Mengenang Harlah Ke-40 NU (1): Boleh Sibuk Berpolitik, tapi Tujuan Pokok Nahdlatul Ulama adalah Beramal
Rabu, 7 Februari 2024 | 21:00 WIB
Pada 1966, NU memasuki usia ke-40 menurut perhitungan kalender Masehi. Waktu itu, NU berstatus partai politik yang dipimpin Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Hasbullah dan Ketua Umum KH Idham Chalid. Untuk menyambut usia empat dasawarsa, NU mengadakan peringatan hari lahir (harlah) akbar di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Momen ini adalah untuk pertama kalinya NU menggelar acara di stadion tersebut. Harlah NU ke-40 itu diikuti lebih dari 100.000 orang.
Istilah ‘harlah’ yang mengacu kepada peringatan ulang tahun NU dan badan otonom serta lembaganya pun muncul pertama kali pada tahun tersebut. Berdasarkan keterangan sekretaris Panitia Harlah NU Ke-40, H.A. Chalid Mawardi, ketika saya wawancarai pada 2014, dirinyalah yang mengusulkan istilah harlah pada sebuah rapat kepanitiaan.
Menurut dia, pada waktu itu, masing-masing organisasi memiliki istilah khusus untuk peringatan ulang tahunnya; misalnya TNI menggunakan HUT, Muhammadiyah menggunakan milad, PKI menggunakan istilah ultah, sementara NU belum punya.
Baca Juga
Harlah NU dan Amanah Bung Karno
Pada rapat panitia itu, menurut Chalid Mawardi, ada beberapa tawaran istilah. Salah seorang tokoh mengusulkan ‘harhir’ sambil tertawa-tawa. Istilah itu pun tertolak dengan sendirinya. Meski demikian, suku kata ‘har’ yang diucapkan tokoh itu menginspirasi Chalid yang segera mengusulkan ‘harlah’. Secara bulat, istilah itu diterima dan digunakan hingga sekarang.
Tambah usia tambah amal
Orang yang menjadi ketua panitia peringatan harlah adalah H Djamaluddin Malik. Panitia harlah juga menerbitkan sebuah buku dengan judul Tambah Usia Tambah Amal, Sejarah Ringkas Nahdlatul Ulama. Pada pengantar buku disebutkan, kalimat ‘tambah usia tambah amal’ merupakan usul dari KH Idham Chalid dan diterima semua pihak.
Dijelaskan pula bahwa buku itu lahir atas upaya tim yang mendapatkan informasi sejarah dari arsip-arsip NU, buku, serta keterangan langsung dari para pengurus NU yang merupakan pelaku sejarah seperti KH Wahab Hasbullah, KH Saifuddin Zuhri, KH Idham Chalid, dan lain-lain.
Nahdlatul Ulama, menurut buku tersebut, didirikan untuk beramal, sehingga dengan bertambahnya usia berarti bertambah pula amalnya. Jika ditengok sejarahnya, NU, yang didirikan para ulama pesantren berhaluan ahlussunah wal jama’ah di Surabaya pada 31 Januari 1926, dimulai dengan cita-cita untuk beramal. Amal tersebut ditujukan untuk umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Pada awal didirikan, NU berupaya dengan amal yang tak kecil yaitu mengirimkan Komite Hijaz. Komite ini ditujukan tidak hanya untuk umat Islam Indonesia, tapi dunia Islam pada umumnya. Komite Hijaz merespons kebijakan Raja Ibnu Saud pada saat itu dengan memberlakukan hanya satu mazhab di Tanah Suci dan berupaya menghancurkan situs-situs sejarah peninggalan Nabi Muhammad, keluarga, serta para sahabatnya.
Keberhasilan Komite Hijaz dari Nahdlatul Ulama merupakan amal NU yang terasa oleh umat Islam di seluruh dunia dari masa ke masa, terutama bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci. Tak hanya Komite Hijaz, NU kemudian secara perlahan-lahan beramal dalam berbagai bidang, mulai pendidikan keagamaan hingga sosial dan politik.
“Nahdlatul Ulama sejak berdirinya dengan giat mendirikan tempat peribadatan seperti langgar-langgar, masjid-masjid serta tempat-tempat pendidikan seperti pondok-pondok, pesantren-pesantren, madrasah-madrasah yang tersebar di seluruh Indonesia. Sesuai dengan bidang usaha dan perjuangan Nahdlatul Ulama di masa itu sebagai ormas Islam yang bergerak semata-mata di bidang dakwah Islamiyah, sosial dan pendidikan serta pengajaran.
Walaupun demikian, hal ini tiadalah mengurangi aktivitas-aktivitas Nahdlatul Ulama dalam perjuangan di bidang politik untuk kepentingan agama, bangsa dan tanah air,” tulis buku tersebut (hlm. 50).
Amal NU pada masa penjajahan Belanda di antaranya adalah memperjuangkan pencabutan Guru Ordonantie, menolak kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang membedakan golongan dan menganaktirikan umat Islam, melarang pemuda-pemuda Islam mengikuti milisi Belanda, dan banyak lagi.
Pada zaman fasisme Jepang, NU menghadapi tantangan baru. Menurut sejarawan Erwien Kusuma, pada masa awal kehadirannya, pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan peraturan yang melarang aktivitas organisasi.
“Tidak hanya NU, semua organisasi tak boleh aktif,” kata penulis buku Jawa Haqqu Kyai: Sejarah Nahdlatul Ulama pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) itu.
Sampai kemudian, kata Erwien, Jepang melakukan kajian satu per satu terhadap organisasi-organisasi atau meminta izin satu per satu. Akhirnya, Jepang membolehkannya. Secara parsial, misalnya, sekolah Habib Ali Kwitang di Jakarta mendapat izin operasi dari Jepang. Beberapa sekolah NU juga dibolehkan beroperasi.
“Secara kelembagaan, MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) dipulihkan oleh Jepang, beberapa organisasi dipulihkan juga. Dipulihkan dalam arti, ya sudah, boleh beroperasi lagi. Itu ada NU, ada Muhammadiyah, ada PSII, dan yang lain-lain,” tambahnya.
Pada masa ini, tokoh-tokoh NU pernah melakukan perlawanan terhadap kebijakan dan kekejaman Jepang. Misalnya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menolak seikerei kepada Tenno Heika. Hal serupa dilakukan KH Zainal Musthafa, tokoh NU di Tasikmalaya.
Waktu berlalu, generasi berganti, semangat zaman berubah. Setelah Republik Indonesia diproklamasikan, NU mendelegasikan tokoh-tokohnya untuk turut serta dalam perumusan dan pembentukan dasar negara. Pada masa Revolusi, NU memaklumatkan Resolusi Jihad untuk menolak rekolonisasi Belanda. Bersama dengan elemen lain, NU juga berjuang mempertahankan kemerdekaan.
“Memang NU tidak pernah absen dalam perjuangan bangsa Indonesia dan dalam revolusi Indonesia, bahkan boleh dikatakan bahwa NU sudah menjadi darah daging dari revolusi kita,” ungkap Wakil Perdana Menteri Pertama/Menteri Luar Negeri Dr H Subandrio dalam Tambah Usia Tambah Amal.
Pada usia ke-40, usaha pokok (amal) NU ada pada 8 bidang, yaitu pembentukan masyarakat islamiyah; politik; ekonomi; sosial; pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan; perburuhan; pertahanan dan keamanan; serta politik luar negeri. Masing-masing bidang tersebut terdiri dari beberapa poin perincian.
Kini, NU telah memasuki usia ke-101 tahun. Tentu saja, kalimat KH Idham Chalid “tambah usia tambah amal” masih berlaku dan akan terus berlaku. Kalimat itu diwariskan dan dilaksanakan oleh para pengurus dan warga NU dengan menyesuaikan kebutuhan zaman.