Atas persoalan itu, mereka mencoba mengubah pendekatan mereka terhadap banjir yang seringkali menghampiri. Berbagai macam cara diterapkan agar banjir tidak lagi terjadi. Hingga akhirnya mereka terbebas dari bencana banjir. Berikut beberapa kota di dunia yang sukses mengatasi banjir.
Pertama, Belanda. Dikutip dari laman netherlands-tourism.com, sepertiga wilayah Belanda berada di bawah permukaan air laut, dimana titik terendahnya adalah 6,7 meter di bawah permukaan air laut. Oleh karena itu, banjir menjadi bencana yang tidak terelakkan di Belanda.
Kondisi geografi yang seperti itu membuat Belanda berpengalaman dalam hal banjir. Belanda sudah ratusan tahun bergulat dengan banjir dan berjuang untuk mengatasinya. Salah satu strategi yang diterapkan Belanda untuk mengatasi banjir adalah dengan kincir angin. Disebutkan, ada lebih dari 1.000 kincir angin di Belanda yang masih berdiri sejak 1850.
Kincir angin berfungsi untuk menyedot kelebihan air laut yang masuk ke daratan dan membuat area persawahan menjadi lebih kering. Seperti dilansir expatica.com, selain untuk menyedot air kincir angin tradisional juga berfungsi untuk menggiling biji-bijian dan untuk keperluan irigasi.
Belanda juga membuat banyak dam untuk menampung air laut agar tidak masuk ke wilayah mereka yang rendah. Dalam hal itu, Belanda memanfaatkan bukit pasir, pintu air, tanggul, dan perencanaan tata kota yang tanggap banjir.
Tidak hanya itu, Belanda juga membuat waduk darurat yang terdiri dari taman kota dan area publik, termasuk lepangan basket. Maksudnya, jika banjir melanda kota maka taman dan area publik tersebut akan menjadi waduk darurat yang menampung dan menyalurkan air banjir.
Pada 1997, Belanda berhasil membangun penghalang gelombang badai dan gelombang air laut di dekat pelabuhan Rotterdam. Penghalang berteknologi tinggi tersebut diberinama maeslantkering. Maeslantkering terdiri dari dua pintu ayun yang berfungsi menghalau air laut agar tidak masuk ke daratan. Panjang masing-masing pintu Maeslantkering sama dengan tinggi Menara Eiffel.
Kedua, Jepang. Wilayah ibu kota Jepang, Tokyo, mengalami penurunan tanah hingga 4,5 meter dalam setengah abad terakhir, akibat penyedotan air secara massif. Ditambah, sebagian besar wilayah Tokyo di bawah permukaan air laut. Selain itu, padatnya Tokyo dan derasnya hujan membuat ibu kota Jepang tersebut rentang dengan banjir.
Oleh karena itu, Jepang mengembangkan satu sistem pertahanan banjir yang disebut G-Cans. G-Cans merupakan penampungan air bawah tanah raksasa yang memiliki tinggi hingga 25,4 meter. Proyek ini dibangung selama 13 tahun dan menghabiskan dana hingga sekitar Rp36 triliun.
Proyek yang dibangun pada 1993 dan selesai pada 2006 ini terdiri dari kanal dan ruangan sangat besar. Ia terletak 22 meter di bawah tanah Kasukabe, utara Tokyo, dan disangga oleh puluhan tiang setinggi 70 meter. Disebutkan bahwa sistem penampungan air bawah tanah Tokyo ini memiliki lima ruangan silinder G-Cans. Dikutip laman Wired, masing-masing ruangan mampu menampung hingga 13 juta galon air. Kalau seandainya sungai-sungai kecil di Tokyo tidak lagi mampu menampung air, maka akan dialirkan ke G-Cans tersebut dan lalu memindahkannya ke sungai Edo yang mampu menampung air lebih besar.
Ketiga, Malaysia. Kota Metropolitan Malaysia, Kuala Lumpur, juga tidak lepas dari masalah banjir akibat menurunnya kapasitas sungai Klang dan pesatnya pembangunan di wilayah tersebut. Oleh karena itu, Malaysia kemudian membuat satu sistem pengendalian banjir yang disebut Stormwater Management and Road Tunnel (SMART).
Proyek ini terdiri dari pembuatan terowongan (bypass tunnel) sepanjang sekitar 9,7 meter, pembuatan twin box culvert outlet structure, dan pembuatan kolam-kolam penampung air. Disebutkan bahwa proyek tersebut akan mampu menampung air banjir hingga tiga juta meter kubik dan mengalirkannya sehingga tidak terjadi banjir di Kuala Lumpur. Ketika sudah surut, maka terowongan akan segera dibersihkan dan bisa dilalui kendaraan kembali.
Iya, proyek yang dibiayai Kerajaan Malaysia dan dikerjakan pihak swasta ini sebetulnya tidak hanya bertujuan untuk menanggulangi banjir saja, tapi juga untuk mengurai kemacetan di pintu masuk Kuala Lumpur dari arah selatan Sungai Besi. Ia berfungsi sebagai jalan tol bawah tanah untuk mengurai kemacetan ketika tidak sedang banjir.
Keempat, Austria. Pemerintah Kota Grein, Austria memiliki caranya sendiri untuk mengatasi wilayahnya yang sering terkena banjir akibat luapan sungai Danube. Mereka menggunakan dinding anti banjir berteknologi tinggi untuk menyelesaikan persoalan banjir di wilayahnya. Dinding anti banjir tersebut memiliki tinggi 3,6 meter. Menariknya, dinding tersebut bisa dipindah-pindah sehingga ketika sudah tidak banjir maka bisa dilepas.
Pada saat terjadi banjir pada 2013, teknologi tersebut berhasil menghalau banjir yang akan menerjang daratan. Karena dianggap efektif menangkal banjir, maka dinding anti banjir ala Austria tersebut menjadi terkenal.
Kelima, Brasil. Salah satu kota di Brasil, Curitiba, berhasil menyelesaikan persoalan banjir dengan menggunakan sistem yang inovatif. Curitiba memakai pola pembangunan 'radial segaris-bercabang' (radial linear-branching pattern). Singkatnya, Curitiba berhasil mengatasi banjir yang kerap kali menghampirinya dengan mengubah area yang rawan banjir menjadi taman dan membuat danau buatan untuk menampung air banjir.
Jika dibandingkan dengan membuat saluran kanal banjir, strategi ini dinilai lima kali lebih murah dari segi biaya—termasuk untuk merelokasi wilayah pemukiman kumuh. Dengan perencanaannya yang cerdas dan inovatif, Curitiba berhasil menghindari kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Pewarta: Muchlishon
Editor: Abdullah Alawi