Daerah

Tukar Tenong, Sadranan ala Cepogo Boyolali

Selasa, 25 Juni 2013 | 22:00 WIB

Boyolali, NU Online
Sedari jam 5 pagi, warga Desa Sukobumi Cepogo Boyolali mulai mendatangi makam Surolayu Tunggulsari atau pemakaman Nggunung. Bahkan beberapa dari mereka adalah warga dari luar Cepogo yang juga ikut hadir untuk membersihkan makam leluhur mereka yang dimakamkan di tempat itu.
<>
Rusli salah satunya. Warga Kabupaten Semarang tersebut datang bersama keluarganya untuk mengikuti Sadranan di Cepogo.

"Sadranan ini, selain mendoakan para leluhur, juga untuk acara silaturahmi kepada sanak saudara dan para tetangga," katanya.

Dengan membawa berbagai peralatan kebersihan seperti sapu hingga sabit, ia bersama warga lain membersihkan makam dengan mencabuti rumput, membabat ilalang, membersihkan lumut, atau menyapu makam.

Sesepuh Desa Sukobumi, Kiai Haji Muhammad Suparno menjelaskan, tradisi sadranan merupakan budaya Jawa yang tersisa dan warga sekitar masih tetap melestarikan higga sekarang. Tradisi tersebut juga dilakukan oleh para leluhurnya yang menyebarkan agama Islam di desa setempat, yakni Kiai Bonggol Jati atau Syah Ibrahim.

Tukar tenong

Ketika Mentari mulai tampak terang, warga yang telah selesai membersihkan makam pulang ke rumah. Mereka akan kembali lagi ke makam, sekitar jam setengah 8 pagi. Namun kali ini bukan lagi alat kebersihan yang mereka bawa, melainkan dengan membawa “tenong”, yakni wadah makanan berbentuk bulat dari anyaman bambu.

Tiap keluarga membawa satu atau lebih tenong, yang nantinya akan dibagikan pada seluruh warga yang hadir. Isi makanan dalam tenong bisa terdiri dari berbagai jenis makanan seperti jajanan pasar, kue atau roti, atau buah.

Biasanya, dalam setiap penyelenggaraan terdapat 700 hingga 800 tenong yang dibawa ke makam. Tenong dibariskan berjejer di kompleks makam. Kemudian setelah diperdengarkan ceramah dari seorang kiai dan dibacakan doa, maka tenong pun dibagikan dengan cara tukar makanan. Prosesi tukar makanan dalam ratusan tenong inilah yang menjadi khas tradisi Sadranan Cepogo.

Setelah selesai dengan seluruh prosesi Sadranan di pemakaman, beberapa warga biasanya akan bersilaturahmi ke rumah warga di wilayah itu. Mereka yang tinggal di daerah itu pun juga telah bersiap menyambut tamu-tamu yang akan hadir setelah prosesi tradisi Sadranan di bulan Ruwah itu selesai.

Seperti halnya di kawasan lain, Sadranan biasa digelar dari tanggal 15 bulan Ruwah hingga menjelang dimulainya puasa pada tanggal 1 bulan Pasa (Jawa). Pada tahun ini, penyelenggaraan Sadranan di Cepogo, berlangsung pada Selasa (25/6) atau bertepatan dengan 16 Sya’ban.


Redaktur     :  Abdullah Alawi
Kontributor : Ajie Najmuddin


Terkait