KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur telah menggerakkan langkah yang progresif dalam membentuk kesetaraan sebagai sesama warga negara Indonesia. Ia tidak membeda-bedakan antara satu golongan dengan kelompok lain, satu individu dengan personal lain. Hal demikian juga ia terapkan dalam konteks terhadap tragedi 1965.
Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Dur pernah meminta maaf terhadap para penyintas tragedi 1965. Hal yang sama juga ia lakukan saat menjadi Presiden Republik Indonesia. Bahkan, ia sempat mewacanakan untuk mencabut Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka yang sejatinya sama-sama korban dalam tragedi tersebut. Sebagaimana diketahui, Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 ini berisi larangan terhadap penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Upaya rekonsiliasi yang diinisiasi Gus Dur di level kebijakan ini tentu saja mendapatkan tantangan serius. Tak pelak, wacana yang diupayakannya ini batal karena gelombang penolakan, tak terkecuali oleh anak buahnya sendiri, Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Gelombang suara yang sama juga muncul dari ‘Senayan’. Para anggota DPR RI juga satu suara menolak wacana pencabutan Tap MPRS Nomor XXV itu.
Namun, meskipun pencabutan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu batal, upaya rekonsiliasi tetap diupayakan berjalan. Adalah ‘santri-santri’ Gus Dur, kelompok muda NU yang dimotori M. Imam Aziz, seorang intelektual dan aktivis Yogyakarta, yang berupaya mewujudkan cita-cita Gus Dur itu dengan menghimpun gerakan dalam rangka melakukan rekonsiliasi terhadap mereka yang menjadi korban tragedi 1965.
Muhammad Ridwan dalam Alif.id mencatat bahwa Imam Aziz menggerakkan Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) untuk melanjutkan upaya rekonsiliasi yang sudah diawali oleh Gus Dur tersebut.
Baginya, mereka adalah anak kandung bangsa sendiri yang juga memiliki hak yang sama. Mereka tidak boleh diperlakukan secara berbeda, melainkan harus mendapatkan keadilan dan kesetaraan. Melihat mereka yang terpinggirkan, termarjinalkan, Imam Aziz tidak tinggal diam dan membiarkan hal itu terjadi begitu saja.
Ia bergerak di level akar rumput agar pengucilan, diskriminasi, dan ketidakadilan tidak lagi dialamatkan kepada mereka penyintas tragedi 1965. Menurut Ridwan, rekonsiliasi ini memberikan harapan baru bagi masa depan Indonesia; Indonesia yang tidak terus-menerus terbelenggu oleh mata rantai permusuhan antar-anak bangsa.
Imam Aziz meyakini bahwa tidak akan ada demokrasi tanpa rekonsiliasi, sebagaimana disebutkannya dalam situsweb Ashoka. Baginya, rekonsiliasi yang dirintisnya menjadi kunci untuk mewujudkan demokrasi yang dicita-citakan oleh segenap komponen bangsa ini.
Dalam laporan BBC Indonesia, disebutkan bahwa Gus Dur memang menjadi pelopor dalam upaya rekonsiliasi ini. Meskipun upaya pencabutan tap MPRS Nomor XXV tahun 1966 tidak terwujud, setidaknya ada langkah kebijakan Presiden Gus Dur yang melegakan para penyintas, yakni penghapusan tanda ET (eks-Tapol) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Hal ini diungkapkan Pipit Ambarmirah, seorang putri dari penyintas.
Rekonsiliasi ini merupakan upaya penting dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis. Manusia fitrahnya memang diciptakan berbeda-beda dengan keragaman suku, budaya, bahasa, etnis, termasuk juga pilihan politiknya. Perbedaan haluan ini tidak serta-merta menjadi alasan untuk tidak berbuat adil.
Semua orang di mata negara ini adalah sama, tidak dibeda-bedakan karena latar belakangnya. Tak pelak, kebijakan penghapusan tanda ET dalam KTP dan usulan untuk mencabut Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 adalah bagian dari upaya untuk mewujudkan persaudaraan sesama bangsa (ukhuwah wathaniyah), sekalipun tidak memiliki keyakinan yang sama.
Gus Dur menegaskan bahwa demokrasi haruslah diperjuangkan, sebagaimana judul artikel yang ditulisnya di Tempo (1978) dan termuat dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (2016). Sebagaimana kemerdekaan, katanya, demokrasi tidak bisa datang dengan sendirinya. Jika tidak ada upaya yang sungguhan dalam mewujudkan hal tersebut, tentu aspirasi non-demokratis yang bakal mengemuka.
Karenanya, menurunkan pandangan itu, Imam Aziz memperjuangkannya melalui jalur rekonsiliasi kultural di akar rumput. Sebab, demokrasi yang sesungguhnya adalah mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama terhadap semua warga negara, sebagaimana termaktub dalam KBBI V.
Rekonsiliasi pemerintah
Pada mulanya, gerakan rekonsiliasi yang dirintis Syarikat ini sulit menemui ruang di hati pemerintah. Imam Aziz juga mengakui bahwa hal paling sulit dalam melakukan advokasi ini adalah saat menghadapi pemerintah, sebagaimana dilansir dari The Jakarta Post.
Padahal, Syarikat telah melakukan sejumlah langkah rekonsiliasi, mulai dari pertemuan para penyintas di Yogyakarta hingga pameran foto, kartu pos, dan surat mengenai kisah pahit mereka. Namun, suara para penyintas itu tak didengar oleh pemerintah.
Belakangan, ikhtiar yang sudah dirintis Gus Dur dan warga NU melalui Syarikat yang sudah bertahun-tahun dilakukan mulai menuai hasilnya. Pemerintah sejak awal tahun 2023 ini secara terbuka menyatakan penyesalannya atas berbagai tragedi pelanggaran HAM berat, tak terkecuali 1965-1966.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Presiden Joko Widodo saat konferensi pers pada 11 Januari 2023 lalu.
Merasa itu bagian dari tanggung jawabnya, Pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait terus bergerak dalam upaya merekonsiliasi kepada para penyintas. Presiden secara khusus meminta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mengawal terwujudnya pemulihan hak-hak korban dan penyelesaian yudisial.
Sebagai tindak lanjutnya, Presiden Jokowi pada Juni 2023 lalu meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat di Tanah Air, di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi berbincang dengan Suryo Martono dan Sudaryanto Priyono, dua warga negara Indonesia yang saat peristiwa tersebut tengah menempuh studi di luar negeri, tepatnya di Ceko dan Rusia. Keduanya tidak dapat kembali ke tanah air karena kewarganegaraannya yang dicabut karena enggan mengakui dan mengutuk Sukarno sebagai dalang di balik peristiwa tersebut.
Presiden Jokowi juga menawarkan kepada keduanya untuk kembali menjadi WNI. Mendengar tawaran tersebut, Sudaryanto menjawab memang sudah merencanakan untuk itu. Berbeda dengannya, Suryo masih kaget dengan langkah pemerintah, terlebih tawaran tersebut.
Tidak berhenti di situ, Menkopolhukam Mahfud MD bersama Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly secara langsung menemui eks mahasiswa ikatan dinas (Mahid) di Amsterdam, Belanda dan Praha, Ceko pada akhir Agustus 2023 lalu.
Pemerintah memberikan mereka visa multiple entry selama lima tahun kepada mereka tanpa perlu untuk diperbaharui. Kabar demikian menjadi angin segar bukan saja bagi para penyintas, tetapi juga bagi kemanusiaan, bagi seluruh bangsa Indonesia.