Umat Islam di Indonesia Bisa Berpuasa dan Lebaran Bersama, Jika..
Ahad, 24 April 2022 | 14:00 WIB
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen. (Foto: tangkapan Layar Youtube NU Online)
Muhammad Faizin
Penulis
Jakarta, NU Online
“Menjaga Kebersamaan Lebih Penting Ketimbang Pendapat Pribadi”. Inilah pesan yang ingin disampaikan Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen kepada umat Islam di Indonesia terkait dengan perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Ia menyebut bahwa harapan banyak masyarakat Indonesia agar memiliki waktu yang sama dalam berpuasa dan berlebaran bisa terwujud jika tokoh-tokoh agama memiliki kerendahan hati.
Rendah hati di sini dalam artian bahwa ketika para tokoh memegang ijtihad yang dilakukannya itu bukanlah kebenaran mutlak yang harus dipertahankan mati-matian sehingga harus mengorbankan kebersamaan umat yang tentu saja jauh lebih penting. Gus Ghofur pun mengisahkan sebuah teladan dari Negeri Mesir di mana ia pernah menjadi salah satu santri Syekh Prof Musa Syāhīn Lāsyīn, guru besar bidang Hadits di Al-Azhar.
“Pagi itu adalah awal Ramadhan. Saya ke kampus dan masuk di ruang perkuliahannya. Ia bertanya kepada santri-santrinya, kapan memulai puasa Ramadhan. Tentu saja kami memulai puasa di hari itu. Tak ada tradisi berbeda memulai puasa di sini. Semua seragam, sesuai dengan pengumuman Pemerintah,” tulis Gus Ghafur dalam akun media sosialnya, Ahad (24/4/2022).
“Hal yang tak saya duga, tiba-tiba ia menyampaikan bahwa menurutnya puasa Ramadhan seharusnya dimulai kemaren sesuai perhitungan hisab. Ia tampak lebih menyetujui metode hisab ketimbang rukyah. Akan tetapi, Pemerintah mengumumkan puasa hari ini, dan ia lebih memilih mengikutinya ketimbang mempertahankan pendapat pribadinya,” imbuhnya terkait pandangan gurunya yang bersahaja dengan berbagai karya populer seperti Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim dan Al Mahhal al Ḥadīṡ fī Syarḥ Aḥādīṡ al Bukhāriyy ini.
Sikap dan pandangan Syekh Musa pun dituliskan dalam Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim yang tampak sangat jelas membela metode hisab. Namun pada akhir penjelasannya, Syekh Musa menyatakan bahwa pada akhirnya masyarakat diharuskan mengikuti keputusan hakim (pemerintah). Hakim lah yang kelak akan mempertanggungjawabkannya di depan Allah mengenai ijtihad dan keputusannya. Selain yang melihat hilal, yang pengguna hisab harus mengikuti pemerintah.
“Mahasiswa Indonesia di Mesir beragam latar-belakangnya. Mungkin kebanyakan mereka berafiliasi pada organisasi-organisasi besar di Nusantara. Selama di Mesir, tak pernah saya mendengar ada friksi hisab-rukyah. Apapun keputusan Pemerintah diikuti oleh semuanya. Tak ada yang mempersoalkan metode yang digunakannya,” ungkapnya.
Hal ini pun lanjutnya, sama terjadi dengan jamaah haji Indonesia saat berada di Arab Saudi. Dengan latar belakang yang sangat beragam, semua jamaah Indonesia juga patuh menjalankan keputusan Pemerintah Saudi dalam penentuan wukuf di Arafah.
“Secara sederhana dapat kita pahami, bahwa mereka sebetulnya meyakini bahwa keputusan yang diambil oleh Pemerintah Mesir dan Pemerintah Saudi dapat dibenarkan dan sah diikuti, meski mungkin tidak sama dengan pendapat pribadi sebagian mahasiswa dan jamaah haji. Tampaknya, pendapat pribadi saat di luar negeri tidak tersemai dalam tanah yang subur sehingga tidak muncul,” jelasnya.
Ia pun memaparkan pendapat Syekh Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, Aṣ Ṣaḥwah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm yang membagi perbedaan pendapat ke dalam dua kategori. Pertama adalah perbedaan pendapat dengan latar belakang khuluqiyyah atau berlatar belakang akhlak dan kedua perbedaan pendapat dengan latar belakang fikriyyah atau murni sudut pandang pemikiran.
“Perbedaan pertama sangat tercela. Ia lahir dari kesombongan, membanggakan diri, fanatik terhadap tokoh atau kelompok dan organisasi tertentu. Untuk menghindarinya sangat dibutuhkan kerendahan hati. Sementara perbedaan kedua lahir dari berbagai sudut pandang, kecenderungan berpikir dan orientasi diri. Semoga perbedaan yang terjadi selama ini murni perbedaan fikriyyah, bukah khuluqiyyah,” harapnya.
Gus Ghofur juga menukil salah satu pernyataan KH Maimoen Zubair dalam kitab Nuṣūṣ Al Akhyār halaman 19. Kitab ini merupakan karya KH Maimoen Zubair yang berisi teks-teks dari ulama-ulama terbaik dengan berbagai komentar dari beliau.
“Salah satu komentarnya adalah bahwa menyatukan umat Islam dalam puasa, idul fitri dan syiar-syiar lainnya adalah tuntutan abadi. Minimal harus ada upaya serius untuk menyatukan umat Islam dalam satu wilayah. Dalam satu wilayah sebagian umat puasa hari Kamis karena beranggapan telah masuk Ramadhan, dan sebagian lainnya masih berbuka karena beranggapan masih berada di bulan Sya’ban, adalah kenyataan yang tak boleh diterima,” ungkapnya.
“Kemudian di akhir Ramadhan, sebagian masih puasa dan sebagian lainnya telah berlebaran. Ini juga kondisi yang tak boleh diterima. Salah satu kesepakatan ulama adalah bahwa keputusan hakim atau waliyyul amri menghapus perbedaan pendapat,” pungkasnya.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua