Fragmen

'Kemelut' untuk Chairil Anwar dari Lesbumi Jogja 1966

Rabu, 28 Maret 2018 | 14:28 WIB

Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) NU Yogyakarta mengenang penyair Chairil Anwar dengan pentas drama pada 12 Mei 1966 di Gedung Dwisaga Warsa. 

Peringatan tersebut, menurut laporan Majalah Minggu Pagi, Nomor 08 Tahun XIX, 22 Mei 1966, mendapat perhatian cukup meriah dari pengunjung sebab di dalam undangan tercantum pementasan dua buah drama: Kemelut karya B. Soelarto. Tidak hanya itu, Surat dari Kartini karya Ircham Machfudz HS juga turut dipentaskan. Dua drama itu disutradarai M. Nizar.

Sebelum pementasna, ada ceramahnya dulu, oleh seorang dai bernama Masbuchin. Ia menyampaikan arti Chairil Anwar dalam sastra Indonesia dengan judul: Chairil Anwar sebagai Manusia dan Penyair. 

Masbuchin berkata bahwa peringatan malam itu dimaksudkan untuk menikam sekali lagi ke jantung LEKRA dan antek-anteknya yang sudah sekarat  itu, di mana selama prolognya Gestapu telah melancarkan teror kata dan fitnahan untuk mengecilkan, meragukan dan menyingkirkan arti penyair Chairil Anwar dalam sastra Indonesia. 

“Tapi alhamdulillah usaha-usaha mereka itu gagal dan karya Chairil yang menyuarakan humanisme dan vitalitasnya yang benar itu tetap mengangkatnya sebagai martir,” kata dia. 

Di dalam laporan majalah sama, Nomor 07, Tahun XIX, 15 Mei 1966 memuat sinopsis dari pementasan itu sebagai berikut: 

Harun (M. Nizar) adalah seorang yang waktu muda jadi Muslim yang taat beribadah. Tapi karena ia masuk dalam organisasi buruh di tempatnya bekerja akhirnya kemuslimannya itu luntur dan mulailah harun meninggalkan ibadah-ibadahnya.


Tentunya sebagai seorang istri (Titiek Mardio) yang amat setia pada suami dan terutama pada agamanya, melihat sikap Harun itu tidak senang. Istri memperingatkan suami. Di samping itu, dikiriminyalah ayahnya surat panjang lebar yang menceritakan tentang suaminya itu.


Ayah istri Harun (Romli ABK) yang bertempat tinggal di desa Karang tengah dan terkenal sebagai kiai modern (bekas pemimpin Hizbullah) akhirnya datang ke tempat Harun untuk menyadarkannya.Tapi, di samping itupun Harun sudah didatangi kurir Partai PKI (Sofyan Nurzen) yang memaksa Harun supaya berontak dan mengadakan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang yang merintangi maksud jahat PKI.


Ketegangan sudah dimulai sejak awal cerita. Istri ingin menyadarkan, ayah ingin menyadarkan, tapi di samping itu kurir partai mendesak terus supaya berontak.


Tapi karena segala pembicaraan antara Harun dan kurir partai dapat didengar istri yang kemudian menceritakan pula pada ayahnya, maka pada akhirnya Harun harus pilih: terus dengan istri dan meninggalkan petualangannya atau terus dengan partai itu dan cerai dengan istri.


Akhir cerita: Senjata makan tuan. Si kurir yang telah memberikan senjata kepada Harun (untuk digunakan sebagai alat membunuh) akhirnya ditodong sendiri dengan pistol tersebut oleh harun dan mertuanya dan dibawanya kesel maut! 

(Abdullah Alawi, dikutip dari seputarteater.wordpress.com


Terkait