Fragmen

Sejarah LP Ma'arif NU (2): Bermula dari Penataan Organisasi

Selasa, 7 Oktober 2025 | 13:00 WIB

Sejarah LP Ma'arif NU (2): Bermula dari Penataan Organisasi

Para santri Pondok Pesantren Sukamiskin Kota Bandung (Foto: Dok. Pondok Pesantren Sukamiskin)

“Maqshoed N.O. bagian idaran ke-III itoe, mengchadjatkan kepada beberapa tenaga rata, karena oemmat dan masjarakat jang akan dibimbing  (dikembalikan) ke dalam ‘alam (islamij itoe, melipoeti segala lapisan.”


Kutipan di atas merupakan tulisan dari KH Abdulhalim Shiddiq – salah seorang saksi sejarah pertumbuhan Nahdlatul Ulama. Tulisan yang dimuat dalam Berita Nahdlatoel Oelama, Nomor 5 Tahun 8, 1 Januari 1939 (Halaman 79) itu, berjudul “Riwajat dan Djasa N.O”. Sebuah refleksi atas perjalanan tiga belas tahun dari organisasi kalangan Islam bermadzhab tersebut.


Tulisan dari adik kandung Ketua Umum PBNU ketiga (KH Machfudz Shiddiq) itu, memberikan pemahaman akan kesejarahan Nahdlatul Ulama. Sebagai sebuah organisasi, NU tumbuh secara gradual. Meskipun secara konseptual sejak awal didirikan telah matang, namun dalam penyiapan perangkat organisasi secara modern dilakukan secara bertahap. 


Seperti halnya “anggaran dasar”, sebagai panduan utama sebuah organisasi, telah dirumuskan sejak awal. Meski diragukan oleh sejumlah pihak, namun Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (1984: 69-70) menegaskan jika hal tersebut disusun sejak awal. Akan tetapi, untuk perangkat lainnya, disusulkan kemudian. Mulai dari rechpersoon, anggaran rumah tangga hingga perangkat organisasi seperti lembaga atau badan otonom dipenuhi secara bertahap.

 

Rechpersoon, misalnya, baru diputuskan pada Muktamar IV NU di Semarang (1929). Saat itu, diputuskan jika rechpersoon NU dimohonkan kepada pemerintah sebagai sebuah perkumpulan pribumi (SNO, No. 4 Th. III, Hal. 83)


Penyempurnaan perangkat organisasi itu, guna memenuhi tantangan zaman. Baik dari sisi eksternal –  seperti halnya pemenuhan administrasi pemerintah kolonial masa itu, maupun dari sisi internal – seperti halnya semakin berkembangnya jumlah jamaah, kepengurusan cabang maupun amal usaha.


Salah satu faktor internal yang turut mempercepat pertumbuhan organisasi NU adalah madrasah. Sebagai khittah awal berdirinya NU, keberadaan madrasah semakin menjamur seiring dengan semakin berkembangnya Cabang-Cabang NU di berbagai daerah. Hal ini, menyebabkan kebutuhan akan panduan yang jelas dan penanggungjawab struktural yang pasti.


Situasi tersebut, lantas mendorong Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) merumuskan Huishoudelijk Reglement/ Pranataning Gegeriya Pakempalan atau Anggaran Rumah Tangga (ART). Draft penyusunan ART tersebut disepakati pertama kali dalam Muktamar V NU di Pekalongan pada 8 – 11 September 1930 (SNO, No. 4 Tahun III, Hal. 79). Rancangan tersebut diantaranya memuat tentang pembagian kinerja di dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama. 


Sebagaimana dimuat dalam SNO, No. 1 Tahun III, halaman 7-8, NU memiliki lima bagian. Mulai dari Bagian Urusan Umum, Urusan Piwulangan (Pendidikan), Urusan Artha (Harta), Urusan Pendamelan (Pekerjaan) Umum, serta Urusan Tetanen (Pertanian), Yasan (Pembangunan) dan Sesadehan (Perdagangan). Dari pembagian tersebut, muncul Urusan Piwulangan yang menjadi cikal bakal dari LP Ma’arif kelak. Dalam sumber yang sama, Urusan Piwulangan memiliki tugas sebagai berikut:


“Bagian II [Bagian Urusan Piwulangan] dipun wajibaken: (1) merihatosaken sedayaning urusan piwulangan, kados toh meranatha nidzamipun piwulangan, daftar waktuning mulang, saha malih kitab ingkang sayugya den wulangaken. (2) ikhtiar ngawontenaken madrasah ibtidaiyah, madrasah wustha, madrasah Aliyah. (3) Piwulangan hing griya, hing langgar utawi hing pondok-pondok. (4) Tablig-tablig lan sak piturutipun.”


Dalam draf ART tersebut, ada empat tugas dari Bagian Urusan Piwulangan. Yang pertama (1), memperhatikan seluruh urusan pembelajaran. Seperti halnya menata tata tertib pembelajaran, daftar waktu mengajar, juga kitab yang seyogyanya tepat untuk diajarkan. Dua (2), berikhtiar untuk mendirikan madrasah ibtidaiyah [SD], madrasah wustho [SMP] dan madrasah Aliyah [SMA]. Ketiga (3), mengadakan pembelajaran [madrasah], baik di rumah, di langgar [mushala], ataupun di pondok-pondok. Dan keempat (4) mengadakan tablig dan lain sebagainya.


Konsep tersebut terus dimatangkan dari waktu ke waktu. Pada muktamar keenam di Cirebon (24 – 26 Agustus 1931), sedianya bakal dibahas secara teknis tentang kinerja dari Urusan Piwulangan tersebut. Hal ini ditandai dengan masuknya vorstel (usulan) dari HBNO tentang  dunia pendidikan NU. Berikut redaksi lengkapnya sebagaimana dimuat dalam SNO, No. 8 Tahun III, Syaban 1348 H, Hal. 168:


“Membicarakan hal guru-guru buat madrasah-madrasah Nahdlatul Ulama, begitu juga hal guru-guru, pengajaran-pengajaran yang ditetapkan buat itu madrasah.”


Sayangnya, usulan tersebut tak terbahas di muktamar. Hal ini kemudian dibahas secara khusus oleh HBNO dengan meminta bantuan Kiai Muhammad Dimyathi yang merupakan pemuka di Madrasah Mambaul Ulum, Solo. Beliau kemudian membuat semacam draf tata kelola pendidikan madrasah dan rancangan kurikulum pengajarannya. Draf tersebut kemudian dicetak dalam undangan Muktamar VII NU yang akan digelar di Bandung pada 15-19 Agustus 1932.


Pada undangan tersebut, tertulis demikian:


Berhubungannya dengan seruan beberapa cabang yang hajat sekali kepada pimpinan madrasah tentang ikhtiar untuk mengajar kanak-kanak, yang selaras dengan kekuatan pikiran dan hatinya itu kanak-kanak, dan diatur sebagai suatu aturan yang sebisa-bisa dijalankan dengan apa yang telah ditetapkan oleh penganjur madrasah, terutama sebagai yang nanti akan ditetapkan pada kongres yang ke tujuh ini. Maka, al-idarah al-aliyah lalu minta pemandangan pada suatu ahli al-mudaris, yaitu yang mulia tuan Muhammad Dimyathi bin Abdul Karim Kauman, Samiyan, Surakarta, yang mana beliau lalu mengirimkan rencana sebagai yang akan diterangkan di bawah.”


Dalam rancangan yang dikirim oleh Kiai Dimyathi tersebut, terdiri atas tiga pengharapan akan tata kelola madrasah. Harapan tersebut berkisar tentang keseriusan dalam mengelola madrasah. Selain itu, juga ia memberikan enam saran terkait dengan sistem dan komitmen seorang guru. Kemudian dilanjutkan dengan skema akan matrikulasi pembelajaran di madrasah dan usulan kitab yang jadi rujukan.


Di akhir, Kiai Dimyathi juga mendorong untuk mengembangkan Bagian Urusan Pengajaran yang sebelumnya telah ada di HBNO. Beliau menulis demikian:


“….dan komisi pun diserahi mendirikan pengurus (dewan) Bagian Urusan Pengajaran dalam Idarah Aliyah yang bahagian dari: satu (1) rais, satu (1) katib, dua (2) a’dla [anggota] atau lebih, satu (1) mudir (direktur) dan mufatis, karena ini perlu sekali untuk membikin qonun-qonun (wet-wet) madrasah dan mengurus keperluhan di atas dengan seluas-luasnya bagi mengemudikan Bagian Urusan Pengajaran (Departement Onderwijs).”


Usulan dari Kiai Dimyathi tersebut, merupakan penyempurnaan dari draf awal ART tentang Bagian Urusan Piwulangan yang disinggung di awal. Dalam draf tersebut, juga dikemukakan konsep struktur kepengurusannya yang terdiri dari rais, katib, a’dla (anggota), mudzir, inspektur dan para guru (SNO, No. 1 Tahun III, Hal. 8). Namun, pada nantinya, penyempurnaan konsep dari Kiai Dimyathi itulah yang kemudian diratifikasi oleh muktamar.


Pada Muktamar VII NU di Bandung, akhirnya diratifikasi tentang struktur kepengurusan di masing-masing bagian dalam kepengurusan HBNO. Tidak hanya Bagian Urusan Pengajaran saja, namun juga untuk Bagian Urusan Harta, Urusan Pekerjaan dan Urusan Perusahaan dan Perniagaan. Struktur kepengurusannya tersebut, lantas disusun dalam rapat HBNO di Surabaya pada 13 Desember 1932/ 11 Jumadil Awal 1351. Adapun strukturnya sebagaiaman termuat dalam SNO, No. 12, Tahun III, Hal. 236 sebagai berikut:


Rais    : KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang
A’dla    : KH. Abdul Wahab Chasbullah, Tambakberas, Jombang
A’dla    : KH. Bisri Syansuri, Denanyar, Jombang
Katib    : KH. Abdullah bin Ali, Kawatan Gang 5, Surabaya
Mudzir    : KH. Dimyathi bin Abdul Karim, Solo


Dari keputusan yang ditandatangani langsung oleh Wakil Rais KH Said Sholeh Surabaya dan President Haji Hasan Gipo itu, menjadi struktural awal di dalam organisasi NU yang fokus menangani bidang pendidikan. Seiring waktu, Bagian Urusan Pengajaran maupun bagian urusan yang lain, terus berkembang dan menjadi apa yang disebut dengan kepengurusan lembaga atau badan otonom dewasa ini.