Mahkamah Internasional: Myanmar Harus Lindungi Rohingya dari Genosida
Jumat, 24 Januari 2020 | 04:45 WIB
Mahkamah Internasional (ICJ) memerintah Myanmar untuk mengambil langkah cepat untuk melindungi komunitas Muslim Rohingya dari penganiayaan dan genosida. Di samping itu, Myanmar juga diminta untuk mengamankan bukti-bukti dugaan kejahatan terhadap etnis Rohingya.
Putusan itu berdasarkan dugaan genosida yang dilakukan Myanmar kepada Muslim Rohingya yang diajukan salah satu negara Afrika Barat, Gambia pada November tahun lalu. Gambia menuduh Myanmar telah melakukan genosida terhadap Muslim Rohingya, tindakan yang dianggap melanggar konvensi 1948.
Keputusan Mahkamah Agung tersebut hanya untuk membahas permintaan Gambia untuk langkah-langkah pendahuluan. Seperti dilansir Reuters, Kamis (23/1), keputusan akhir Mahkamah Internasional membutuhkan waktu bertahun-tahun. Meski demikian, 17 hakim dalam Mahkamah Internasional sepakat bahwa Muslim Rohingya berada dalam bahaya. Oleh karena itu, Mereka memerintahkan pemerintah Myanmar memberikan pengaruh kepada militer dan kelompok bersenjata untuk mencegah kekerasan terhadap Rohingya.
Myanmar diberi waktu empat bulan untuk menaati keputusan tersebut. Mereka juga diwajibkan melaporkan perkembangan penerapan keputusan tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Para aktivis Rohingya di seluruh dunia menyambut keputusan Mahkamah Internasional tersebut dengan gembira. Bagi mereka, keputusan tersebut secara eksplisit mengakui etnis minoritas Rohingya sebagai kelompok yang dilindungi di bawah Konvensi Genosida.
Dalam sebuah pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan, pihaknya memperhatikan keputusan tersebut. Mereka menuding, beberapa kelompok hak asasi manusia (HAM) telah menyajikan gambaran yang menyimpang terkait dengan situasi yang ada di Rakhine. Sehingga, mereka mengklaim, banyak pihak dan negara mengecam Myanmar tanpa dasar.
Dilaporkan, lebih dari 730.000 warga minoritas Muslim Rohingya menyelamatkan diri ketika militer Myanmar melancarkan operasi militer pada Agustus 2017 lalu. Mereka kemudian mengungsi di kamp-kamp di sepanjang wilayah pinggiran Bangladesh.
"Kami saksikan sendiri banyak orang dibunuh. Yang bisa kami lakukan adalah lari menyelamatkan diri ketika rumah-rumah kami dibakar," ungkap Mohamed Zobayer, 19 tahun, kepada kantor berita Reuters.
Pewarta: Muchlishon
Editor: Alhafiz Kurniawan