Phnom Penh, NU Online
Waktu sudah menunjukkan pukul 12:15, tapi saya dengan lima teman masih di atas tuk-tuk, kendaraan khas Kamboja, setelah selesai melakukan proses lapor diri di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh, ibu kota negara Kamboja. Saat itu (17/11/2017), saya khawatir ketinggalan shalat Jumat, sebab dua Jumat sebelumnya saya belum menemukan masjid di sekitar kawasan yang saya tempati.
Betapa senangnya kami setiba di masjid, apalagi sudah hampir dua minggu kebelakang melaksanakan “English Teaching Project” saya tidak pernah mendengar suara azan berkumandang. Maklum saja, 95% penduduk Kamboja memeluk agama Buddha. Sementara populasi Muslim pada tahun 2017 hanya sekitar 300.000 orang. Angka tersebut menunjukkan tren kenaikan, sebab menurut Pew Research Center, pada tahun 2009 muslim Kamboja baru mencapai 236.000 jiwa.
Kembali soal masjid yang saya datangi. Masjid yang berdiri di tengah-tengah kawasan perkotaan Phnom Penh tersebut bernama Masjid Al-Jamee’ Al-Islam, namun di Phnom Penh sendiri lebih terkenal disebut sebagai masjid Toul Tumpung. Sebutan itu diambil dari nama desa dimana berdirinya masjid. Awal mulanya masjid tersebut dahulu didirikan oleh orang-orang yang berasal dari Pakistan. Hanya saja sekarang sudah tidak ada lagi warga Pakistan yang merawat masjid tersebut.
Masjid yang hanya bisa menampung beberapa ratus jamaah itu didirikan pada tahun 1960, yakni sebelum masa kekuasaan Pol Pot, seorang pimpinan Khmer Merah (Partai Komunis Kamboja) yang pada 17 April 1975 berhasil menggulingkan kekuasaan Lon Nol yang memimpin Republik Kamboja. Lon Nol sendiri awalnya merupakan Perdana Menteri lalu pada Maret 1970juga melakukan kudeta Raja Norodom Sinahouk saat Kamboja menggunakan sistem kerajaan setelah merdeka pada 9 November 1953 dari penjajah, Perancis.
Pengalihfungsian Masjid
Sebagaimana penuturan Ustadz Umar bin Ismail (42), imam Masjid Al-Jamee’, yang saya temui seusai shalat Jum’at,pada masa Pol Pot, sebagian besar penduduk Phnom Penh, termasuk juga muslim, diusir dan dipaksa tinggal di kawasan pedesaan demi melaksanakan program revolusi agraria yang dicanangkan oleh Pol Pot. Lantas selama beberapa tahun masjid tersebut tidak lagi digunakan sebagai tempat shalat orang Islam.
Dengan menggunakan bahasa Melayu yang lumayan fasih, Ustadz Umar menjelaskan, setelah mengusir penduduk Muslim ke luar kawasan Phnom Penh, rezim Pol Pot mengalihfungsikan masjid tersebut sebagai tempat “kandang Babi”.
Selain itu, di bagian teras masjid digunakan juga sebagai tempat masak babi bagi para tentara Vietnam Utara yang merupakan salah satu sekutu dari Pol Pot. Sampai sekarang bekas penggunaan tempat masak pun masih ada, dimana beberapa keramik di samping kiri bagian belakang masjid terlihat lubang kecil-kecil.
Seketika saya dan teman-teman terheran-heran, ternyata masjid klasik tersebut pernah dijadikan kandang binatang yang dikategorikan Islam sebagai binatang haram muthlaq untuk dikonsumsi serta bagian dari najis mughaladhah, jenis najis yang terhitung berat dibanding najis-najis lainnya.
Saat berkuasa, rezim Pol Pot tidak pandang bulu, siapa pun dan dari agama mana pun kalau membangkang dengan kekuasaannya maka akan dibunuh. Makanya tidak sedikit Muslim Kamboja yang menjadi korban keganasan rezim ini. Bahkan ada suatu kampung yang bernama Koh Hoal yang semua penduduknya tewas setelah melawan kebiadaban pasukan Pol Pot. Kala itu penduduk kampung tersebut hanya memakai pisau sebagai senjata untuk menghadapi senjata api yang digunakan oleh pasukan rezim komunis.
Situasi Kamboja mulai berubah bermula dari penggulingan rezim Pol Pot pada Januari 1979 akibat invasi yang dilakukan oleh Vietnam sejak 1977. Sejak saat itu Kamboja menjadi negara di bawah kekuasaan Vietnam, namun pada 1982 Raja Sihonouk yang dibantu para koalisinya merebut kekuasaan Kamboja sehingga kembali mendirikan pemerintahan dengan sistem kerajaan. Pada tahun itu juga beberapa kelompok Muslim Kamboja kembali ke Phnom Penh, setelah situasi mulai kondusif.
Sekembali ke Phnom Penh, penduduk Muslim mulai menata lagi kehidupan mereka, termasuk juga membersihkan masjid Al-Jamee’ dari kotoran dan bekas-bekas babi yang dikandangkan di dalam masjid. Sepuluh tahun lalu, teras masjid diperluas sebab jamaah semakin tahun semakin bertambah, namun hanya dengan menambah beberapa meter teras bagian depan dan samping, sedangkan bangunan dalamnya masih nampak seperti bangunan awalnya.
Ustadz Umar yang sudah 10 tahun mengurus Masjid Al-Jamee’ itu memperkirakan hingga sekarang di seluruh negara Kamboja mencapai 500 masjid. Sedangkan di Phnom Penh berdiri 14 bangunan yang tersebar beberapa kawasan tertentu.
Masih ada banyak cerita soal keunikan tradisi keislaman Ahlussunnah wal-Jama’ah khususnya yang dijalankan oleh Muslim di kawasan Phnom Penh dan sekitarnya. Insyaallah, pada tulisan di bagian selanjutnya saya akan mengulas bahasan tersebut sebagaimana hasil liputan yang saya temukan selama magang di Kamboja. (Zidni Nafi’, santri asal Qudsiyyah Kudus, salah satu peserta Program Pemuda Magang Luar Negeri 2017 dari Kemenpora RI)