Fragmen

Kiai Mustofa Bisri yang Saya Kenal: dari Guru Bahasa Arab, Penyair, hingga Wartawan

Sabtu, 10 Agustus 2024 | 07:01 WIB

Kiai Mustofa Bisri yang Saya Kenal: dari Guru Bahasa Arab, Penyair, hingga Wartawan

KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). (Foto: NU Online)

Saya mengenal nama M. Ustov Abi Sri ketika membaca cerpennya di majalah musik dwimingguan Aktuil yang diasuh Remy Sylado sekitar 1975. Saya tahu, nama itu adalah anagram dari ‘Mustofa Bisri’, kiai kelahiran Rembang, 10 Agustus 1944.


Saya diberi tahu tentang nama itu oleh senior saya di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, KH Abdul Khaliq Murod, lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia kini menjadi salah satu pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, Jawa Tengah.


Setelah mengetahuinya, saya bangga karena ada kiai yang menulis sastra dan berharap bisa muncul genre sastra pesantren. Saya teringat paman saya (suami bibi saya), Muhammad Fudholi Zaini, seorang kiai sekaligus hafiz lulusan Al-Azhar, yang berkali-kali mendapat penghargaan sastra.


Nama Kiai Mustofa Bisri sudah saya dengar sejak 1970, ketika saya masih nyantri di Pondok Pesantren Al-Hidayat, Lasem, Jawa Tengah. Kala itu, Kiai Mustofa Bisri baru lulus dari Universitas Al-Azhar lantas diminta mengajar Bahasa Arab ala Mesir di pesantren saya. Kelasnya diikuti sekitar 30 santri yang bertempat di blok H. 


Saya ingin sekali ikut kelas itu. Tapi sayang, waktunya bersamaan dengan jam sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Infarul Ghay yang diasuh Syekh Masduki, mertua Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar. 


Untungnya, paman saya, Abdul Hadi, mengikuti kelas tersebut. Melalui paman, saya bisa mencontek Bahasa Arab Mesir. Kelak, pengetahuan itu sangat bermanfaat ketika saya ditugaskan meliput ke Lebanon, Suriah, Yordania, dan Palestina pada 1982.


Tak Lagi M. Ustov Abi Sri

Berlanjut, saya semakin mengenal Kiai Mustofa Bisri saat Munas NU di Situbondo tahun 1983. Beliau sering bersama dengan, dan berada di sisi, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh yang waktu itu selalu menjadi incaran pers. Keduanya pernah bersama-sama di Mesir. Kiai Mustofa Bisri ikut aktif ketika Gus Dur menjabat Ketua Umum PBNU. 


Tulisan-tulisan beliau kemudian tak memakai nama M. Ustov Abi Sri lagi, tapi langsung nama Mustofa Bisri. Karya-karya sastra beliau—baik cerpen maupun puisi—kerap dimuat di Kompas dan media-media lainnya.


Sebenarnya, sejak 1977, beliau juga mengasuh majalah Risalah NU Jawa Tengah dengan nama samaran Cah Angon. Setelah Muktamar NU 1984, nama beliau muncul sebagai redaktur tabloid Warta NU, Duta Masyarakat Baru, Tabloid Masa, dan lain-lain.


Saya semakin akrab dengan beliau ketika Festival Istiqlal 1991 diselenggarakan. Beliau diminta panitia menerjemahkan puisi-puisi Arab ke dalam Bahasa Indonesia sekaligus membacakannya untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya duduk di sisi beliau di Teater Terbuka TIM dan menyaksikan beliau menerjemahkan karya sastra Arab.


Ketika Tabloid Masa terbit pada 2001, beliau ditunjuk KH Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU 1999-2010) sebagai Pemimpin Redaksi dan saya sebagai Redaktur Eksekutif-nya. Kami rapat sekali di kantor Tabloid Masa di Jl. Kalibata Tengah, Jakarta Selatan. Kami kemudian bertemu lagi di Rembang saat saya menjadi tim penulisan biografi Slamet Riyanto, Dirjen Haji Kementerian Agama.


Setelah itu, saya dan Kiai Mustofa Bisri jarang bertemu, hanya kadang-kadang saja dalam forum-forum NU. Beliau sudah terbang tinggi dan tangan saya yang daif ini tak lagi bisa menyentuhnya.


Musthafa Helmy, Jurnalis Senior NU, Pemimpin Redaksi Majalah Risalah NU


Editor: Ivan Aulia Ahsan