Dalam politik, siapa pun bisa bersitegang dengan orang lain karena berbeda pilihan dan pandangan. Begitu juga dengan dua tokoh bangsa, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Bacharuddin Jusuf Habibie. Keduanya berseberangan secara politik, terutama ketika Habibie bersama Soeharto mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1990 yang menempatkan Habibie sebagai ketua umum pertamanya.
Dengan kepemimpinan Habibie dan peran Soeharto di dalamnya, ICMI menjelma seolah menjadi organisasi penguasa. Kondisi demikian membuat ICMI bisa menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan organisasi swasta tersebut. Penggunaan fasilitas negara oleh ICMI terlihat ketika mereka menempati berbagai kantor departemen sebagai kantornya.
Bukan hanya itu, bahkan ICMI menggunakan dana negara untuk setiap kegiatannya serta merektur pegawai dan pejabat pemerintahan sebagai anggatanya. Dengan demikian, siapa saja yang masuk ICMI karir politik dan jabatannya di pemerintahan bakal lancar. Sebaliknya, yang menentang bakal bernasib susah. Tak pelak kebijakan tersebut ditentang Gus Dur karena dianggap diskriminatif dan sektarian.
Saat Presiden Soeharto lengser, ICMI yang terlalu menggantungkan diri pada fasilitas negara dipaksa mengembalikan seluruh aset negara yang digunakan oleh organisasi. ICMI tenggelam menjadi organisasi biasa yang tadinya cukup ditakuti. Namun, secara pribadi Gus Dur memiliki empati yang tinggi terhadap bekas rivalnya, Habibie.
Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mencatat, setelah dilantik menjadi Presiden RI pada 1999 Gus Dur langsung mengunjungi Habibie di rumahnya. Tidak hanya itu, ketika istri Habibie, Hasri Ainun Besari dirawat di Belgia, Gus Dur menjenguknya setelah perjalanan dari memenuhi undangan seminar di Jerman dan Belgia saat itu. Tak pelak Habibie saat itu kaget melihat Gus Dur rela menengok keluarganya di Brussel. Gus Dur diterima dengan hangat di tengah kondisi cuaca dingin di kota kecil tersebut.
Selain sebagai seorang insinyur dan penemu sejumlah komponen aerodinamika pesawat terbang ini, BJ Habibie juga dikenal sebagai Muslim yang taat. Saat meletakkan jabatan Presiden RI dan menyerahkannya kepada BJ Habibie pada 1998, Soeharto dengan jelas menyebut pria kelahiran Parepare, 25 Juni 1936 ini sebagai 'orang shaleh'.
Kecerdasan BJ Habibie mendapat kesan yang baik dari Soeharto. Dia mendapat amanat untuk memikul jabatan Menteri Riset dan Teknologi pada era Orde Baru selama hampir kurun 20 tahun. Predikat 'orang shaleh' juga membawa dirinya dipercaya Soeharto untuk memimpin Ikatan Cedekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dibentuk pada 7 Desember 1990 di Universitas Brawijaya Malang melalui Simposium Cendekiawan Muslim Cendekiawan Muslim.
Menurut Greg Barton dalam The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003), salah satu tujuan Soeharto mendirikan ICMI adalah memisahkan kaum modernis dari kaum tradisionalis. Dengan demikian mereka tidak bisa bekerja sama untuk melawannya. Hal ini terbukti ketika pada awal tahun 1990-an, Amien Rais, orang yang memang biasa bersuara lantang belum lagi bersikap kritis terhadap Soeharto. Posisinya di Dewan Ahli ICMI sedikit banyak membuatnya bungkam.
Terbentuknya ICMI dengan ketua pertamanya, BJ Habibie tidak hanya dipandang Gus Dur sebagai langkah politis Soeharto dalam melokalisir tokoh-tokoh cendekiawan di bawah kendalinya, tetapi juga dilihat sebagai pembonsaian peran cendekiawan bagi kepentingan bangsa Indonesia secara luas. Gus Dur berharap ICMI sebagai sebuah wadah mencapai kesuksesan, namun ia dengan tegas menyatakan bahwa tempat dirinya bukan di situ (ICMI).
Saat itulah Gus Dur menanggapi terpilihnya seorang BJ Habibie sebagai Ketua ICMI pertama. Dalam Majalah AULA Nahdlatul Ulama edisi Januari 1991 halaman 28, Gus Dur mengenal BJ Habibie dan hormat kepadanya karena dia seorang pembantu presiden (Menrsitek). Gus Dur juga mendengar bahwa Habibie seorang perancang pesawat. Labih dari itu, dia dengan jelas mengatakan bahwa dirinya tidak mengenal Habibie.
"Saya tidak mengenal Habibie. Namun, saya hormat karena dia pembantu presiden, saya dengar dia perancang pesawat dan dihormati di luar negeri. Saya turut bangga. Saya cuma berdoa supaya wadah itu (ICMI) sukses. Ketuanya Habibie atau bukan, yang penting sukses. Tapi tempat saya ndak di situ...."
Awalnya, pembentukan ICMI dalam kegiatan Simposium Nasional Cendekiawan Muslim di Unibraw Malang itu banyak yang memandang akan membawa angin segar umat Islam dari pemerintah. Juga merupakan harapan cerah bagi masa depan Islam karena organisasi ini dimpimpin oleh BJ Habibie, seorang intelektual yang cukup disegani di Indonesia dan di Eropa.
Namun, Gus Dur menyatakan bahwa ketidakhadiran dirinya pada Kongres ICMI di Malang lebih dikarenakan adanya pembatasan nama-nama yang diundang. Gus Dur menyebut, sepertinya hanya mereka yang 'Islam Masjid' yang boleh masuk ICMI. Sedangkan 'Islam Alun-alun' sama sekali tidak diajak, baik sebagai eksponen maupun pembawa makalah.
Gus Dur menegaskan bahwa keberatannya kepada ICMI bukan sebagai keberatan NU secara institusi, melainkan keberatan diri pribadinya. Karena orang NU seperti Yusuf Hasyim dan KH Ali Yafie termasuk yang hadir dalam simposium tersebut.
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan