Khartum, NU Online
Tradisi memperingati hari raya Idul Adha di berbagai kawasan demikian beragam. Meskipun tidak seramai Idul Fitri, namun hari raya kurban juga demikian semarak. Bagaimana dengan warga Timur Tengah terkhusus Sudan? Berikut catatan dari Muhammad Wildan Habibi.
“Jika di Indonesia melaksanakan ibadah mudik untuk menyambut hari raya idul fitri, lain halnya di negara Sudan,” katanya, Sabtu (10/8).
Tradisi di Sudan bahwa tiga hari sebelum hari raya Idul Adha aktivitas sekolah, kampus, pegawai negeri dan juga pekerja pabrik biasanya sudah banyak yang diliburkan.
Hal itu dilakukan pemerintah agar masyarakat dapat merayakan hari raya Idul Adha di kampung halaman bersama sanak famili. “Seperti suatu hal yang wajib bagi masyarakat Sudan untuk pulang kampung dan merayakan hari raya bersama keluarga,” ungkapnya.
Kalau kebetulan mempunyai mobil, mereka membawa kendaraan roda empat tersebut dengan bagasi penuh berupa oleh-oleh dari kota untuk keluarga di desa.
“Ada juga yang membawa kendaraan pick up untuk membawa barang bawaan. Bahkan bukan hanya barang yang bersifat pokok, akan tetapi mereka juga membawa kambing yang dibeli di kota untuk diletakkan di atas mobil pick up agar disembelih di desa,” jelasnya.
Maka tidak heran jika tiket pesawat ataupun tiket bus antar kota atar provinsi sudah banyak yang terjual habis sebelum hari raya Idul Adha. Bahkan ada juga yang rela duduk di atap bus karena kehabisan tiket.
“Kata mereka, maa musykilah. Dalam artian, tidak apa-apa yang penting bisa beridul Adha di kampung halaman,” selorohnya.
Malam takbiran di Sudan juga tidak kalah spesial dengan di Indonesia. Banyak juga masayikh yang menggelar acara majelis taklim setelah itu dilanjutkan dengan makan bersama.
“Ada juga yang merayakan malam takbiran dengan dzikir bersama dan juga takbiran bersama di kediaman masayikh,” ungkapnya. Ada juga yang membersihkan masjid dan mempersiapkannyauntuk melaksanakan shalat id, lanjutnya.
Untuk takbir keliling jarang dijumpai di jalanan kota Khartoum Sudan. “Yang ada hanya suara takbir dari toa masjid dengan langgam yang berat,” jelasnya.
Setelah melaksanakan shalat id, mereka biasanya membawa makanan ringan berupa permen atau jajan manisan (halawiyat). Demikian pula ada yang membawa roti goreng, kurma, teh panas untuk disajikan kepada para jamaah setelah shalat Idul Adha.
“Bahkan disuruh untuk mampir ke rumah masyarakat untuk dijamu dengan makanan ringan,” kata mahasiswa Universitas Al-Quran Karem Omdurman Sudan ini.
Dirinya yang juga pernah tinggal di masjid sebagai marbot juga kerap mendapat berkah. “Ahamdulillah setiap Idul Adha saya, dan teman-teman selalu diberi jatah satu kambing untuk disembelih sendiri dan dikonsumsi sendiri,” kenangnya.
Salah satu yang dikagumi dari perayaan Idul Adha di Sudan adalah kebanyakan dari mereka menyembelih hewan kurban satu rumah satu kambing.
“Jadi, mereka menyembelih kambing sendiri di depan rumah masing-masing dan membagikan sebagian dagingnya kepada tetangganya yang tidak menyembelih ataupun yang sudah menyembelih dengan bertukar daging kurban,” jelasnya.
Kendati kondisi ekonomi masyarakat Sudan cukup memprihatinkan, tetapi hal tersebut bukan sebagai penghalang untuk tidak berkurban.
“Bagi masyarakat Sudan, tradisi menyembelih bukan hanya saat kurban. Mereka biasa menyembelih kambing layakya menyembelih ayam dan dagingnya dibagikan kepada tetangga tanpa ada hajat apapanun kecuali untuk bersedekah,” jelasnya.
Bukan hanya tradisi mudik saja, mereka juga mengenal tradisi reuni keluarga. Setiap hari raya Idul Adha mengadakan acara reuni keluarga, mengenakan baju baru dan mengundang seluruh keluarga untuk berkumpul di salah satu rumah keluarga.
Saat seperti itu semua sanak famili berkumpul di satu rumah dari anggota keluarga. “Dan tradisi ini setiap tahun bergiliran dari rumah yang satu ke rumah anggota keluarga lainnya,” pungkasnya. (Ibnu Nawawi)