Mahbub Djunaidi yang Bersahaja dan Banyak Karya
Rabu, 30 September 2020 | 14:00 WIB
Ajie Najmuddin
Kontributor
Mahbub Djunaidi, sebuah nama yang masih sering disebut-sebut hingga saat ini, meski ia telah wafat pada tanggal 1 Oktober, 25 tahun silam. Semasa hidupnya, Mahbub dikenal sebagai seorang kolumnis, aktivis, dan segudang predikat lain yang melekat kepadanya. Tentu yang paling dikenal khalayak umum, predikat sebagai seorang penulis.
Ia menulis beberapa buku yang cukup populer seperti Dari Hari ke Hari (memenangkan sayembara mengarang roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1974), kemudian beberapa buku terjemahan antara lain 100 Tokoh yang Berpengaruh dalam Sejarah (karangan Michael Hart), Cakar-cakar Irving (Art Buchwald), Binatangisme (George Orwell), dan lain sebagainya.
Sejumlah tulisannya di majalah Tempo dan Kompas, kemudian juga dibukukan dalam judul Asal Usul dan Kolom Demi Kolom. Yang terbaru, seorang kawan di Solo menerbitkan kembali buku Mahbub berjudul Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan, sebuah memoar perjalanan Mahbub ketika ia melakukan tugas perjalanannya ke Filipina, di tahun 1968.
Gaya penulisan dari Mahbub dikenal sebagai tulisan yang singkat, padat, ringan, dan enak dibaca. Yang paling khas, tentu cara dia menyisipkan sindirannya secara jenaka. Dengan lincah, halus, dan tentu secara jenaka ia membahas persoalan demokrasi, hak asasi manusia, korupsi, kelakuan para pembesar, kebejatan moral, kehidupan rakyat kecil, dan berbagai persoalan masyarakat lainnya yang cukup kompleks.
Seperti yang ia sampaikan dalam salah satu tulisannya yang mengkritik pemerintah demokrasi a la rezim orde baru.
“Demokrasi itu bisa dibunuh di dalam lembaga demokrasi, oleh para demokrat, dengan cara-cara yang demokratis,”
Beberapa artikel dan buku yang ia tulis yang bernada sindiran kepada penguasa, justru ia tulis di masa Orde Baru tengah kuat-kuatnya berkuasa. Artinya, ketika kebebasan menyatakan pendapat sedang dicekik dan teror mental sedang merajalela dalam segala bentuknya.
Pandangannya yang kritis tentu membuat gerah para penguasa yang otoriter dan anti-kritik. Ia pun pernah dipenjara, tanpa alasan dan tuduhan yang jelas. Pada sebuah momen Lebaran, dari jeruji sel, ia menulis surat untuk keluarganya:
“Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai. Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan. Benda sama sekali tak menjamin kebahagiaan hati. Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun juga. Papa orang yang sudah banyak makan garam hidup. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bias memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan.”
Karakter Mahbub yang berani dan penuh kesederhanaan ini rupanya juga menurun dari sang ayah, Kiai Djunaidi, seorang pejabat tinggi Kementerian Agama di masa awal negeri ini berdiri. Teladan dari sang ayah semisal ketika mereka pindah ke Solo. Tentu, sebagai seorang pejabat tinggi, mestinya Kiai Djunaidi bisa memilih tempat yang lebih baik untuk ditinggali.
Namun alih-alih mencari rumah yang bagus dan lengkap dengan perabotannya, ia justru tinggal di sebuah pendopo di daerah Kauman. “Berhubung pemerintah sendiri masih repot, urusan rumah bukan menjadi perhatiannya,” kata Kiai Djunaidi memberi pengertian kepada keluarganya.
Penulis: Ajie Najmuddin
Editor: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua