Kabar tersebut langsung meresahkan penduduk setempat maupun warga Tiongkok yang akan melakukan perjalanan pulang kampung untuk merayakan Tahun Baru Imlek pada 25 Januari 2020.
Virus corona jenis baru yang tengah menyerang masyarakat dunia saat ini dalam istilah kedokteran disebut sebagai 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV) yang kini berubah nama menjadi Coronavirus Desease 2019 (Covid-19). Virus corona merupakan jenis virus yang diidentifikasi sebagai penyebab penyakit pada saluran pernapasan, yang pertama kali terdeteksi muncul di Kota Wuhan, Tiongkok.
Pada 21 Januari 2020 sudah ada 218 warga Tiongkok yang tertular virus corona dan 4 orang meninggal. Jumlah korban terus bertambah, hingga pada 23 Januari 2020. Pemerintah Tiongkok memutuskan untuk menutup (lockdown) Kota Wuhan yang menjadi pusat munculnya (episentrum) virus corona. Keputusan ini diambil setelah jumlah korban tewas mencapai 17 jiwa dan kurang lebih 600 orang terinfeksi.
Karena proses penularannya yang sangat cepat, saat itu virus berbahaya tersebut sudah menyebar ke beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, Iran, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan mulai menarik warganya dari Wuhan. Pemerintah Indonesia pun mulai memikirkan hal yang sama. Setelah mendapat lampu hijau dari Pemerintah Tiongkok, Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri memulangkan 243 WNI dari Provinsi Hubei.
Pada 1 Februari 2020, Pemerintah Indonesia menjemput 243 WNI dari Hubei. Dari jumlah itu, 238 orang saja yang dievakuasi dan menjalani karantina untuk observasi selama dua pekan di Natuna, Kepulauan Riau. Sebanyak 238 WNI itu tiba di Bandara Internasional Hang Nadim Batam, Kepulauan Riau pada Ahad, 2 Februari 2020.
Awalnya, pihak berwenang di China mengatakan kasus pertama virus corona diketahui pada 31 Desember 2019. Ketika itu, infeksi yang gejalanya mirip dengan pneumonia tersebut diyakini berasal dari pasar hewan dan ikan laut di Wuhan. Data statistik yang dikumpulkan oleh John Hopkins University di Amerika Serikat menunjukkan hampir 82 persen dari sekitar 75.000 kasus virus corona berasal dari kawasan ini.
Dari fakta di atas, pada 1 Februari 2020, Indonesia baru sebatas mengantisipasi WNI yang pulang dari Wuhan. Tanpa antisipasi menyeluruh terkait rencana pencegahan, model penanganan, kebijakan yang akan dikeluarkan, dan persiapan fasilitas-fasilitas kesehatan.
Ironisnya, di saat Virus Corona itu sudah menjangkiti 55 negara pada akhir Februari lalu, Menteri Kesehatan Terawan masih terkesan santai dan menyepelekan sehingga saat ini di Indonesia, infeksi virus corona terus menjadi tragedi, menyebar luas dan memakan korban jiwa.
Bahkan dihitung dari jumlah kasus, kematian di Indonesia karena virus corona termasuk yang tertinggi di dunia. Hal ini terjadi karena pemerintah abai peringatan dini sehingga yang timbul adalah tragedi.
Abai peringatan dini juga terjadi pada masa silam di Indonesia ketika terjadi wabah dunia. Pada masa kolonial, Indonesia yang dulu bernama Hindia-Belanda pada 1918 juga terjadi wabah dahsyat yang memakan banyak korban jiwa, yakni Flu Spanyol.
Wabah influenza yang merebak pada 1918 itu bukanlah penyakit flu biasa. Nama Flu Spanyol berasal dari pemberitaan gencar media massa Spanyol selama pandemi terjadi. Penyebab utama flu ini adalah virus influenza tipe A subtipe H1N1.
Varian virus tersebut jauh lebih berbahaya dibanding virus influenza musiman yang sudah diketahui saat itu. Virus ini bahkan lebih mengancam karena mudah menular melalui udara sehingga bisa merebak ke wilayah yang luas dalam waktu singkat.
Priyanto Wibowo, dkk dalam buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda (2009) dikutip dari Tirto mencatat, ketika pandemi terjadi, populasi dunia diperkirakan 1,7 miliar orang dan 60 persennya terjangkit virus ini. Perang Dunia I juga berkontribusi besar bagi penyebaran virus ini dengan amat cepat karena mobilisasi tentara dan penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya.
Yang mengherankan, korban pandemi ini paling banyak berasal dari rentang umur 20-40 tahun—usia saat imunitas semestinya dalam kondisi prima. Perkiraan jumlah pasien yang tewas akibat pandemi influenza ini pun bervariasi. Dalam kurun Maret 1918-September 1919, ada yang menyebut 21 juta hingga kisaran 50-100 juta jiwa tewas akibat Flu Spanyol di seluruh dunia.
Wabah Flu Spanyol merambah Hindia Belanda sejak gelombang pertama pandemi. Virus diduga dibawa oleh imigran Cina yang berlayar ke Hindia Belanda melalui Hongkong.
Hindia Belanda pun sebenarnya punya Peraturan Karantina Sayangnya, peringatan itu tidak mendapat perhatian yang semestinya dari pemerintah kolonial. Maka itu protokol karantina juga tidak berjalan efektif.
Kapal-kapal dari luar negeri tetap bebas berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda. Begitu pun penumpangnya diperbolehkan masuk kota sebagaimana biasa. Akibatnya, Hindia Belanda mesti berhadapan dengan epidemi yang mematikan tiga bulan kemudian.
Bahkan menurut beberapa riset, tidak ada upaya protokoler untuk mencegah wabah itu hingga satu tahun setelah menjangkiti Hindia Belanda. Hal ini berdampak pada jutaan korban yang berjatuhan.
Pewarta Soerabaia seperti dikutip Historia menyebutkan, hingga 23 November 1918, jumlah korban meninggal akibat berbagai wabah penyakit di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa dan mayoritas adalah korban Flu Spanyol. Sementara menurut Colin Brown dalam The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia, korban Flu Spanyol di Indonesia sebanyak 1,5 juta jiwa.
Pada gelombang pertama, virus tersebut menyerang penduduk di Jawa dan Sumatera pada Juli-September 1918. Sedangkan gelombang kedua, virus itu menyerang wilayah timur Hindia-Belanda pada Oktober-Desember 1918.
Penulis: Fathoni Ahmad