Dekrit pembubaran parlemen oleh Gus Dur semakin membuat para lawan politiknya di DPR semakin meradang. Sampai-sampai Amien Rais (Ketua MPR) dan Akbar Tandjung (Ketua DPR) mendesak Gus Dur mundur dari kursi presiden dan mengosongkan istana negara.
Dalam sebuah kesempatan, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah bercerita tentang perbincangannya dengan Luhut Binsar Pandjaitan tentang pelengserannya yang dilakukan secara politis.
Saat itu Gus Dur bercerita pada Luhut tentang hukum dalam Islam yang mengatur bahwa kalau seseorang diusir dari rumahnya dia harus melawan, kalau perlu dengan menggunakan kekerasan.
Namun karena Presiden Gus Dur kala itu tak ingin mengambil jalan kekerasan, dia lalu meminta bantuan Luhut untuk mengurus surat perintah pengosongan Istana Negara dari kantor Kelurahan Gambir karena Istana Negara berdomisili di Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat.
Karena pengosongan istana negara adalah kehendak pemerintah setempat yang sah, maka Gus Dur tak perlu melawan sama sekali. Kewajiban mempertahankan “rumah” pun gugur. Gus Dur keluar dari Istana tanpa gejolak. Dia tak menjadikan pelengseran dirinya sebagai beban personal.
Dalam perbincangan dengan Maman Imanulhaq yang ditulis dalam buku Fatwa dan Canda Gus Dur (2010), Gus Dur ditanya Maman kenapa harus membuat surat perintah dari Lurah Gambir?
"Supaya nanti ketika ditanya di hadapan Allah, kenapa kamu meninggalkan Istana Negara? Tinggal saya jawab: monggo (silakan) ditanya saja ke Lurah Gambir,” seloroh Gus Dur. (Fathoni)