Tradisi Adrahian saat Santri Balik ke Pesantren Membawa Makanan Pasca-Lebaran
Sabtu, 14 Mei 2022 | 11:30 WIB
Purwakarta, NU Online
Para santri ketika kembali ke pondok pesantren setelah lebaran biasanya membawa berbagai macam makanan dari rumah.
Makanan itu nantinya akan dinikmati oleh semua santri secara bersama-sama. Di kalangan santri, tradisi tersebut dinamakan tradisi adrahian. Berasal dari manakah tradisi adrahian tersebut?
Pengasuh Asrama Bumi Nusantara, Pondok Pesantren Al Hikamussalfiyah Cipulus Purwakarta, H Hadi M Musa Said mengungkapkan bahwa tradisi adrahian berasal dari kata adrahi diambil dari bahasa sunda.
“Kata adrahi mengacu pada makanan yang dibawa oleh seseorang dari tempat yang lain, untuk diberikan kepada orang yang dimaksud, dan itu berbeda dengan persembahan,” kata Haji Abang, sapaan akrabnya, saat ditemui NU Online di kompleks Pesantren Cipulus, Sabtu (14/5/22).
Bedanya, terang dia, kata adrahi lebih egaliter ketimbang persembahan. Di dunia pesantren terkhusus di tatar Sunda, kata adrahi mengacu pada bekal makanan yang dibawa dari rumah masing-masing untuk diberikan atau disantap bersama santri lainnya di pesantren.
“Tujuannya agar semua bisa menikmati kebahagiaan bersama-sama. Meski tidak semua santri yang pulang selalu membawa adrahi,” terang Haji Abang.
Menantu dari Almagfurlah KH Adang Badruddin (Abah Cipulus) itu juga mengatakan bahwa adrahi merupakan sebuah tradisi yang didorong oleh keinginan untuk saling berbagi dan membahagiakan orang lain. Tradisi ini juga didorong oleh pepatah tua yang mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
“Ketika sampai di kobong, semua adrahi milik bersama. Pun jika ada sisa, maka adrahi disimpan sebagai milik bersama,” ungkap tokoh yang aktif mengabdi di Gerakan Pemuda (GP) Ansor itu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsep berbagi (adrahi) itu dekat dengan konsep sedekah. “Sebagai amal baik yang tentu saja akan mengantarkan seorang Muslim menuju surga,” jelasnya.
Keistimewaan lainnya, tambah dia, dapat mengikat tali persaudaraan bukan hanya di kalangan para santrinya, melainkan menyambungkan ikatan persaudaraan dengan orang tuanya.
“Hal tersebut selain sebagai bentuk perhatian, juga sebagai sebuah bentuk ikatan tidak resmi antara santri dan orang tua,” tambah Haji Abang.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Fathoni Ahmad