Tanggal 22 Juli, 19 tahun yang lalu, kondisi politik Indonesia terasa mencekam. Hal itu tak hanya dirasakan di tataran elite politik, tetapi juga di masyarakat akar rumput. Dua kekuatan massa siap bentrok, yaitu kubu pro Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kubu anti-Gus Dur. Massa berkumpul sejak beberapa hari sebelumnya, semakin memanas ketika Gus Dur direncanakan akan membacakan dekrit selepas Shalat Maghrib.
Akan tetapi, ketegangan tak hanya terjadi pada massa sipil, tetapi juga di kubu militer. Saat itu, Ryamizard Ryacudu, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) menyatakan akan menjaga istana demi berlangsungnya Sidang Istimewa (SI) pelengseran Gus Dur. Tak tanggung-tanggung, 50 tank TNI AL, 10 truk membawa pasukan marinir, dan 4.000 personel TNI berada di sekitar istana.
Menariknya, bila memang menjaga istana, tetapi justru moncong tank di arahkan ke istana. Menurut salah satu sumber yang tak mau disebutkan namanya dalam buku Menjerat Gus Dur, apa yang dilakukan oleh Ryamizard merupakan hasil dari pertemuannya dengan Megawati Soekarnoputri. Pesannya sudah jelas, "Ini kudeta, bentuk ketidakpercayaan militer terhadap sipil. Persis seperti yang dilakukan oleh Jenderal AH Nasution terhadap Soekarno pada 17 Oktober 1952."
Pernyataan itu rasanya bukan hanya spekulasi, melainkan sudah ada indikasinya. Dalam buku Dewi Fortuna Anwar berjudul Gus Dur versus Militer disebutkan, Gus Dur terlalu ikut campur dan 'mengobok-mengobok' TNI karena ingin menghapuskan dwifungsi ABRI dan menghapuskan komando teriotori yang dirasa sudah tak lagi cocok dijalankan. Akhirnya, tulis Dewi, tentara membangun komunikasi dengan Megawati yang dirasa lebih mengenal TNI—meski alasan utamanya adalah Megawati lebih bisa dikendalikan daripada Gus Dur.
Kembali ke kondisi karut-marut 22 Juli 2001, para pendukung Gus Dur seperti pasukan berani mati, organisasi sayap Nahdlatul Ulama (NU), sebagian kelompok mahasiswa, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) siap pasang badan dan nyawa untuk mempertahankan Gus Dur. Bahkan, beberapa pasukan berani mati sudah naik ke tank TNI untuk menghalau atau menggeser moncong tank.
Di dalam istana, Gus Dur mengundang beberapa kelompok masyarakat seperti tokoh agama, LSM, dan Forum Demokrasi (Fordem) untuk berdiskusi bagaimana kondisi politik dan masyarakat bila Gus Dur mengeluarkan dekrit. Hermawan Sulistiyo menyatakan bahwa sempat kelompok dari LSM membuatkan draft dekrit setebal kurang lebih 15 halaman. "Itu dekrit atau makalah!" serunya kala itu, saat disampaikan di Gedung PWNU Jatim pada 4 Februari 2020 lalu. Setelah diskusi selesai, Gus Dur masuk ke ruang kerjanya untuk merumuskan poin-poin dekrit.
Sementara itu, tokoh-tokoh yang sempat berdiskusi dengan Gus Dur membubarkan diri. Mereka ada yang tetap bertahan di istana, tapi tak sedikit yang keluar istana. Salah satu narasumber lainnya di buku Gus Dur yang hanya bersedia memberikan background suasana saat itu mengatakan, melihat Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Binsar Panjaitan baru memasuki kompleks istana dengan mobil jeep.
"Percaya atau tidak, mobil itu tampak seperti kelebihan muatan. Begitu saya coba mendekat, semua isi mobilnya adalah senjata," katanya. Sayangnya, dia tak tahu untuk apa senjata-senjata tersebut. Bagian itu belum ada di buku Menjerat Gus Dur, karena sulit mengonfirmasinya baik langsung kepada Luhut maupun saksi lainnya.
Cerita Luhut datang ke istana dengan membawa banyak senjata, baru dikonfirmasi oleh Hermawan Sulistiyo. Saat itu, ingat Hermawan, dirinya keluar istana setelah berdiskusi dengan Gus Dur. Ketika ingin melihat kondisi demonstran di luar istana, ia berpapasan dengan Luhut dan coba mengajak berbicara.
"Saya lihat dia pakai jas hitam besar, lalu saya senggol Luhut, dan saya tanya sambil sedikit ketawa 'Ini apa (yang ada di dalam jas-pen), Bang?'" kata Hermawan. "Ternyata isinya senjata dan mobilnya juga senjata," lanjut penulis buku Palu Arit di Ladang Tebu ini.
Senjata-senjata itu, kata Hermawan, dimaksudkan untuk melindungi Gus Dur. "Iya ini senjata semua. Kalau mereka macam-macam dan menyentuh serta menyakiti Gus Dur secara fisik, saya yang akan menghadapi mereka semua," ucap Hermawan menirukan Luhut.
Selepas itu, tak ada yang mengetahui situasi istana dan Luhut. Beberapa anggota Fordem dan Yahya Cholil Staquf, Juru Bicara Gus Dur mengatakan, Gus Dur memberikan poin-poin dekrit kepada Marsillam Simanjuntak untuk diketik. Begitu naskah dekrit selesai, Gus Dur sempat meminta Abdul Mujib Manan untuk membacakannya, tetapi Mujib tak tega dan meminta Yahya Cholil Staquf untuk membacakannya pada tengah malam selepas pergantian hari, 23 Juli 2001.
Faktanya Gus Dur memang berhasil dijatuhkan dari posisinya sebagai presiden, tetapi Gus Dur juga berhasil meredam pendukungnya untuk tidak membuat kekacauan. Sebab, yang lebih tinggi dari politik adalah kemanusiaan.
Virdika Rizky Utama, penulis buku 'Menjerat Gus Dur'