptakan sumber pendapatan baru bagi pesantren.

 

“Sampah anorganik itu kami jual ke pengepul yang kurang lebih mendapat Rp3 juta rupiah setiap bulan. Uang tersebut digunakan untuk pengembangan program dan sarana prasarana seperti membeli alat pencacah plastik,” ujarnya.

 

Kini, hasil cacahan plastik bahkan diolah menjadi biji plastik yang memiliki nilai jual lebih tinggi di pasaran. Inovasi ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah di pesantren tidak hanya sekadar menjaga kebersihan, tetapi juga memberi manfaat ekonomi berkelanjutan.

 

Rozi menyampaikan bahwa santri bersama pengurus pesantren terlibat langsung dalam memilah sampah dan pengolahannya.

 

“Santri ini harus dilibatkan dalam memilah sampah, kalau tidak dilibatkan nanti malah mereka tidak tahu,” tegasnya.

 

Ia berharap ke depan, Pesantren Al Anwar 2 dapat menjadi pusat edukasi lingkungan bagi masyarakat sekitar. “Kami berharap pesantren ini juga menjadi tempat edukasi mengenai pemilahan dan pengolahan sampah, baik sampah organik maupun anorganik,” pungkas Rozi.