Kiai Achmad Siddiq merupakan arsitek dalam rancangan NU kembali ke Khittah 1926 dengan menuliskan Khittah Nahdliyyah, risalah penting untuk memahami Khittah NU serta penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi dengan menyusun deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam dibantu KH Abdurrahman Wahid, dan kiai-kiai lainnya pada tahun 1983-1984.
Upaya yang kini menjadikan NU sebagai civil society dengan peran kuat tanpa melibatkan diri dalam politik praktis dan meneguhkan eksistensi Pancasila menunjukkan bahwa para kiai NU tidak begitu saja melakukan langkah tanpa disertai argumentasi-argumentasi logis dan akademis demi kepentingan jangka panjang bangsa Indonesia.
Kiai Achmad Siddiq sendiri menjelaskan secara gamblang Pancasila sebagai asas dalam sudut pandang teologis. Dalam Al-Qur’an, tiga kali dipergunakan lafadh asas yang ketiga-tiganya mengenai asas pendirian masjid (ibadah), yaitu takwa.
Ayat yang menjelaskan hal tersebut ada dalam Qur’an Surat At-Taubah ayat 108-109. Sesungguhnya menurut ajaran Islam, ikhlas dan takwa itulah yang mutlak asasi. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Bayyinah ayat 5. Seperti para ulama pendiri NU yang mencukupkan diri dengan asas ikhlas dan takwa dalam amal ibadah dan amal perjuangannya. (Baca Menghidupkan Kembali Ruh Pemikiran KH Achmad Siddiq, Logos, 1999)
Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan Kiai Achmad Siddiq bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena hal itu dapat mengecilkan Islam dengan ideologi atau isme-isme tertentu.
Problem tersebut seiring dengan isu yang berkembang di kalangan umat Islam saat itu. Bahkan hingga saat ini. Karena eksistensi Pancasila terus dirongrong oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kemudian membenturkannya dengan agama.
Mereka beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti mendepak atau melemparkan iman dan menerima asas tunggal Pancasila berarti kafir, sedang kalau menerima keduanya berarti musyrik. Hal ini ditegaskan oleh Kiai Achmad Siddiq sebagai cara berpikir yang keliru.
Dengan cara berpikir keliru tersebut, Kiai Achmad Siddiq menegaskan kepada seluruh masyarakat bahwa Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dalam arti ideologi, bukan Islam dalam arti agama. Ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yang berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yang tidak lekang seiring perubahan zaman.
Ideologi adalah ciptaan manusia. Orang Islam boleh berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam sebagai agama. Terkait Islam diartikan sebagai ideologi, Kiai Achmad Siddiq memberikan contoh ideologi Pan-Islamismenya Jamaluddin Al-Afghani.
Islam ditempatkan oleh Al-Afghani sebagai ideologi untuk melawan ideologi-ideologi lainnya. Karena saat itu dunia Timur sedang berada dalam penjajahan dan tidur nyenyak dalam cengkeraman penjajahan artinya tidak tergerak untuk melawan kolonialisme.
Maka tidak ada jalan lain menurut Jamaluddin Al-Afghani membangkitkan semangat Islam secara emosional, yaitu dengan mencantumkan Islam sebagai asas gerakan Pan-Islamisme. Sejak saat itu Islam mulai dikemukakan sebagai ideologi politik untuk menentang penjajah.
Hal itu berbeda dengan ulama-ulama di Indonesia yang memahami prinsip ajaran Islam sebagai spirit untuk menumbuhkan cinta tanah air dan sikap nasionalisme. Spirit yang ditumbuhkan para kiai untuk melawan penjajah tidak membawa Islam sebagai ideologi politik pergerakan, melainkan aktualisasi Islam dalam wujud cinta tanah air untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Langkah yang dilakukan para ulama pesantren utama itu berdampak pada pemahaman bahwa umat Islam di Indonesia tidak memahami Islam secara simbolik tetapi substantif. Sehingga tidak ada upaya-upaya bughot (memberontak, mengacau, memecah belah persatuan bangsa) dengan tujuan memformalisasikan Islam ke dalam sistem negara seperti yang dilakukan oleh para pengusung khilafah.
Sebab itu, ulama NU memandang pentingnya penjelasan hubungan Islam dengan Pancasila agar tidak dipahami secara simbolik, tetapi substantif bahwa Pancasila merupakan wujud dari nilai-nilai ajaran Islam. Karena di dalamnya terkandung tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.
Dari kisah perjuangan KH Achmad Siddiq, ada pemadangan menarik ketika momen Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Krapyak, Yogyakarta, lima tahun setelah NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dengan merinci hubungan Pancasila dengan Islam.
Kiai Achmad Siddiq berhasil memukau kerumunan masa berjam-jam untuk ndeprok (duduk) di tanah di bawah terik matahari. Masyarakat ingin mendengarkan penjelasan Kiai Achmad Siddiq bahwa Pancasila itu sejiwa dengan Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah) yang disusun Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Penjelasan Kiai Achmad Siddiq tersebut juga mendapat perhatian dari Cendekiawan Dawam Rahardjo saat itu:
“Cara dia membahas dan memecahkan hubungan antara Pancasila dan Islam tidak saja sistematis, tetapi juga logis tanpa nada apologi. Keterangannya itu bisa dimengerti oleh Pemerintah karena menggunakan terminologi politik modern. Tetapi rakyat juga bisa memahami dan juga menerima argumentasinya karena didasarkan pada metodologi pembahasan fiqih yang dikenal masyarakat,” tutur Dawan Rahardjo yang mengagumi kapasitas intelektual dan kenegarawanan Kiai Achmad Siddiq.
Penulis: Fathoni Ahmad