Mahbub Djunaidi dan Pembredelan Duta Masyarakat karena Bikin Laporan Kecurangan Pemilu
Selasa, 9 Januari 2024 | 18:30 WIB
Mahbub Djunaidi, sang pendekar pena, namanya begitu melekat dengan koran Duta Masyarakat. Bila diurutkan dari mulai berdirinya media dimiliki oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1954 hingga terbitan edisi 1971, nama Mahbub Djunaidi tercatat paling lama menghiasi susunan redaksi Duta Masyarakat.
Kiprah Mahbub Djunaidi di Duta Masyarakat dimulai sejak 1959 ketika Duta Masyarakat dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin menggantikan Asa Bafaqih, pemimpin redaksi Duta Masyarakat generasi pertama yang diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi Duta Besar RI untuk Sri Lanka dan Aljazair.
Bertepatan Hari Ulang Tahun ke-5 Duta Masyarakat pada 2 Januari 1959, tercantum dalam 'Kolom Redaksi Duta Masjarakat' Mahbub sebagai Anggota Dewan Redaksi, dengan Ketua Dewan Redaksi KH Saifuddin Zuhri dan KH Ahmad Sjaichu.
Di waktu yang sama pula, Mahbub menulis artikel berjudul 'Personalita Koran'. Melalui tulisan itu, ia mencoba menjelaskan identitas Duta Masyarakat sebagai koran milik Partai NU saat itu. Ia juga mengajak surat kabar lain untuk saling berpendapat demi terciptanya demokrasi dan kemaslahatan bangsa Indonesia.
"Sebagai suatu media massa, Duta Masjarakat akan mengusahakan supaya sejauh mungkin dapat mempertahankan apa yang menurut kami “personalita Duta Masjarakat”, benar dan kalaupun gagal, maka itu bukanlah kehendak kami. Sebagai alat publikasi partai, surat kabar ini akan bergantung secara teguh kepada arah pikiran partai. Dengan pengertian-pengertian inilah para pembaca yang terhormat sudi memahami apa yang kami maksud dengan personalita koran. Lima tahun telah membuktikan kebenaran-kebenaran dari apa yang kami kemukakan diatas. Surat kabar bukan semata-mata hanya sejalan dengan pikiran partai, tetapi lebih keras daripada itu, yakni menjadi satu dengan partai. Personalita koran adalah personalita Partai. Partai antara
lain berbicara kepada publik melalui koran. Kami tidak bisa berkata lain dari pada ini. kalaupun kami pada suatu waktu membuat kekeliruan-kekeliruan, maka kekeliruan itu berarti juga kami telah membuat kekeliruan terhadap
partai. Penggolongan-penggolongan masyarakat bukanlah suatu cacat kemanusiaan. Dia adalah salah satu tanda yang jelas sekali daripada kemerdekaan dan demokrasi. Juga surat kabar ini telah memilih golongannya, dan selalu berusaha untuk mengumumkan kepada masyarakat Indonesia tentang pendapat-pendapat yang benar dari golongan ini, sehingga Insyaallah kebenaran-kebenaran (berita-berita) ini dapat diterima oleh
golongan-golongan lain. Dengan demikian, tidak ada salahnya kalu kami katakan bahwa surat kabar ini mempunyai kepribadian, personalita. Dan personalita koran ini jadi satu dengan personalita partai. Jangan salah faham, kami selalu berfikiran baik didalam menyebut istilah golongan, justru kami berpegangan kepada demokrasi dan adalah hak kami, pun hak daripada demokrasi, untuk mengeluarkan pendapat yang bersandar kepada pendapat golongan yang baik dan bermanfaat. Surat kabar hanya akan menganut satu hal pokok, kebenaran yang diridhoi Allah Swt. Kami mengajak rekan-rekan lain yang hidup dalam persuratkabaran untuk mengejar kebenaran ini, demi untuk kemaslahatan Negara yang kita cintai bersama". (Duta Masyarakat, edisi 2 Januari 1959)
Pemimpin Redaksi
Masuknya Mahbub ke Duta Masyarakat ditulis Kiai Saifuddin dalam buku Berangkat dari Pesantren. Sebelum Mahbub, kawannya di PMII dan Ansor, M. Said Budairy sudah terlebih dulu masuk Duta Masyarakat di era Asa Bafaqih. Terjadi dialog saat Mahbub mendapatkan tawaran untuk menjadi Redaksi Duta Masyarakat (Berangkat dari Pesantren, hlm. 606).
"Saya belum pernah bekerja di bagian redaksi koran apapun, bagaimana caranya?" bertanya Mahbub.
Baca Juga
Cerita Gus Dur dan Duta Masyarakat
"Kerjakan saja apa yang saudara bisa, nanti akan tahu sendiri apa yang mesti saudara kerjakan," timpal Kiai Saifuddin Zuhri.
Rupanya, Kiai Saifuddin sudah memantau bakat menulis Mahbub Djunaidi sejak lama. Ia beberapa kali membaca tulisan Mahbub di beberapa media. Ia yakin dengan potensi tersebut, akan memberikan dampak yang bagus, baik untuk Duta Masyarakat maupun untuk Mahbub sendiri.
Masuknya Mahbub di Redaksi Duta Masyarakat, juga disyukuri oleh ayah Mahbub, H Djunaidi. Ia berterima kasih kepada Kiai Saifuddin seraya berseloroh namun bernada serius. "Terima kasih ya akhi, anakku ente pimpin. Tadinya saya khawatir kalau-kalau dia terpengaruh PKI," (Berangkat dari Pesantren, hlm. 606).
Setahun berikutnya, Mahbub dipercaya menjadi Penanggung Jawab Redaksi, menggantikan H Aminuddin Azis yang diangkat menjadi Wasekjen PBNU. Ahmad Zaini dalam Dinamika Pers NU: Studi Sejarah dan Perkembangan Harian Umum Duta Masjarakat Tahun 1954-1971 (2017) mengamati perkembangan Duta Masyarakat pada 1960.
Edisi sore Duta Masjarakat mempunyai semboyan “Membela Kepentingan Islam dan Nasional”, dan edisi paginya pada akhir tahun 1960 mengubah semboyan utamanya menjadi “Pembawa Amanat Penderitaan Ummat”. Slogan 'Pembawa Amanat Penderitaan Ummat' ini, tentu pembaca mungkin akan teringat pada salah satu kalimat yang pernah diucapkan Bung Karno: Amanat Penderitaan Rakyat. Terkait perubahan slogan ini, Redaksi menjelaskan:
"Memenuhi Harapan Ummat atau sebagian dari padanja, samalah artinja dengan ber-chidmah atau mengabdi kepada kepentingan orang banjak, biasanja orang memberikan istilah progressif, sedang agama memberikan istilah sebagian dari pada ibadah. Memang hanja untuk demikian harian ini diterbitkan, sekalipun untuk itu harus ditempuh penderitaan lahir batin. Sembojan jang dipantjangkan oleh harian ini, pembawa amanat penderitaan umat, amatlah djelas menundjukkan arah djalan dan haluan jang ditempuh harian ini. Setiap orang jang berdjoang, jang menegakkan haq dan keadilan, pada hakikatnja adalah pembawa amanat. Dan perdjoangan, pada hakikatnja gelanggang jang diperuntukkan buat menghadapi tantangan derita, baik lahir maupun batin," (Duta Masyarakat, edisi 1 Desember 1960)
Menyemai Jurnalis Muda NU
Duta masyarakat menjadi semacam kawah candradimuka bagi kader muda NU di masa itu yang ingin menggeluti dunia jurnalistik. Selain Mahbub Djuniaidi dan Said Budairy, ada beberapa nama seperti Chalid Mawardi, Dharto Wahab, Anwar Nurris, dan lain sebagainya.
Tidak hanya bagi mereka yang masuk dalam jajaran redaksi dan wartawan, Duta Masyarakat juga membuka interaksi dengan para pembaca, khususnya untuk segmen kawula muda, melalui rubrik Duta Teruna yang memiliki slogan 'Tempat Persemaian Tunas-tunas Muda'. Rubrik ini sudah ada sejak tahun 1958, dengan isi cerpen, surat pembaca, permintaan teks lagu, puisi, cerita bergambar, dan lain sebagainya.
Selain rubrik Duta Teruna, khusus untuk tema sastra, seni dan budaya, di kisaran tahun 1964 atau 1965, Duta Masyarakat juga membuat rubrik khusus yang diberi nama 'Muara'. Rubrik ini tampaknya bekerja sama dengan pengurus Lesbumi. Sejumlah nama seperti H Asrul Sani, H Usmar Ismail, H Misbach Biran, dan lainnya menjadi pengasuh rubrik ini. Hadir tiap sepekan sekali, tiap hari Ahad, rubrik ini berisi sajak, puisi, esai, dan berita-berita dari Lesbumi.
Sebelum meletus peristiwa Gestok, praktis menjadi masa jaya Duta Masyarakat, selain peningkatan oplah dan interaksi dengan pembaca dari berbagai daerah se-Indonesia. Juga dalam konteks mewarnai dinamika pers di Indonesia, Duta Masyarakat menjadi media paling berpengaruh, khususnya bagi umat Islam setelah Harian Abadi dibredel pada 1960.
Beberapa tahun setelah peristiwa Gestok, NU menjadi salah satu partai yang cukup lantang menyuarakan ketidakadilan pemerintah Orde Baru. Begitu juga dengan Duta Masyarakat yang masih menjadi media untuk menuliskan gagasan dan kritikan.
Puncaknya ketika pemilihan umum (pemilu) 1971, di mana Duta Masyarakat membuat laporan khusus mengenai perolehan hasil suara di lapangan dan juga beberapa kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Akibat laporan khusus tersebut, Duta Masyarakat dianggap menuliskan laporan yang tidak sesuai dengan hasil penghitungan suara versi pemerintah, yang berujung pada pembredelan Duta Masyarakat.
Pada saat dibredel, Mahbub Djunaidi mengemban posisi Wakil Pimpinan Umum. Edisi terakhir Duta Masyarakat yang terdapat di perpustakaan nasional bertanggal 30 Okotober 1971 dengan susunan redaksi sebagai berikut:
Pemimpin Umum: M. Jusuf Hasjim
Wakil Pemimpin Umum: H Mahbub Djunaidi
Pemimpin Redaksi: HM. Anshary Sjams
Wakil Pemimpin Redaksi: H Harun Al-Rasjid
Dewan Redaksi: HM. Anshary Sjams, H Harun Al-Rasjid, HM. Said Budairy, M. Anwar Nurris, Muhammad S, HA. Chalid Mawardi, Moh Djazim, Drs. Mardji’in Sjam, H Zain Badjeber
Direksi/Pemimpin Perusahaan: HM. Danial Tandjung
Setelah vakum hampir 27 tahun, pada era reformasi Duta Masyarakat kembali muncul dengan nama Duta Masyarakat Baru, dan pada perkembangannya hingga tahun 2024, surat kabar ini masih eksis dengan nama seperti di tahun 1960-an, Duta Masyarakat.