Masyarakat Betawi meyakini karamah yang terdapat pada sosok habibbisa memberikan keberkahan. Karena itu mereka umumnya pernah berkunjung, berziarah ke makam habib, mendatangi pengajiannya, meniru dan meneladani perilakunya, sehingga terlihat di rumah-rumah masyarakat Betawi terpajang foto-foto ulama dan habib sebagai wujud kecintaan mereka. (Foto: dok istimewa
Peran tokoh agama seperti kiai, habib, dan ulama merupakan hal penting bagi perkembangan sosial kemasyarakatan di etnis Betawi baik terkait dengan aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, terutama aspek keagamaan, sehingga menjadikan mereka sosok figur yang terpandang dan terhormat secara status sosial di kehidupan sehari-hari.
Secara umum, pandangan masyarakat Betawi terhadap sosok ulama itu didasari pada dedikasi mereka dalam penyebaran dakwah Islam serta perjuangan terbebas dari penjajahan. Kecenderungan ini menjadikan masyarakat Betawi sebagai etnis yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan menumbuhkan rasa cinta kepada tokoh yang menyebarkan keagamaan itu.
Rasa cinta tersebut membentuk perilaku yang berbeda sebagai wujud penghormatan mereka terhadap figur ulama, dengan perilaku sopan santun dan mempertahankan tata krama. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, wujud penghormatan ini akan terlihat berbeda ketika ulama tersebut termasuk di antara golongan keturunan Hadrami atau biasa disebut Habaib (bentuk plural dari Habib).
Sayyid Zainal Abidin Assegaf dalam bukunya Silsilah Keturunan Sayidina Hasan dan Sayidina Husein Cucu Nabi Muhammad SAW (2007) menyebutkan bahwa Habib adalah gelar untuk keturunan Nabi Muhammad SAW yang menjadi Habibullah (kekasih Allah. Karena datuknya bergelar Habibullah maka anak cucu keturunan Nabi Muhammad SAW dijuluki habib yang berarti orang yang dicintai. Gelar habib ini digunakan untuk mereka yang memegang ajaran Islam dari kalangan ahlul bayt Nabi Muhammad SAW.
Pada awalnya, sejarah habib di Betawi dikenal melalui jalur perdagangan di mana komunitas Arab datang bertujuan mencari kemakmuran dengan berdagang. Kemudian terjadi proses asimilasi antara orang Arab dan Betawi yang cukup lama, sehingga melahirkan kebudayaan yang khas identik dengan pembauran budaya setempat dengan ritual keislaman. Fenomena sikap toleransi masyarakat Betawi dalam menerima kedatangan para habaib yang membaur dengan budaya setempat ini menjadikan kekuatan akan banyaknya minat etnis Betawi yang tulus memeluk Islam dan mempelajarinya.
Peran habaib di tanah Betawi selain mengajarkan agama, mereka juga mengimplementasikan ilmu Tasawuf dan Tarekat Alawiyah. Secara embrio, menurut Dr Sayid Umar Ibrahim Assegaf, tarekat tersebut bermuara kepada keluarga Ba’alawi yakni Sayid ‘Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir yang berada di Hadramaut, Yaman. Ritual alawiyah ini pada kondisi sekarang menjadi praktik umum yang sudah membaur dengan tradisi masyarakat muslim Betawi, seperti muludan, ratiban, manaqiban, tahlilan, dan sebagainya.
Di samping itu, para habaib juga sama dengan ulama lokal lainnya dalam memperjuangkan kemerdekaan serta merawat bangsa dengan segala pengorbanan jasa yang tiada terpaut imbalan. Sebagaimana terkenal kiprah dakwah Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang) dalam perjuangan mengembangkan dakwah dan pendidikan di era transisi kemerdekaan.
Begitu juga dalam mendampingi pemerintah, para habaib juga aktif dalam mengkritisi kebijakan atau bahkan ikut andil dalam membentuk kebijakan. Sayid Ahmad bin Jindan pada suatu kajian al-Fachriyah di tahun 2017, menceritakan sosok Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi (putra Habib Ali Kwitang) yang menjadi penasihat Presiden Soeharto di masa Orde Baru. Padahal, dalam banyak literatur kita ketahui bahwa Orde Baru adalah masa yang dikenal 'otoriter' karena banyak kezaliman yang dialami masyarakat, tetapi posisi Habib Muhammad Kwitang sebagai pendakwah tetap memberikan arahan dan nasihat yang tulus untuk Presiden.
Dalam hal mempelajari ilmu agama, banyak kita temui para kiai-kiai besar di Betawi yang ternyata mereka juga berguru kepada habaib, antara lain KH Abdullah Syafi’i, KH Syafi’i Hadzami, dan KH Abdurrahman Nawi. Di antara tokoh guru golongan habaib di masyarakat Betawi yaitu Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang), Habib Ali bin Husein al-Attas (Bungur), Habib Salim bin Jindan, dan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Selain fakta-fakta sosiologis mengenai penghormatan kepada habaib, masyarakat Betawi yang identik dengan menjunjung nilai-nilai keislaman memahami bahwa penghargaan tinggi terhadap habaib adalah perintah syariah yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Salah satunya adalah Surat Al-Ahzab ayat 33:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bayt dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."
Dari beberapa penjelasan di atas dapat digambarkan bahwa status figur habaib bagi masyarakat Betawi adalah orang-orang dengan kedudukan terhormat berdasarkan aspek genealogis, agama, dan status sosial. Maka dari itu tidak heran bahwa masyarakat Betawi memberikan penghormatan yang berbeda dari tokoh agama lainnya.
Penelitian Faiz Fikri Al Fahmi yang berjudul Tinjauan Kritis Fenomena Habaib dalam Pandangan Masyarakat Betawi (2020) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan dalam pandangan, sikap dan kecenderungan masyarakat Betawi terhadap tokoh Agama golongan habaib, di antara faktornya karena dianggap sebagai keturunan murni Nabi Muhammad SAW, kapasitas keilmuan yang mumpuni, serta kesucian batinnya.
Masyarakat Betawi meyakini karamah yang terdapat pada sosok habib, yang diyakininya bisa memberikan keberkahan. Karena itu mereka umumnya pernah berkunjung, berziarah ke makam habib, mendatangi pengajiannya, meniru dan meneladani perilakunya, sehingga terlihat di rumah-rumah masyarakat Betawi terpajang foto-foto ulama dan habib sebagai wujud kecintaan mereka.
Akan tetapi, tidak sedikit dari sebagian mereka yang terlalu fanatik kepada habaib sehingga terlalu memberikan penghormatan yang lebih ketimbang figur kiai atau ustaz yang walaupun secara integritas keilmuan lebih mumpuni hanya saja tidak bergelar habib.
Oleh karena itu, dapat dipahami bagaimana figur habaib di mata masyarakat Betawi yang memposisikan mereka sebagai elit agama yang disegani dan dihormati sehingga hal ini dapat menjadi jawaban bahwa dalam setiap tradisi keagamaan di Betawi seperti sunatan, aqiqahan, syukuran, dan lain sebagainya, para Habaib dianggap elit agama penting yang ditunggu kehadirannya di samping para kiai serta tokoh sosial lainnya.
Ahmad Rifaldi, Mahasiswa Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.