Daerah

Tradisi Dugdag Keraton Kasepuhan Cirebon, Penanda Masuk Bulan Ramadhan 

Sabtu, 1 Maret 2025 | 19:00 WIB

Tradisi Dugdag Keraton Kasepuhan Cirebon, Penanda Masuk Bulan Ramadhan 

Penabuhan bedug dalam rangka tradisi Dugdag di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, Jumat (28/2/2025). (Foto: NU Online/Joko Susanto)

Cirebon, NU Online

Banyak daerah memiliki tradisi tersendiri dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Di Cirebon, misalnya, khususnya di Keraton Kesepuhan, tradisi unik seperti “Dugdag” telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Setiap tahun, tradisi ini dijalankan secara rutin di lingkungan keraton sebagai bagian penting dari budaya dan adat istiadat keraton. 


"Karena dulu belum ada pengeras suara, jadi tabuhan bedug ini menjadi penanda buat masyarakat bila bulan suci Ramadhan sudah tiba," kata Pangeran Goemelar Suryadiningrat selaku Patih Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon. Sabtu, (1/3/2025). 


Keberlanjutan tradisi Dugdag menunjukkan kelestarian warisan budaya yang berharga, serta menjadi simbol kebersamaan, spiritualitas, dan keagungan tradisi dalam menyambut bulan suci Ramadan di Cirebon.


Istilah Dugdag sendiri diambil dari bunyi bedug yang ditabuh. Kegiatan ini diselenggarakan di Langgar Agung setelah Shalat Ashar pada H-1 Ramadhan.


Biasanya, penabuhan bedug dilakukan oleh Sultan Sepuh Kasepuhan dan keluarganya, namun pada tahun 2022, peran tersebut diambil alih oleh Patih Sepuh Keraton Kasepuhan bersama dengan keluarganya. Pangeran Raja Goemelar Soeryadiningrat, Patih Sepuh Keraton Kasepuhan, menjelaskan bahwa tradisi Dugdag telah ada sejak zaman Sunan Gunung Jati.


Tradisi Ramadhan ini melibatkan empat hingga lima orang yang memukul bedug, termasuk Sultan, Penghulu Keraton Kasepuhan, dan beberapa anggota keluarga keraton lainnya. 


Setiap pukulan bedug dalam prosesi Dugdag diiringi oleh lantunan dzikir dan shalawat. Misalnya, pukulan pertama diiringi dengan pembacaan “La Ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah” dua kali, pukulan kedua diiringi dengan pembacaan “Allah” tujuh kali, dan pukulan ketiga diiringi dengan pembacaan “La haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil 'adhim”. 


Tradisi ini tidak hanya menjadi penanda awal Ramadhan, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap tradisi dan warisan leluhur yang kaya.


Selama berabad-abad, tradisi penyambutan bulan Ramadan dengan memukul bedug di Keraton Kasepuhan Cirebon telah menjadi warisan tak terpisahkan dari budaya dan leluhur yang diwarisi secara turun-temurun. Hingga kini, warisan tersebut tetap terjaga dengan baik dan terus diwariskan sebagai bagian integral dari persiapan menghadapi bulan suci Ramadhan. 


Proses memukul bedug dalam tradisi Dugdag ini dilakukan dengan penuh kekhusyukan; setiap ketukan disertai dengan bacaan dzikir dan doa-doa yang khusyuk.


Filosofi di balik tabuhan bedug yang dirangkai dengan dzikir adalah pengingat akan ketergantungan  kepada Allah swt. Sebagai umat Muslim, pelaksanaan puasa dan ibadah lainnya hanya dapat terwujud dengan pertolongan serta ridha-Nya.