Fragmen

Kisah NU Jombang Mendirikan Poliklinik dalam Tempo Hanya Dua Minggu 

Selasa, 11 Maret 2025 | 03:05 WIB

Kisah NU Jombang Mendirikan Poliklinik dalam Tempo Hanya Dua Minggu 

Logo NU (Foto: NU Online

Nahdlatul Ulama sebenarnya menaruh perhatian tersendiri atas pelayanan kesehatan beberapa tahun setelah berdiri. Namun, perhatian itu tertunda karena NU memiliki prioritas yang harus segera diselesaikan, yaitu masalah-masalah diniyah yang menjadi persoalan keseharian umat. 


Tak heran, dalam muktamar-muktamar awal, keputusan-keputusan NU tidak menyinggung perlunya layanan kesehatan yang dilaksanakan cabang-cabang. Namun, saat Muktamar Ke-11 di Banjarmasin pada 1936, utusan NU Cabang Serang, Banten, melaporkan tentang aktivitas mereka yang memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat umum melalui dua klinik yang beroperasi sejak 2 tahun sebelumnya. Artinya dua klinik itu berdiri sejak 1934. 


Sayang, klinik itu terpaksa berhenti memberikan pelayanan kesehatan karena dokter yang mengelolanya, Zainal Moechtarom, dipindahtugaskan ke Borneo. Zainal adalah dokter pemerintah yang saat itu bertugas di Serang. Sedangkan dokter pengganti Zainal tidak bisa dimanfaatkan jasanya.  


Setelah itu, tak ada kabar lagi tentang NU Cabang Serang mengupayakan kembali pelayanan kesehatan. Namun, pada tahun yang sama, 1936, NU Cabang Jombang, Jawa Timur, dikabarkan mendirikan poliklinik. Informasi itu didokumentasikan Berita Nahdlatoel Oelama edisi 1 Juni 1936 (hlm. 15) pada berita berjudul “NO Tjabang Djombang Beroesaha Mendirikan Moestasjfa (Polikliniek).”


Menurut BNO, poliklinik itu dimulai dengan sebuah pertemuan yang dihadiri KH Wahab Chasbullah pada malam tanggal 23 Muharam 1355 H. Pada kesempatan itu, Kiai Wahab menyampaikan pidato tentang pentingnya bekerja sungguh-sungguh untuk mewujudkan cita-cita, sebagaimana diungkapkan media tersebut: 


“Maka atas pendapatan toean terseboet, tentang maksoed apa sadja tidak akan tertjapai bilamana tidak soeka menggoenakan sendjata kita jang soedah terkandoeng dalam sanoebari kita selama-lamanja: ialah sendjata dan kapitaal soeka bekerdja dengan soenggoeh-soenggoeh2.” 


Menurut BNO, apa yang dikatakan Kiai Wahab sepertinya menyerap ke dalam alam pikiran para kiai dan pengurus NU Jombang. Selepas pidato Kiai Wahab itu, mereka membentuk kepanitiaan membangun poliklinik dengan susunan sebagai berikut: 


1.H. Asj’ari (vorrzitter) 2. M. Mashari (vice voorzitter). 3. Noersjams (penningmeester), 4. M. Madchan (adj. penningmeester), 5. H. Abdoelkadir (secretaris),  6. M. Sjarif (adj. secretaris), 7. KH Bisri (commissaris), 8. H. Mahfoed (commissaris), 9. H. Hasjim (commissaris), 10. M.A. Bakri (commissaris), 11. KH Abdoelwahab (adviseur), 12. Toean Dokter Angka (adviseur).


Selesai dalam Dua Minggu 
Setelah kepanitiaan terbentuk, menurut BNO, para pengurus NU Jombang tidak termangu-mangu di beranda rumah masing-masing, tapi melaksanakan sesuai tugasnya. BNO menggambarkan demikian:


“Dari hal pengobatan diterima oleh Toean Dokter Angka, dan hal pekerdjaan jang lain2 akan dikerdjakan oleh anggauta jang lain.”


Dokter Angka yang disebut BNO diabadikan dalam buku Berangkat dari Pesantren dan Guruku Orang-orang dari Pesantren karya KH Saifuddin Zuhri. 


Pada dua buku diceritakan bahwa suatu ketika pada 1947, Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari mendengar kabar Sekutu merangsek dan menguasai Malang. Mendengar kabar tersebut, Rais Akbar NU yang berusia 76 tahun itu mendadak pingsan setelah mengucap “masya Allah, masya Allah.”


Kemudian para pembantu KH Hasyim memanggil Dokter Angka, dokter Poliklinik NU Jombang yang berdiri pada 1936.  

 

Hal yang cukup menarik, BNO memberitakan tentang proses mewujudkan poliklinik tersebut, yaitu para pengurus NU Jombang hanya membutuhkan waktu 2 minggu. 


“Dalam tempo 15 hari sahadja, roemah dan alat jang digoenakan Polikliniek N.O. tertjapailah dengan lengkap.”


Mungkin kelengkapan poliklinik pada masa itu tidak bisa dibandingkan dengan saat ini. Namun, kekompakan dan segala daya upaya serta keberhasilan para pengurus NU Jombang dalam mewujudkan cita-cita mereka layak untuk diteladani para pengurus NU saat ini. 


Peresmian Poliklinik 
Menurut BNO, Poliklinik NU Jombang itu diresmikan pada 18 Safar 1355 H atau bertepatan dengan 10 Mei 1936. Peresmian dilaksanakan pada sebuah acara Openbaar Lezing di Madrasah NU setempat yang dihadiri oleh sekitar 500 orang. 


Di antara mereka, hadir tamu undangan dari perkumpulan lain seperti Muhammadiyah, KBI, HCT, NH, dan Parindra. Hadir pula Bupati, Asisten Residen, Wedana Jombang, dr Abdoelmadjid, dr Moersito, dan beberapa pengurus NU dari Nganjuk.  


Pada kesempatan itu, hadir juga tiga pendiri NU yang tinggal di Jombang yaitu KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syansoeri. Kiai Bisri mendapatkan tugas untuk memimpin acara, sementara Kiai Hasyim dan Kiai Wahab mendapatkan kesempatan untuk berpidato. 


Keduanya menjelaskan tentang pentingnya NU mengupayakan pelayanan kesehatan kepada umat karena hal demikian sudah ada contohnya di dalam Islam dan sangat diperlukan umat.

 

Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.


========


Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.